23.4 C
Yogyakarta
Selasa, 11 Februari 2025
BerandaCerpenAkhir dari Kisah 1000 Tahun

Akhir dari Kisah 1000 Tahun

Sepasang belalang sembah bertengger penuh mesra di batu kali dekat kolam depan rumah kayu. Si jantan gagah betul dalam beradu pandang, sedang si betina malah terlihat malas menanggapi ajakan aneh si jantan. Keheningan yang berpadu dengan guguran bunga sakura sungguh menenangkan jiwa. Entah siapapun itu, jikalau ada hati yang bersih serta pandangan yang suci, maka gemerlap cahaya senja yang membening di permukaan kolam penuh tangkai sakura kali ini pasti akan melelehkan hati. Tapi sayang beribu sayang, mungkin petuah penuh makna ini akan dilewatkan begitu saja oleh beliau tuan Belalang di sana.

Liatlah kelopak mata serta sayap-sayap rendah mereka berdua, sudah macam hendak memangsa satu sama lain saja. Si jantan yang dari tadi diam di tepi batu berjalan mendekat, menadahkan tangan, meminta jabat tangan pada si kebal telinga betina. Merasa bila dirinya diacuhkan pasti menjadi alasan mengapa si jantan terpaksa mengambil inisiatif pembuka. Usai penawaran diajukan, maka langkah seterusnya adalah menunggu jawaban.

“Mengapa anda meminta hamba melihat hal konyol seperti ini, paduka Fuxi?”

Berlatar lembah serta pegunungan pencakar awan, rumah kayu bergaya tradisional yang dibangun di tanah landai gunung itu lenggang. Wangi harum kompor-kompor batu milik warga yang berisikan lusinan kue bulan terus-menerus menyerbarkan aroma indahnya, membuat siapapun yang duduk bersila di rumah kayu itu pasti rela memejamkan mata sembari merintihkan doa ketenangan batin. Hari ini adalah puncak perayaan panen warga kampung petani gunung. Sudah sewajarnya bila para petani-petani tulen itu akan berlomba-lomba memasak hidangan-hidangan tradisi panen di rumah-rumah kayu mereka. Dan tentunya pula, selaku tokoh yang menjabat takhta tetua dari para keluarga yang tinggal di pegunungan Gizhong, menjadi wajib bagi dirinya untuk menciptakan karya kue bulan dari tangannya sendiri.

Dua cangkir teh hijau yang masih uapnya mengepul terparkir bisu di sisi keduanya. Sementara semenjak senja bertamu, kicauan burung-burung Hwa Mei yang bertengger di pucuk-pucuk pohon sakura terdengar mengalun penuh harmoni, mereka tertawa-tawa bebas usai pulang dari pengembaraannya, mencari makanan bagi keluarga kecil burung-burung pengicau itu.

“Sebentar lagi Chiyou, tunggulah beberapa saat.”

Sosok yang duduk memangku kaki di teras kayu terdiam usai mendapat titah barusan. Pakaian serba putih dengan sabuk besar bercorak biru laut yang membebat perutnya terkibar-kibar pelan disambut terpaan angin utara. Kembali ia menegakkan posisi kerah berbentuk huruf V besar di dadanya, memberikan perintah pada mata supaya lanjut fokus menatap sepasang belalang sembah yang saling mengadu cinta di sana. Ini adalah kali pertama ia tidak disuruh oleh gurunya untuk memasak bahan pangan kiriman panen tetangga-tetangganya, yang tinggal menempel di dinding-dinding curam pegunungan. Bukannya menyiapkan adonan kue bulan, ia malah diperintah untuk menemani sesi minum teh gurunya, duduk diam seraya menentramkan batin, memanjakan mata dengan pertunjukan sunset di depan rumah kayunya.

“Sore makin rendah paduka Fuxi, tak baik untuk terus-terusan membuka pintu di kala senja. Anda sendiri bukan yang mengajari saya terkait tata-krama tersebut?”

