23.9 C
Yogyakarta
Selasa, 11 Februari 2025
BerandaCerpenLangit Melukis

Langit Melukis

Hari ini di taman bermain.

Indah. Bunga berguguran, sejuk angin menyapu panas. Melihat ke atas, sungguh indah ukiran di langitnya.

Seperti itulah suasana yang ada di taman tersebut. Memang masih waktunya untuk bermain. Berimajinasi, bergerak bebas, biarkan angin memandunya.

Hari ini spesial baginya, anak itu sudah melanjutkan kisah nya pada kedewasaan, bab baru pun terbuka.

“Hey Arsy, kemarilah.”

“Baik, Ma.”

“Tutup mata kamu yaa.”

“Oke.” 

Dituntun anak tersebut ke ruang tengah rumah sederhana itu.

“Sekarang buka mata mu.”

“…” Anak itu terdiam kaget

“Tadaaa, selamat ulang tahun!”

“Wahhh, terimakasih. Aku suka, suka, suka bangett. Terima Kasih Ma. Mama selalu memberikan apa yang Aku mau.”

Anak tersebut memeluk erat tubuh mamanya.

“Sama sama Arsy. Kamu adalah anak Mama yang selalu akan mama kabulkan permintaan nya.”

Kehangatan bersama, dalam ruangan sempit cukup untuk mereka. Hangat kian hangat. Mengisi perut dengan kue yang masuknya ke dalam memori indah di kepala nya.

Satu hari setelah ulang tahun Arsy. Dan hari hari ini masih dalam hari libur semesteran nya Arsy.

“Mama berangkat untuk kerja dulu ya Arsy. Arsy baik baik di rumah sama mba Imah ya”

“Oke mama, Arsy janji jadi anak baik ma.”

“Oke Arsy. Mama berangkat dulu.”

“Hati hati, Ma.”

Sejak Arsy masuk ke jenjang Sekolah Dasar (SD) Dia lebih sering menggambar dan menulis, sampai Ibu dan Bapak guru di sekolah terbingung akan kemahirannya menggambar dan menuliskan imajinasinya.

Arsy mengambil alat lukis dan kanvas putih kosong yang telah dihadiahkan di hari ulang tahunnya. Melihat kesana kemari, berjalan mondar mandir. Rupanya mencari tempat yang baginya cocok untuk dilukis. Sampai mba Imah heran dengan tabiatnya Arsy.

“Arsy, sedang apa kamu itu?”

“…” Arsy tidak menjawab

“Arsy…” Mba Imah menaikkan nadanya

“Ehhhh. Ini mba, mencari tempat melukis.”

“Oh, coba disana saja itu.” Mba Imah menunjuk ke tempat di bawah sinar kremang matahari di belakang rumah yang dihiasi tanaman hias yang beragam.

“Wahhh, benar juga kata mba Imah. Makasihhh mba Imah.”

“Sama sama. Tapi hati hati ya Arsy, lantainya licin.”

“Okeee.”

Bagai seniman langit. Arsy menorehkan cat akrilik dan kuas yang beragam ukuran. Satu jam dilalui tanpa rasa lama sedikitpun. Mba Imah memberinya camilan dan air susu untuk Arsy yang sedang asyik di dunia lukisannya.

Dua jam lagi mama Arsy akan pulang dari kerjanya. Arsy ternyata sudah selesai dengan lukisannya dan Dia simpan di dalam kamarnya. Mba Imah sedang sibuk di dapur mencuci piring. Arsy hanya di ruang tamu yang tertuju langsung pada pintu keluar rumahnya.

2 jam berlalu…

Tidak ada kabar bahwa mama akan terlambat. Arsy tertidur di meja depan ruang tamu itu. Mba Imah hanya mengira bahwa terlambatnya mama Arsy kembali karena jalanan memang sedang ramai. 

1 jam berlalu cepat…

Sudah menjelang malam, langit berubah menjadi oranye. Memang lukisan alam yang indah. Angin yang sejuk. Gesekan daun yang menjadikan pohon seperti bersuara. Bersuara membisik pada Arsy yang sedang duduk di pintu.

“Semua yang kau lihat adalah lukisan langit.”

