Lembaga Pers Mu’allimin, Johor — Ramadhan lalu merupakan momen Ramadhan yang sama sekali berbeda bagi saya. Saya mengikuti program Mubaligh Hijrah Internasional, dan itu adalah pengalaman pertama saya untuk berdakwah di luar garis batas negara sendiri.
Kelompok kami terdiri dari 4 orang. 2 orang adalah saya dan kawan saya, Agha Humayyun Nayottama Wijaya, dan 2 orang lagi adalah siswi Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Saya bersama dengan Agha ditempatkan di Malaysia, lebih tepatnya di Ma’ahad Tahfidz Al-Insyirah, Johor Bahru, Johor. Ma’ahad ini terletak di semacam barisan ruko yang, menurut saya, terkesan agak sepi. Di depan nya terdapat barisan tempat parkir yang beberapa sudah diisi kendaran roda empat, dan sepertinya memang tempat parkir yang permanen untuk residen di sekitar situ. 2 siswi Mu’allimat yang tadi bersama kami ditempatkan di asrama khusus perempuan yang masih satu payung dengan Ma’ahad Tahfidz Al-Insyirah, namun memiliki nama yang berbeda. Pembaca dimohon untuk tidak mempertanyakan apa nama asramanya, karena penulis sudah lupa.
Sewaktu kami dijemput di Stasiun Bus Larkin oleh tuan rumah kami, Ustadz Halimi, kami tidak langsung diantar ke Ma’ahad Tahfidz Al-Insyirah. Kami diantar ke rumah lama beliau untuk beristirahat, karena memang kami baru sampai di Johor sekitar pukul 01:00 malam waktu setempat. Baru besoknya kami kemudian diantar ke ma’ahad tempat kami ditugaskan.
Pertama kali kami sampai di Ma’ahad Tahfidz Al-Insyirah, kami baru benar-benar merasakan suasana dakwah yang sebenarnya. Perbedaan budaya sangatlah kental terasa di tempat dakwah kami ini, sehingga sangat penting untuk dapat beradaptasi dengan segala fasilitas yang disediakan disini, atau istilahnya dalam bahasa Jawa, nerimo.
Ma’ahad ini memiliki jadwal harian yang teratur, anak-anaknya dilatih untuk secara disiplin menerapkan jadwal tersebut setiap hari. Kami bangun sekitar jam 3 pagi untuk mandi, dilanjut dengan sahur sampai dengan pukul 4. Ketika makan, kami menggunakan semacam nampan besar yang diisi makanan dengan porsi 4-5 orang untuk kemudian disantap bersama-sama pula. Kami kemudian menunggu hingga Subuh pukul 6, yang sangat berbeda dengan subuh pukul 4 di Indonesia. Kami sebagai tamu dan pendatang tentunya harus menjunjung langit di bumi yang kami pijak ini, kami menganggap ini sebagai cara belajar yang tidak kami temukan di negara sendiri.
Disini kami diminta untuk menjadi pengajar, lebih tepatnya asisten sang pengajar, Ustadz Hakim. Pembelajaran disini lebih menekankan pada Al-Qur’an dan sekitarnya, meliputi tajwid, hafalan tahfidz, dan pengajaran buku Iqra’ untuk anak-anak yang masih berada di tingkat rendah. Buku Iqra’ disini menggunakan sistem tingkatan yang ditandai dengan angka, persis seperti di Indonesia. Namun jangan dibayangkan buku Iqra’ dengan gambar As’ad Humam dibelakangnya, ini bukan Indonesia.
Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, dan sepertinya keberkahan itu juga turun kepada kami. Terkadang kami diajak oleh sang tuan rumah, Ustadz Halimi, untuk berbuka puasa di tempat-tempat yang bahkan jarang saya kunjungi di Yogyakarta sendiri (entahlah dengan Agha ataupun teman Mu’at yang lainnya). Kami sering diajak untuk berbuka di Hotel-hotel yang mewah dan tinggi (gedungnya) atau di restoran yang makanannya sedap bukan main. Hanya di waktu seperti inilah kami bertemu dengan teman-teman perempuan, mengingat asrama perempuan masih satu payung seperti yang sudah dijelaskan tadi. Terkadang saya dan Agha harus pulang lebih dulu dari acara berbuka karena menjadi imam dan bilal tarawih di masjid tidak jauh dari ma’ahad, sehingga harus cepat-cepat untuk mengejar waktu sholat isya’. Namun kami tahu bahwa itu adalah kewajiban, dan bukan tanpa alasan kami sebut begitu.
Begitu terus kami laksanakan hingga datang hari Ahad tanggal 16 Maret, waktunya kami untuk berpisah. Kami berpamitan dengan semua orang di ma’ahad sebelum kemudian diantar kembali ke Stasiun Bus Larkin oleh orang yang sama yang menjemput kami di tempat yang sama pula, Ustadz Halimi. Kami kemudian berangkat menggunakan bus dari Johor menuju ke Kuala Lumpur untuk menghabiskan hari-hari terakhir kami bersama dengan partisipan MHI yang lainnya yang juga senasib ditempatkan di negara jiran ini.
Pada intinya, perjalanan ini mengubah hidup dan cara pandang saya, terlebih lagi secara sosial. Banyak budaya-budaya di Malaysia yang berbeda dengan apa yang kita punya di Indonesia, sehingga kami banyak belajar dan menerapkan disana. Terkadang ekspektasi orang-orang atas kami tidak sesuai dengan harapan mereka, disitulah kami harus memperbaiki kembali. Terimakasih saya haturkan kepada kawan saya, Agha, dan juga teman-teman Mu’allimaat yang belum saya sebut namanya, Kamilia Affani dan Nabila Wafa Syifa’ Aulia. Mereka mengingatkan saya bahwa perjuangan kita tidak ada artinya tanpa orang lain yang turut menurunkan tangannya untuk kita. Dan pada akhirnya, semoga apa yang sudah lalu menjadi hikmah untuk saya dan semua, serta hari-hari esok menjadi apa yang selalu kita harapkan dalam doa-doa kita.
Aamiin.
Oleh: Nadindra Hayfa
Editor: Tangguh Yodha A.