Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Membeli pakaian baru di sebuah toko atau brand ternama adalah sebuah hal yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia. apalagi para remaja yang selalu ingin memakai pakaian atau barang dari brand terkenal. Akan tetapi, bagaimana jika sebagian dari mereka membelinya dari tempat thrift?
Nah, apa sih makna dari thrift? Yup, thrift berasal dari bahasa Inggris, yakni “penghematan”. Dalam hal ini, bagaimana seseorang membeli barang bekas yang masih layak pakai dengan harga yang jauh lebih murah, dan barang bekas tersebut adalah barang branded hasil impor dari luar negeri. Yang mana, kegiatannya disebut dengan thrifting. Kegiatan ini cukup populer di kalangan remaja, apalagi bagi para santri.
Pada episode kedelapan dari serial Pojok Santri ini, penulis akan membahas bagaimana tanggapan para santri yang sering beli produk dari tempat thrift. Tentunya, sebagai santri yang memang harus pintar dalam menggunakan fulus, beberapa dari mereka ada yang berusaha untuk bisa mempunyai produk ternama, yang bahannya pun harus original. Salah satunya dengan cara nge-thrift.
Lalu, bagaimana tanggapan para santri? Apa saja keuntungan dan kekurangan dari nge-thrift?
Keuntungan Thrifting
1. Hemat Uang
Pastinya, dengan cara thrift kita bisa mendapatkan barang dari brand ternama dengan harga yang jauh lebih murah, dan barang itu adalah barang original dari brand ternama tersebut. Sudah murah, ori lagi!
“Waktu itu, aku pernah ke salah satu tempat thrift pakaian, dan aku dapat barang yang harganya itu sekitar 500 ribuan, dan itu brand dari luar negeri yang lumayan terkenal. Padahal pas aku cek harga aslinya dari brandnya langsung, harganya sekitar 2 sampai 3 jutaan. Tapi, waktu itu aku lagi gak bawa uang, jadinya gak beli deh, hehe” ungkap santri kelas 6 yang bernama Akmal Al Madany sambil tertawa.
2. Kualitas Bahannya Bagus
Terus, bagaimana dengan kualitas bahannya? Yup, dari segi bahannya sudah tentu original, artinya bukan barang tiruan (kw), meskipun produk yang dijual adalah produk second, karena produk itu adalah produk yang sempat orang lain beli, yang kemudian mereka jual lagi.
“Kalo nanya bahannya, sudah pasti ori. Biarpun barang second ya, tapi kualitas dari bahannya itu masih bagus, dan layak pakai. Bahkan, ada yang masih kelihatan seperti barang baru,” ujar santri yang lain.
Akan tetapi, penulis menjadi penasaran. Kenapa produk yang seperti itu mereka buang begitu saja? Apa yang salah dengan produk tersebut? Apa kekurangan produk tersebut?
Kekurangan Thrifting
1. Menjadi Produk Gagal
Faktanya, beberapa orang yang pernah membeli brand tersebut menganggapnya sebagai produk gagal. Dalam artian, sudah tak lagi layak pakai bagi dirinya.
2. Stok Terbatas
Brand yang dijual ulang tentunya memiliki stok yang sangat-sangat terbatas. Ya, memang begitulah kenyataannya. Sebab, barang thrift adalah barang bekas dari orang lain, yang artinya barang tersebut hanya ada satu macam saja.
3. Keterbatasan Warna dan Ukuran
Selain stoknya terbatas, warna dan ukurannya juga terbatas, karena jika hanya ada satu stok, maka warna dan ukurannya juga hanya ada satu juga.
Tanggapan Santri
Yap, beberapa santri menganggap kegiatan thrifting adalah kegiatan yang bisa membuat mereka menjadi lebih untung, sebab mereka tak perlu mengeluarkan uang yang banyak untuk mendapatkan suatu barang atau brand yang terkenal.
Namun, ada yang beranggapan, bahwa mendapatkan barang hasil thrift itu hanya hoki semata, “sebenarnya, dapat barang yang kayak gitu tuh, hoki aja. Kalo, emang kitanya beruntung, ya udah dapat deh,” ujar salah seorang santri kelas 5 Aliyah.
Ia juga berpesan, jika ingin nge-thrift, maka pandai-pandailah dalam memilihnya, karena tidak semua barang itu kualitasnya bagus.
“Pesanku, kalo pengen nge-thrift tuh, pintar-pintar memilih aja sih, soalnya gak semua barang thrift tuh bagus-bagus kualitasnya. Barangnya bisa aja jelek, makanya harus pintar memilihnya, biar gak kecewa.”
Pada akhirnya, semua itu kembali pada keputusan masing-masing. Karena, selera orang itu berbeda-beda. Jika, santri yang suka thrift, itu selera dia, dan kita tidak harus menyamakan selera kita dengan santri tersebut, apalagi sampai memaksanya untuk mengikuti selera kita.
Mungkin, itu saja yang dapat penulis sampaikan dari Pojok Santri #8, Terima Kasih.
Oleh: Khalish Zeinadin
Editor: Khalish Zeinadin