Arsy tetap termenung, kesal, marah. Seperti halnya anak seusianya dibohongi karena mama nya tidak kunjung kembali. Mba Imah sedari tadi sedang menghubungi mama Arsy, tetapi apa yang dikabarkan tidak ada jawaban.

Malam tiba menidurkan putri seni. Mba Imah terpaksa menginap dan telah mengabari keluarga nya di rumah.

Hari hari telah berlalu, kini Arsy telah berada di jenjang menengah atas. Arsy tinggal di rumah mba Imah, setelah kabar hilangnya mama Arsy membuat hidup nya tidak banyak tersenyum saat seperti waktu ulang tahunnya. 

“Hey, Ana.”

“Ya, ada apa.”

“Mau ikut kami tidak? menonton film terbaru di bioskop?”

“Maaf, Aku sudah ada rencana pergi ke perpustakaan kota.”

“Baiklah, rugi sih gak ikut kami.”

Mereka pergi, Arsy tidak begitu mempermasalahkannya. Baginya perpustakaan tempat Ia beristirahat.

Sampai pada perpustakaan kota.  Arsy mencari buku yang berjudul ‘Langit jatuh dan tanah terbang’  buku novel yang sedang populer di saat itu. Dia baca di pinggir kursi yang dekat jendela. sesaat di jeda membaca Ia memikirkan dimana mamanya berada.

Sungguh berat hidup sebatang kara seperti Arsy, ayahnya yang sudah tiada saat Ia masih di taman kanak kanak. Dan mamanya yang pergi kerja tak pernah kembali.

Sepulang dari perpustakaan, Arsy kembali pulang dan istirahat di kamarnya.

“Arsy, kemarilah. Makan malam dahulu,” teriak mba Imah memanggil Arsy dari ruang makan

“Iya mba, nanti saya ambil.”

Arsy hanya berbaring lelah di atas kasurnya, dengan menatap langit langit atap kamarnya yang dihiasi coretan kuas dan cat karyanya.

tok,tok,tok.

Ketuk pintu kamar Arsy.

“Arsy, ini makananmu nak. Bukalah pintu ini.”

“Iya mba, tunggu sebentar.”

Arsy membukakan pintu, mba Imah hanya menyerahkan makan malamnya dan memberikan sepucuk surat.

“Ini surat yang tiba siang tadi, tertulis untukmu.”

Arsy menerima surat itu dan makanannya. Mba Imah pergi meninggalkannya dan menutup pintu. 

Makan malam Arsy ditaruh di meja belajarnya, Arsy terduduk di kasur memandangi surat yang sedang dipegangnya. 

Kepada Arsyinta Hanna

Dari Dewi Parwarti

“Mama!?”

Arsy membuka lacinya segera, mengambil peta atlas yang Dia punya. Mata Arsy tertuju pada satu tempat yang ada di atlas bagian barat.

Keesokan paginya.

“Mba Imah, Aku akan ke luar negeri.”

“Hah!? kenapa mendadak begini?”

“Aku akan pakai uang tabunganku.”

“Tapi, Arsy. Ini terlalu terburu buru, bagaimana dengan sekolahmu.”

“Gak apa, pokoknya Aku akan ke luar negeri.”

Arsy pergi meninggalkan Mba Imah yang terkaget akan tekadnya. Membawa bekal roti dan susu untuk dibawanya sekolah, nasibnya kurang beruntung. Bus yang biasanya Ia tumpangi sudah lewat, terpaksa Arsy harus berjalan. Memang jaraknya tidak jauh tetapi kalau bisa pakai bus yang tidak melelahkan, Arsy lebih suka itu.

Sesampainya di sekolah, Arsy menanyakan salah satu temannya yang pernah ke luar negeri.

“Hai Syafa, selamat pagi.’

“Pagi juga Ana. Ada apa ya?”

“Aku mau bertanya, Fa.”

“Oh, ya boleh.”

“Kalau mau ke luar negeri butuh biaya berapa ya?”

“Oh, tergantung tujuan mu, Na. Memangnya kamu mau kemana?”

“Aku mau ke Belanda.”

“Kalau mau kesana kurang lebih perlu 10 juta. ”

“Oh, mahal juga ya.”

“Iya, cukup jauh soalnya, coba saja ke singapura. Paling 2 juta saja. Itu semua hanya tiketnya sih, Na. Biaya lainnya menyesuaikan.”

“Baiklah, terimakasih atas jawabannya, Fa.”

“Sama sama.”

Arsy  sekarang paham bagaimana caranya untuk ke luar negeri. Tabungannya kini sudah ada 9 juta, tinggal Ia menjual perhiasan yang dimilikinya maka akan genap 11 juta. Semua harus dikorbankan untuk hal yang tak ingin Arsy korbankan.

Sepulang sekolah Arsy menuju toko perhiasan dan menjual semua perhiasan yang Ia punya. Genap sudah sesuai yang Arsy harapkan. 

Di rumah Arsy memesan tiket pesawat dengan tujuan Belanda di Bandara Schipol Amsterdam dari bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Arsy mendapatkannya pada pukul 8 pagi pada hari kedua dari hari ini. Arsy mengemaskan segala keperluannya dan membungkus rapat lukisan yang Ia simpan.

“Arsy, sedang apa kamu?”

“Merapikan barang mba, Arsy sudah ada tiket untuk ke luar negeri.”

“Bagaimana bisa? Visa tidak bisa dibuat secepat itu Arsy.”

“Dahulu saat mau kegiatan pertukaran pelajaran yang gagal terlaksana itu, Arsy sudah membuatnya.”

“Tetapi, Arsy. Untuk apa kamu kesana.”

“Menjemput mama.”

“Hah!?”

Rupanya dalam tekad yang kuat untuk mengorbankan segalanya, Arsy rela melakukan apapun demi mengembalikan kebahagiaannya. Mba Imah hanya diam tertegun, tak ada kata lagi untuk diucapkan. Jika memang Arsy sudah bertekad, apa daya setan menghancurkan niatnya, tidak akan.

Dua hari penantian, akhirnya Arsy berangkat menuju bandara YIA dengan diantarkan oleh Mba Imah.

“Hati hati, Nak. Mba selalu disini, kapanpun kamu merasa kehilangan.”

Mba Imah sekarang sudah menjadi salah satu ibu kandungnya yang kedua.

“Baik Mba Imah, terimakasih atas selama ini Arsy bersama mba. Kini Arsy harus bergerak mengikuti angin.”

Perpisahan haru setelah bertahun tahun lamanya Mba Imah yang melihat penderitaan Arsy, dan kini Ia seperti burung yang sudah mahir mengepakkan sayapnya sendiri dan terbang bebas.

Di dalam pesawat komersial, hati Arsy semakin kuat menerima. Bahwa semua ini adalah hal yang tepat demi kebahagiannya. Mengembalikan dirinya yang dahulu tersenyum dan tertawa manis dengan semangat tak pernah mati.

Di dalam pesawat itu Arsy memilih duduk yang Ia pesan dekat dengan jendela, menatap lautan putih awan yang indah nan mempesona, dibukanya kantong saku yang berisi surat yang Ia terima dari mba Imah kala itu.

Kepada Arsyinta Hanna

Dari Dewi Parwarti

Kini mama sudah bisa memberimu kabar. Pertama, mama sampaikan maaf yang tak akan bisa dihitung dari kesalahan yang menumpuk dendam di dirimu, Nak. Mama sadar bahwa semua ini tidak serta merta perihal harta untuk membuatmu bahagia. Mama salah, Nak. Mama akui itu. Tapi kini mama sudah tau apa yang harus mama katakan.

Mama saat ini sedang di Belanda, saat kabar hilangnya mama sebenarnya mama sedang dalam tugas kerja di Belanda tanpa mengabari mba Imah ataupun Arsy bahkan rekan kerja mama. 

Maka kepakkan sayapmu, Nak. Dan kunjungi mama di Amsterdam, Belanda. Mungkin dengan tabunganmu itu cukup untuk menyusul mama ke sini.

Arsy menaruh dalam peluknya surat itu

dan tertidur.

Oleh: Musyaffa Ghozie
Editor: Khalish Zeinadin
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -