Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Beberapa teman penulis membagikan ceritanya mengenai susahnya bepergian sebagai seorang santri. Layaknya sekolah berasrama pada umumnya, kendaraan pribadi tidak diperbolehkan dibawa ke asrama, lantas bagaimana mereka jika ingin berpergian? Simak kisah berikut ini!
Jum’at (27/12/24) sore, di tangga samping masjid Jami Mu’allimin kala sesi halaqah ke-tiga berlangsung. Di tengah ramainya lantunan Al-Quran, saya dengan beberapa santri lainnya asik berbincang selagi menunggu waktu halaqah yang akan selesai beberapa menit lagi.
Mula-mula kami basa-basi mengenai kebijakan madrasah yang tidak mengizinkan santri membawa kendaraan pribadi. Walaupun kami sadar karena kami sedang berada di sekolah berasrama atau biasa orang menyebut pondok pesantren.
Dengan iseng saya menanyakan pertanyaan yang memang sedari awal saya pikir akan asik jika dituliskan, hahaha.
“Kalian kalau pergi keluar biasanya naik apa e?,” tanya saya memulai perbincangan.
“TJ (Trans Jogja) kalau nggak Grab, tapi gampangnya TJ,” ucap salah seorang santri tanpa ragu. Santri Mu’allimin sangat akrab sekali dengan transportasi umum satu ini, kita dapat melihat bagaimana padatnya TJ di setiap hari libur.
Hari Jum’at tepatnya ketika santri libur dari kegiatan di asrama. Dapat dipastikan halte TJ di depan madrasah akan penuh dengan santri Mu’allimin terutama dari santri MTs. Sudah hal yang wajar bagi kami karena mereka rata-rata juga datang dari luar Jogja tentu ingin sekali untuk menghabiskan waktu libur dengan berjalan-jalan walau sekedar ke Malioboro.
“Biasa anak Tsanawiyah kemana mana ya naik TJ,” gurau kami.
Saya juga melakukan survei dengan menanyakan kepada 10 santri secara acak bagaimana mereka biasa bepergian pada hari libur. Hasil menunjukkan 8 dari 10 menjawab menggunakan TJ sebagai pilihan mereka untuk berkelana.
Kenapa Santri Memilih Trans Jogja?
“Kenapa lebih memilih TJ ?,” saya bertanya.
“Murah,” ujar seorang santri.
“Pakai kartu TJ buat pelajar murah cuy cuma Rp60, enak kalau rame-rame,” imbuhnya.
Beberapa santri di Mu’allimin harus memastikan isi dompetnya terdapat kartu TJ bagi pelajar, dan yang tidak punya tentu nebeng kepada yang punya. Mereka memilih membuat kartu TJ karena harganya relatif lebih murah daripada membayar cash Rp3.500. Cukup membayar minimal Rp50.000 untuk membuat kartu dan mengisi saldo, mereka sudah bisa bepergian kemana pun.
“Bisa muter-muter Jogja sekali bayar. Kalau transit kan nggak perlu bayar lagi,” ucap mereka.
Terkadang beberapa santri yang memang “Gabut” mereka iseng menghabiskan waktu mereka dengan mencoba semua rute Trans Jogja. Sekedar melihat-lihat, turun transit, dan lanjut naik bis berikutnya hingga kembali lagi ke Mu’allimin. Kemudian, mereka juga menambahkan bahwa untuk menemukan halte TJ sangatlah mudah.
Dilansir dari Dinas Perhubungan DIY, hingga kini total sudah ada 267 halte yang jumlahnya akan terus bertambah. Akses yang mudah menjadikan santri Mu’allimin juga senang memilih Trans Jogja sebagai Transportasi favorit mereka.
Trans Jogja juga menjadi transportasi favorit karena ramah terhadap semua kalangan. “Orang Tua, anak-anak, remaja, disabilitas, semua ada”.
Keluh Kesah Pelayanan Trans Jogja
“Ada keluh kesah nggak kalian sama pelayanan TJ?” tanya saya dengan antusias.
“Yang paling ngeselin kalau baru masuk tuh langsung gass, hahaha,” ujar mereka sambil tertawa.
Mengingat bahwa Trans Jogja adalah transportasi umum. Untuk mendisiplinkan jadwal perjalanan, maka Trans jogja perlu mengejar waktu keberangkatan. Yang membuat bus Trans Jogja melaju kencang dengan jaminan tiba di halte tujuan dengan waktu yang ditentukan.
“Kalo macet lama banget,” ungkap mereka.
Jogja sebagai salah satu kota dengan aktivitas transportasi terpadat tentu tidak bisa menghindari yang namanya macetnya perjalanan. Walau sudah ada ketentuan khusus untuk jalur Trans Jogja selaku transportasi umum tetapi masih ada saja pengendara kendaraan pribadi yang nakal ingin memanfaatkan kekosongan jalan dan malah menimbulkan kemacetan sehingga membuat keterlambatan pada TJ. “Apalagi kalau pas nunggu bis di halte, kalau macet lama banget.”
Penulis juga memiliki pengalaman kurang mengenakan dari beberapa kernet Trans Jogja, di mana beberapa kernet kurang ramah terhadap penumpang terutama pada lansia. Trans Jogja sebagai transportasi umum menyediakan fasilitas untuk semua kalangan termasuk lansia dan juga penyandang disabilitas. Dengan begitu maka penumpang berhak menerima pelayanan yang sama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Saran Santri untuk Pelayanan Trans Jogja
Di lain waktu juga ketika saya sedang mengobrolkan Trans Jogja, salah seorang santri menghampiri dan memberikan komentarnya, “eh, saran dong buat Mu’allimin dan Trans Jogja untuk menyediakan tong sampah di sekitar halte TJ depan madrasah,” sahutnya.
Para santri menyadari bahwa halte TJ menjadi tempat yang kotor karena tempatnya transit bagi banyak orang, sedangkan di tempat tersebut tidak menyediakan sama sekali tempat sampah, yang memaksa para santri ataupun penumpang lain mengantongi sampah terlebih dahulu, walaupun ada saja oknum-oknum nakal yang membuangnya sembarangan.
Mengakhiri perbincangan, saya dengan santri lainnya lantas masuk ke dalam masjid untuk menutup sesi halaqah pada sore hari sekaligus menutup perbincangan kami yang singkat itu.
Oleh: Haidar Ahmad Zabran Aliyuddin
Editor: Khalish Zeinadin