Tata krama. Ya, manusia memang mengenal istilah turun-temurun ini dari nenek moyang mereka. Jika kau ingin orang lain menghormatimu, maka hormatilah orang lain terlebih dahulu, beginilah prinsip budaya manusia kebanyakan dalam menyulam tali-temali tata krama di hidupnya, “Kesopanan tidak menuntut biaya apapun,” adalah pemanis kata yang terpatri dalam benak mereka para petani yang hidup di bawah asuhan Chiyou. Ah koreksi, bukan hanya mereka saja, mungkin malah seluruh umat manusia yang hidup di daratan China sudah mengetahui kalimat ini berkat dirinya. Ya, Chiyou adalah manusia yang spesial, dapat dipastikan tidak ada satupun baik itu petani maupun pelancong dari daerah lain yang tahu seluk-beluk wanita satu ini. Suatu saat semasa Chiyou mengajari orang-orang bodoh nan tamak itu untuk bertani teh hijau, bukannya mengingat prosedurnya, orang-orang itu malah mengacungkan tangan dan bertanya dari mana wanita ini mengetahui rahasia-rahasia tumbuhan.

“Aku mendapat kabar dari surat yang dibawakan burung merpati asal Shan hai-jing, mereka mengatakan kau pun pernah mengajari tulis-menulis di sana, siapakah kisanak ini sebenarnya mau seenak jidat mengajari kami?”

Salah satu sesepuh berjenggot sepuluh yang tinggal di kuil puncak pegunungan Gizhong menghadang laju Chiyou saat kakinya hendak menapaki jalur pendakian menuju desa petani gunung. Hatinya gundah-gulana, surat dari sahabat jauhnya yang tinggal di hutan hujan Shan hai-jing itu mengabarkan, bila sosok misterius yang berpakaian anggun serta berambut abu-abu tengah pergi melacak daerahnya. Hatinya begitu lembut, lebih lembut dari sutra yang dihasilkan ulat Mumbei dari dinasti Song. Tutur katanya yang lugu akan menusuk keji jiwa-jiwa penjahat yang rancu. Sementara batinmu tergugu, maka giliran mata juga otakmu lah yang terbisu kala disuapi segudang ilmu, bila ia duduk disisimu, mengajarimu tentang bagaimana hidup sebagai manusia, bukan monyet tanpa akal. Tapi, letak inti masalah yang tetua ini alami bukanlah pada sisi baiknya, justru lebih ke perihal jangka panjang yang sahabat jauhnya itu alami usai menerima orang ini masuk ke dalam lingkungannya.

Kau tak akan lagi bisa menikmati perjamuan Baijuu kawan, orang itu akan merampas tiap-tiap minuman keras yang kau simpan di lubang-lubang rumah. Minum-minum hanya akan menjadi mimpi bagi mereka yang didatangi sosok itu.

“Perhitungan masa depanku tak pernah salah, salah satu dari mereka yang tinggal di sana pasti akan menjadi penulis kenamaan di masa yang akan datang. Untuk itu aku ajari mereka cara menulis.”

Tak perlu waktu lama, perdebatan antara tokoh yang asal-asalan ditokohkan oleh warga petani gunung pun usai. Chiyou resmi diangkat menjadi sosok pemimpin baru bagi para petani di gunung Gizhong. Ilmu kakek tua itu hanyalah satu gayung bila dibandingkan dirinya yang satu samudera.

 “Sekarang Chiyou, coba kau perhatikan mereka.” Dia yang dipanggil Fuxi menyeruput teh hijau pahitnya. Membiarkan ampas-ampasnya tersangkut di gigi putih berserinya. Pakaian hitam bercampur putih yang menyiratkan energi Ying serta Yang pada Fuxi terkulai lemas di tegel kayu rumah Chiyou. Orang itu mengangkat telunjuknya ke depan, menuntun mata Chiyou supaya turut menyaksikan apa yang dirinya saksikan. Tragedi yang menyedihkan, siapapun itu pasti tak akan tega bila pertunjukan itu tetap dilangsungkan. Eksekusi mati kawan, jangan pernah berharap bila pejantan di batu dekat kolam itu akan selamat usai menggoda si betina. Kepalanya harus dikorbankan demi keserakahan.

Chiyou adalah pribadi yang sangat pandai, cukup berikan ia segudang pertanyaan pasal alam, niscaya mulutmu pasti terbungkam oleh kepiawaiannya. Tapi bagi Fuxi, Chiyou bukanlah anak yang pintar-pintar amat, sosok yang dibesarkan dengan darah juga air mata kakaknya itu masihlah perlu didikan pengetahuan batin. Fuxi sangatlah paham dengan gejolak hati yang wanita berambut ponytail itu alami, menjadi petani dan melupakan tugas memimpin pertanian gunung Gizhong, menjadi topik hangat yang berseliweran di telinga petani gunung, hingga sampailah kabar itu ke telinga Fuxi.

“Paduka hendak mengajari hamba kebiasaan belalang sembah betina yang kejam itu? Sayang sekali hamba sudah sangat paham. Mendiang kakak anda, paduka Nuwa sendiri yang mengajari Flora serta Fauna, tolong ajarkanlah hamba ilmu yang lain.” Semburat senyuman terukir pada wajah Chiyou, mendapatkan kembali tularan ilmu dari gurunya adalah obat bagi hati Chiyou yang tengah dilanda badai tak berujung. Semenjak kematian kakak Fuxi sang Nuwa, Fuxi menjadi pribadi yang tertutup dan tak lagi memberikan pelajaran satu pun padanya. Sosok itu kembali membuang muka dari manusia-manusia bodoh, dan lebih memilih mengurung hati serta empatinya. Ketika ia berpaling, Chiyou ingat betul kalimat terakhir yang Fuxi katakan pada dirinya.

“Pergilah, lanjutkan tugas kami berdua Chiyou, ajarkan pengetahuan pada makhluk-makhluk tak berakal itu.”

Chiyou yang waktu itu barulah berumur 20 tahun hanya mampu terdiam, tak lagi bertanya dan langsung berbalik keluar dari rumah mendiang, pergi dari gurunya untuk mengelilingi daratan China seorang diri, menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan pada orang-orang dungu yang belum lama ini tinggal di dunia ciptaan Nuwa. Tapi hari ini, tepat di bulan serta hari di mana panen teh hijau mengalami peningkatan pesat berkat ilmu Chiyou, sejarah telah lelah menceritakan kisah heroik wanita ini dalam melanjutkan profesi Nuwa dan Fuxi. Wanita itu pada dasarnya rapuh, rapuh bila terus-terusan disodorkan kegagalan. Begitu pula dengan hati Chiyou, entah seberapa hancur wanita itu sekarang, usai dirinya dilanda pengkhianatan, iri dengki, fitnah, dan bejibun banyaknya dosa manusia, kala orang-orang merasa iri akan kekuatan akal Chiyou.

“Belalang sembah itu Chiyou, bukan perkara hanya kebiasaan betina saja yang menyantap kepala pejantan karena keserakahan. Aku khawatir dirimu akan menjadi sosok si pejantan ini dimasa yang akan datang. Ingat, akulah yang mengajarimu cara menebak masa depan bukan?”

Udara senja makin menusuk, sementara dari pelupuk mata Chiyou, beberapa warga yang tinggal menempel di dinding curam pegunungan melambaikan tangan girang, menyapa dirinya sebelum menutup jendela serta menyalakan lampion-lampion di atap-atap rumahnya. Kebetulan letak rumah kayu Chiyou berada di tengah-tengah perkampungan petani gunung. Hanya rumah dirinyalah yang tidak menempel di lereng serta dinding-dinding 90 derajat di sana. Chiyou sekali lagi membetulkan posisi kerahnya, ikut menyeruput teh hijau hasil produksi tetangga-tetangganya. Wanita itu paham, paham bila gurunya ini tengah memperingati akan ide gila yang tercetus dalam benaknya, lalu tertebak oleh rekan-rekan petaninya. Waktu itu, seusai berita tersebut merebak luas bak kilatan petir di bulan Juni, puluhan orang memadati rumah kayu Chiyou, memastikan apakah kabar burung itu benar adanya. Harap hati wanita yang punya wibawa seperti ratu ini akan berkata tidak, itu semua omong kosong! Tapi yang ada malah pembenaran, pembenaran bila memang itu yang tengah menjadi pertimbangan Chiyou selama 2 bulan ini.

“Hamba sudah gagal paduka Fuxi. Hamba gagal mengajari manusia, gagal melanjutkan wasiat mendiang Nuwa. Hamba sudah melewati ratusan praktik dosa manusia, rencana pembunuhan dan lain-lainnya yang lebih gila dari itu. Hamba ingin kabur dari hidup penuh tantangan ini paduka, sama seperti Anda semasa kehilangan mendiang Nuwa.” Tak pernah hati Chiyou menyangka, bila ide keramat yang selalu ia sembunyi-sembunyikan dari radar gurunya ini akan keluar sebegitu ringannya di mulut.

Sosok yang bernama Fuxi bangkit dari duduk berpangku kakinya. Sunset telah padam di sana, lampu warna-warni milik penduduk adalah sumber cahaya terakhir yang dapat mereka manfaatkan. Mata biru Fuxi memandang lurus ke kumpulan awan di jurang depan rumah kayu muridnya, “Apakah kau bersedia menjadi pejantan belalang sembah setelah kepergianmu ini Chiyou? Kau pasti sudah tahu bila ada 16% kemungkinan jantan tertelan keserakahan betina. Apakah kau sanggup kabur dari malapetaka itu?”

Chiyou ikut bangkit menjejeri bahu gurunya, meninggalkan gelas kayu berisi teh hijau di kakinya, aksesoris berupa ikat rambu putih yang mengikat ekor rambutnya bergoyang lemah, bersisian sempurna dengan lekukan punggungnya, “Aku akan berusaha ingat untuk kabur paduka. Jika seluruhnya gagal, mundur! begitulah peribahasa yang kuajarkan pada salah satu panglima bernama Sun Tzu di kota seberang. Aku yakin peribahasa ke-36 itu akan sangat berguna untuknya.”

Terdiam cukup lama, Fuxi pun akhirnya melipat tangannya di dada. Menumpuk jemari-jemarinya seraya memejamkan mata. “Kalau memang itu maumu, tidak ada lagi yang mampu menghalangi dirimu Chiyou. Memang sejak awal akulah yang bertanggung jawab menyuruhmu menjadi tangan kanan dewi macam kami saat mengajari manusia. Kalau begitu sebagai hadiah perpisahan, aku ingin mengangkat derajat namamu menjadi seperti kakakku Nuwa. Apakah kau berkenan untuk mengganti namamu menjadi Nuwa?”

Wanita itu menunduk takzim, menekuk kedua lututnya dan bersimpuh di hadapan guru sekaligus panutannya, memangku lengan di atas lututnya, “Akan hamba terima. Ini adalah hadiah terindah yang pernah hamba dapatkan. Hamba akan jaga betul-betul marwah nama ini sebaik yang hamba mampu paduka.” Hey, apakah patut makhluk tanpa kekuatan macam dewi ini mendapatkan berkah pemberian nama sang dewi? Tentu tidak bukan? gila betul ada dewi yang mau menawarkan seseorang mengenakan nama yang sama dengan dirinya. Akan tetapi, rumus-rumus mutlak nan kolot ini memutuskan untuk membelot pada diri Chiyou. Maklum, wanita ini adalah makhluk spesial, jangan pernah samakan dirinya dengan berondongan makhluk tanpa akal di alam dunia ini.

Maka, di malam dimana rakyat petani gunung Gizhong tengah menikmati teh hijau serta kue bulan tradisi panen nenek moyang, wanita itu mengemasi barang-barangnya cepat, memanggulnya di bahu lantas berteriak lantang pada lusinan keluarga di rumah-rumah ekstrem mereka. Mulai malam hari raya panen teh hijau pada tahun shio tikus, pengganti tetua Chiyou telah ditentukan. Namanya Fuxi, dan dia adalah guru dari Chiyou. Segera saja setelah kalimat itu dikumandangkan, puluhan jendela juga pintu di dinding-dinding curam itu terbuka lebar-lebar. Warga-warga yang terkejut melongokkan kepala, berebut pandang hendak menyaksikan prosesi pertukaran jabatan itu.

Hari-demi hari berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada lagi sosok yang bernama Chiyou di deretan daftar petani gunung Gizhong. Nama yang indah itu telah berganti menjadi Nuwa, nama pemberian gurunya yang ia ambil dari mendiang kakak gurunya sendiri. Mulai dari malam di mana kegaduhan akan pergantian pimpinan itu berlangsung, Nuwa tinggal di kuil perdebatan dirinya dengan tetua sebelumnya berkecamuk. Sang kakek sudah lama berlalu pergi dari sana, membuat Nuwa menjadi leluasa mengatur kuil di puncak itu sebagai peristirahatannya dari sejarah panjang profesinya menjadi guru manusia. Kini, memetik teh serta menyaringnya di penyaringan adalah pekerjaan tetapnya, menetap di gunung Gizhong menjadi keinginan terakhirnya.


