Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Hilang, tertimbun dan terlupakan, seolah setiap tragedi di dunia ini adalah suatu aset yang hilir mudik informasinya bisa dikapitalisasi oleh perusahaan besar, apa yang terjadi di Gaza khususnya dan Palestina secara keseluruhan merupakan tragedi yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi negara-negara muslim di dunia dalam 70 tahun terakhir.
Bagaimana tidak, tempat suci ketiga umat muslim yang menjadi salah satu tujuan baginda nabi SAW, dalam perjalanan isra’ dan mi’raj kini sebagian berada di bawah kendali Israel yang membatasi, mempersulit, dan menghalangi saudara muslim kita di Palestina yang hendak berziarah dan beribadah, yang disaat yang sama juga mengkotak-kotakkan populasi Palestina di tepi barat ke dalam ghetto atau pemukiman yang terpisah atas dasar etnis dan agama dan secara sistematis merampas tanah yang bukan hak mereka dari penduduk pribumi.
Secara sah, komplek Al-Aqsa memang berada dibawah kendali dinasti Hasyimiyah Yordania, namun sebagian urusan keamanannya dikendalikan oleh militer Israel. Ngomong-ngomong soal Yordania, baru-baru ini negara yang dipimpin oleh dinasti keturunan Rasulullah SAW, tersebut dikabarkan turut membantu mencegat rudal balistik Iran menuju Israel yang merupakan respons atas serangan terhadap kantor konsulatnya di Irak yang melewati wilayah Yordania, menurut hukum Internasional tindakan ini sah, dan perlu dicatat bahwa pemimpin dunia mengambil kebijakan berdasar dorongan kepentingan negerinya dan situasi Geopolitik, kejadian ini menarik perhatian banyak kalangan umat islam, pers, sampai influencer yang memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan engagement dengan tajuk yang menyudutkan posisi pemimpin Yordania sebagai “penghianat Islam” dan lain sebagainya, padahal, keputusan yang diambil pemimpin Yordania sarat akan pertimbangan yang matang mengingat kondisi geopolitik, trauma akan pemberontakan yang disulut imigran Palestina di Yordania dan hubungan diplomatis negara Arab dengan Israel secara historis yang cukup rumit dan akan menjadi tulisan tersendiri jika saya jelaskan.
Intinya kita akan membahas satu masalah pada generasi kita sebagai akibat dari zaman informasi yang menyebabkan fenomena matinya kepakaran, FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan yang trend. Memang tak dipungkiri, di era informasi ini, tragedi di berbagai penjuru dunia bisa dikapitalisasi arus informasinya oleh perusahaan media besar seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Berita tentang Palestina selalu mendapat tempat khusus di kalangan masyarakat Indonesia yang heterogen, di tubuh umat Islam, berita ini akan berujung pada reaksi mengecam Israel, aksi demo, boikot ini-itu, berita redup, lalu kembali menjalani aktivitas semula hingga kembali mengonsumsi produk yang sebelumnya diboikot, sementara sebagian populasi non-muslim kita secara terang-terangan menyatakan dukungan ke Israel tanpa adanya pemahaman yang mendalam terhadap konflik ini, walaupun lebih banyak non-muslim yang membela Palestina, tapi tak dapat dipungkiri kebanyakan simpatisan Israel adalah non-muslim, kebanyakan dari mereka pada intinya hanya mengarah ke satu hal: menyelisihi golongan Islam, sehingga pola kehidupan beragama di Indonesia adalah kaum Mayoritasnya intoleran terbukti dengan banyaknya penolakan pembangunan rumah ibadah agama lain, dan kaum minoritasnya islamophobic.
Berita tentang Palestina kini menjadi sebuah trend dan bentuk dukungan dari para generasi Z kebanyakan berupa ucapan dan konten di medsos dan menempel bendera Palestina di bio profil mereka, efek melubernya informasi menimbulkan sikap keterbukaan gen Z terhadap pola pikir baru, yang berdampak pada sentimen terhadap praktik agama yang konservatif, ini pula yang membuat gen Z tidak antusias dengan aksi boikot produk yang kebanyakan diserukan oleh golongan yang lebih tua, terlebih lagi brand yang diboikot sangat lekat dengan kehidupan anak muda, sehingga terjadi fenomena unik dengan munculnya orang yang secara lisan mendukung Palestina namun uang mereka tetap mengalir ke starbucks, mcDonald, KFC, tanpa tahu dampak ekonomi dari korporasi tersebut berpengaruh pada bantuan finansial Amerika kepada Israel.
Generasi yang lebih tua dan tentunya lebih agamis lebih militan lagi menanggapi isu Palestina ini, segala aksi mereka lakukan, tapi inilah titik “lemah” nya mereka yang dimanfaatkan oleh media dan influencer yang menyajikan berita yang kurang berimbang demi exposure, dan dengan mudahnya digiring opininya seolah aksi dan langkah politik para pemimpin dunia yang tidak “berpihak” ke Palestina dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Islam, dan menaruh harap pada “pemimpin muslim” seperti Recep Tayyip Erdogan yang diharapkan “membebaskan Palestina” padahal membebaskan Palestina tidak ada dalam agenda nasional mereka dan malah diam-diam menormalisasi hubungan dengan Israel demi transfer teknologi militer.
Memiliki rasa simpati itu penting karena itulah yang menjadikan kita manusia, tapi hendaknya juga kita mengedukasi diri sendiri dan menghadirkan sikap kritis dalam menanggapi peristiwa dan tragedi dalam hidup kita serta peristiwa dan tragedi di dunia.
Dan lagi saya tegaskan, penderitaan saudara kita di Gaza belum usai! Terbaru Israel menyerang Rafah yang merupakan pengkhianatan atas ucapan mereka sendiri yang mengatakan Gaza bagian selatan adalah safe zone untuk masyarakat sipil, beberapa proposal gencatan senjata sudah diberikan namun tidak diindahkan. Umat Islam masih banyak memiliki PR di dunia modern ini, kita masih terengah-engah dan terombang-ambing layaknya buih di lautan, banyak tapi tidak berarti. Namun, selangkah demi selangkah kita mewujudkan firman Allah dalam Al-Quran sebagai umat terbaik, apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah berdoa dan bekerja keras.
Oleh: Tangguh Yodha Arzugadi.
Editor: Haidar Ahmad Zabran Aliyuddin.