Kira-kira begitulah ending yang Nuwa damba-dambakan dari kisah yang dimulai oleh dirinya saat bernama Chiyou ini berakhir. Ia ingin melupakan semua tugas serta beban moral dalam dirinya di gunung yang terkenal akan industri teh serta pemandangan sunsetnya. Memang wanita bernama Nuwa ini pada dasarnya tetaplah wanita, ia ingin menatap mesra di mana matahari perlahan memberikan salam perpisahannya, menatap senandung sakura yang berwarna merah muda, menatap rembulan yang mau berbaik hati memberitahu kebaikan matahari dengan cahaya lembutnya, saat manusia berkali-kali menghina sang raja tata surya karena sinarnya yang terlampau panas.

Malam itu adalah malam yang sunyi, gemerisik kumbang serta belalang dari balik pohon sakura kecil yang ditanamnya di depan kuil membuat Nuwa alias Chiyou dengan santainya menurunkan kewaspadaan.

Tapi sayang, semua kesunyian malam itu berakhir dengan kegilaan. Kegilaan yang bahkan mampu meruntuhkan segudang ilmu dari guru-gurunya. Siapa sangka, satu tahun berselang usai jabatan lamanya diganti oleh gurunya, dirinya benar-benar collaps seperti petuah gurunya, merugi seperti pejantan belalang sembah.

“Kenapa paduka? Apa salah hamba?” sebilah pedang bertangkai teratai yang berdarah-darah terhunus di pelataran kuil berbahan granit. Sementara berdiri dihadapannya, ratusan warga yang memegangi obor setinggi pohon sakura dengan lidah api ganas yang bergoyang selayaknya sapuan angin selatan menampar bunga-bunga pink kesukaan Chiyou.

Bukannya tersadar akan perbuatannya, ketua terbaru petani gunung Gizhong malah mendengus kecil, mempertontonkan kuasa pedang teratai pada wanita yang terduduk dengan luka sepanjang 10 cm di bagian pinggang.

“Sejak aku menawarkan nama Nuwa padamu Chiyou, kau sudah menjadi pejantan belalang sembah. Kau terlena akan hal itu dan menerimanya begitu saja tanpa berpikir panjang sebelumnya. Sama seperti jantan yang terbuai kecantikan betina, hingga terjerumuslah ia pada keserakahan betina dalam sifat kanibalnya.”

“A-anda mengatakan itu adalah hadiah!”

Fuxi tersenyum tipis, setipis awan yang menangis tersedu-sedu menutupi cahaya bulan di atas sana. Mereka terlampau sedih harus menyaksikan tragedi berdarah gunung Gizhong malam ini. “Justru hadiah itu adalah ujiannya Chiyou, bukannya dahulu kakakku pernah memberitahumu, bahwa siapa saja yang berani mengklaim nama dirinya sebagai nama dari orang lain, maka kesialan akan menimpa orang itu.”

Mata Chiyou membelalak, satu liter darah segar langsung muncrat dari mulutnya, “Apakah, apakah paduka sengaja memberikan serta menjelma menjadi kesialan itu?”

Dari balik punggung Fuxi, seorang kakek tua yang dahulu berdebat hebat dengannya datang sambil tertatih-tatih membawa sebingkis kertas berisi catatan panen daun teh warga-warganya. Keringat jelas mengucur di dahinya, namun sebuah senyuman keji pertanda kepuasan akan dendam jelas terukir di sana. Sudah bak seekor serigala yang hendak memangsa domba-domba saja.

“Ketua Fuxi, benar apa yang Anda katakan! Saya sudah memastikannya dari data. Si Nuwa yang ini, ternyata selama satu tahun sudah melampaui hasil produksi teh keseluruhan petani sini! Dasar mentang-mentang banyak ilmu! Memang pantas bila orang ini kita singkirkan saja! Dia hanya akan menjadi benalu yang memadamkan popularitas teh hijau gunung Gizhong!”

Riuh teriak serta sorakan warga pemegang obor di balik punggung Fuxi bergema, membuat ciut nyali serta hancur mental Chiyou yang pakaiannya sudah robek-robek usai diterjang ganas oleh gurunya sendiri.

“Sayang sekali Chiyou, kau tak sanggup kabur dari cengkraman betina. Kau akan menjadi salah satu dari 16% pejantan yang dilahap betina. Maaf aku harus melahap kepalamu.”

Dengan anggun, pedang perak dengan ujung berwarna merah darah itu mencium leher dari Chiyou. Wanita itu membeku, urat nadinya sudah menyerah, otaknya telah kabur dari tugas. Yang tersisa hanyalah degup jantung yang bersahut-sahutan keras di sana.

Dan, catatan sejarah tentang Chiyou pun dihapus. Wanita dengan ilmu seluas samudera itu terkulai lemas dengan mata yang membuka. Fuxi sendirilah yang menutup mata anak didiknya. Berselang 2 jam seusai para warga kembali ke rumah-rumah kayunya karena girang diperbolehkan minum-minum dalam perjamuan baijuu, dewi itu pergi nyaris tanpa suara menemui mayat muridnya. Dalam keheningan decak cicak di langit-langit kuil yang nyaris roboh diamuk massa, Fuxi datang menarik tubuh tanpa jiwa itu ke batang pohon sakura.

“Bangkitlah, wahai jiwa yang terlahir oleh sejarah. Penciptamu datang kepadamu.”

Mata Chiyou bergerak-gerak, tubuhnya menghangat. Rambut abu-abunya kembali mendapat kekuatan untuk bergoyang, memberikan sinyal pada sosok di depannya bila pemilik rambut ini telah bangkit.

“Paduka Fuxi.”

“Selamat datang di kebangkitanmu yang ke-405 Chiyou, sepertinya ini tahun keseribumu hidup di dunia yang kakakku ciptakan. Bagaimana? apakah ilmu terakhir yang baru saja selesai kupraktikkan sudah membekas di otakmu?” Fuxi berdiri dengan gagah seraya menyarungkan sebilah pedang dalam sarungnya. Pakaian Ying juga Yang dewi itu terkibar-kibar bebas dihempas angin malam, mata birunya menatap ganas lautan awan tanpa ujung disisinya. Sementara Chiyou, wanita itu masihlah tertunduk malu tak berkutik di hadapan gurunya.

“Chiyou paham. anak yang terlahir dari sejarah ini paham paduka Fuxi. Maaf sudah membuat anda kecewa karena lalai menjadi pejantan yang pernah anda peringatakan sebelumnya.”

Chiyou akhirnya mengetahui maksud tersembunyi dari gurunya. Dimulai dari keinginannya untuk pergi meninggalkan tugas, lalu rencana tersembunyi gurunya yang sengaja menawarkan nama kakaknya sebagai perwujudan pesona betina, tak lupa pula ketika dirinya menerima tawaran tersebut tanpa menyadari bila ini semua ujian dari gurunya sehingga terjerumus pada sifat jantan yang mudah tergoda. Chiyou sudah memahami itu semua.

“Maaf bila caraku dalam membahasakan ‘pejantan yang takluk pada keserakahan betina’ ini terlampau berlebihan. Aku terpaksa begitu karena ingat ini adalah ilmu terakhir yang bisa kuberikan padamu Chiyou.”

Chiyou bangkit dari duduk bersandar pohon sakuranya, “Hamba tak akan pernah melupakan ilmu yang indah ini paduka, menjadi pribadi yang tak terbuai pada kenikmatan dunia, dan ulet melepaskan diri dari kesialan.”

Fuxi berjalan mendekati batang sakura disisi Chiyou yang masih berdiri tegak. Ia menyentuh salah satu rantingnya, memetik daun merah muda darinya dan menyerahkannya pada Chiyou, “Mulai fajar hari ini, aku resmi mencabut nama pemberian kakakku padamu Chiyou. Kalau tak salah, dahulu kau pernah mengatakan padaku bila sakura yang kubawa dari daratan Jepang adalah pohon kesukaanmu bukan? Bagaimana bila Sakura adalah nama pengganti terbarumu?”

Chiyou menunduk dalam-dalam, memberikan hormat terakhir pada guru terbaiknya, “Itu nama yang indah paduka Fuxi.” Ia pun kembali menatap mata gurunya, menerima sakura terakhir sebagai pesan perpisahan bagi kedua makhluk spesial itu.

Xiexie 1 Sakura.”

1. Ucapan terima kasih dalam Bahasa Mandarin.

Oleh: Mohammad Rosyid Wahyudin
Editor: Yudistira Brigas Wohingati
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -