26.3 C
Yogyakarta
Jumat, 27 Juni 2025
BerandaCerpenKado dari Ayah

Kado dari Ayah

Sore menjelang malam aku mengemudikan mobil berwarna hitam milikku. Berkelok-kelok melintasi jalanan yang mulai dihiasi semburat langit jingga dan kerlap-kerlip lampu perkotaan. “Sunset yang indah,” ujarku dalam hati. Aku mulai memasuki kawasan perumahan, melirik sebuah rumah, memarkirkan mobilku di depannya, aku telah sampai. Sesaat sebelum aku menyalakan klakson, dari arah pintu rumah berlarian sesosok monster kecil, ya itu anak perempuanku, berteriak-teriak memanggilku. Aduh enggak malu apa sama tetangga?

“Ayaah! Ayaah!” teriaknya saat membuka gerbang, langsung menghambur memelukku.

“Sssst! Tuan putri, kita jangan bersuara dulu, nanti penyihir dari negeri seberang mengetahui keberadaan kita!” melihatku yang berpura-pura memasang wajah serius, dia pun tertawa menutup mulut dengan kedua tangannya.

“Risa! Ayah baru pulang kerja, masuk dulu, mainnya sehabis Isya saja, biarkan ayah istirahat” ujar istriku yang sudah ada di depan kami.

“Aaaa! Ksatria! Penyihir dari negeri seberang menemukan kita!” bukannya menurut, dia malahan terus bermain.

“Kamu benar Putri Risa! Kita harus segera lari dari sini, ayo naik kepunggung saya!” aku menggendong Risa, langsung nyelonong masuk ke rumah, meninggalkan istriku yang menatap kesal.

Namaku Budi, ya, hanya satu kata, Budi. Orang -orang pasti akan heran dan tidak percaya jika mendengarnya, ya mengapa tidak? Di zaman yang sudah serba canggih seperti ini, disaat para orangtua berlomba memberikan nama yang keren pada anaknya, mau itu kearab-araban, keinggris-inggrisan, kejepang-jepangan, eh ini orang beda sendiri, sudah kayak nama bapak-bapak tahun 90-an saja, tapi ya bodo amat.

Aku seorang ayah dari seorang anak bernama Risa, istriku sendiri adalah seorang CEO sebuah perusahaan yang bergerak untuk membantu anak-anak yang memang harus ditolong, kemarin saja seorang kakak-beradik yang dia nobatkan sebagai adik angkat baru saja lulus menjadi sarjana dikampus terbaik negeri ini. Karena aku bekerja sebagai seorang arsitek perusahaan internasional, aku cukup sering tidak ada di rumah untuk meneyelesaikan proyek, baik di luar kota bahkan luar negeri. Jadi saat mendapat cuti atau bekerja di daerahku, aku usahakan untuk terus pulang ke-rumah dan menumpahkan kasih sayang pada keluargaku 24 jam, menebus peranku sebagai seorang ayah saat tidak di rumah.

“Budiii! Itu Bapak dibukakan pintunya!” teriak Ibu. Aku menghembuskan nafas kesal. menandai halaman buku. Beranjak turun dari kasur berjalan kearah pintu lalu membukanya. Menatap datar Bapak yang masih berbalut seragam tentara. Tak ingin berlama-lama, mengambil barang bawaan bapak, menaruhnya di meja ruang tengah. Langsung ke kamar.

“Budiii! Itu Ayah dikasih makanan atau minuman apa gitu?” langkahku terhenti. Mendengus. Kenapa tidak Ibu saja sih? Aku pun buru-buru membuang pikiran tidak sopan itu. Melihat itu bapak bertanya.

“Budi, kamu kenapa, Nak? Kamu marah sama Bapak?” aku memalingkan muka, pikir sendiri! Ketusku dalam hati tidak mengubris bapak. Meletakkan kopi hitam bin olahan tidak niatku ke meja depan bapak duduk. Pergi ke kamarku.

“Bapak minta maaf ya, Nak” Maaf, maaf, maaf! Minta maaf saja terus! Sudah ribuan kali aku mendengarnya hingga bosan. “Budii! Tidak sopan begitu, itu bapakmu dijawab!” ibu yang sudah selesai menyetrika menghentikan langkahku.

“Kamu kenapa Budi? Kamu marah sama Bapak?” tanya Ibu memelankan suaranya.

“IYA! BUDI MARAH! BUDI BENCI BAPAK JARANG DIRUMAH! BUDI BENCI BAPAK MENJADI TENTARA! BUDI BENCI! BENCI1 BENCI!!” entah dari mana datangnya keberanianku berteriak di depan kedua orangtuaku sendiri, hari ini aku sudah tidak tahan lagi, biarlah, biarlah hari ini kutumpahkan semua kekesalanku, semua kemarahanku. Aku menahan amarahku sejenak, menatap wajah bapak dan ibu yang tercengang, tidak dapat berkata-kata. Entahlah bagaimana sekarang kondisi wajahku saat ini, yang pastinya kutahu, wajahku telah basah oleh air mata. Air mata yang selama ini kupendam.“Bu….Bu….Budi hanya ingin seperti teman-teman budi, setiap hari dapat berkumpul bersama, bercanda tawa hingga larut malam, Budi…Budi hanya ingin Bapak ada untuk Budi,” sudah cukup, aku melepaskan tangan ibu, berlari mengunci kamar, langsung menutupi diriku dengan selimut, meringkuk memaksa tidur, aku ingin melupakan semuanya, semuanya!.“

Budii, Bapak sungguh minta maaf” Aku tidak mau dengar! Aku menutup telingaku. “Budi, Bapak benar benar menyesal…….Aku membuka mataku. Gelap. Jam berapa sekarang? Aku mencari-cari jam alarmku di meja sebelah kasur. Eh! Ini bukan kamarku, dimana ini? aku seperti berada di permukaan air yang dangkal, ahanya setinggi mata kaki. Aku melirik kekiri-kekanan, hanya gelap yang ada, bahkan aku tidak bisa melihat tanganku. Aku mulai panik, mulai berlari lurus kedepan.

“Bapak! Ibu! Kalian dimana?!” teriakku panik. Tidak ada jawaban.

“IBUU! BAPAAK!” KALIAN DIMANA?!” kukencangkan suaraku, masih sama, tidak ada jawaban. Hingga aku terjatuh menimpa genangan air yang hanya setinggi mata kaki itu, rasanya seperti tersandung sebuah batu, aku mulai dapat melihat meski sangat buram. Dan saat aku ingin menengok benda apa yang kusandung, aku berteriak ngeri. Itu kuburan! Dan nama yang ada dikuburan itu, nama Bapak…

Bruak! Aduh aku terjatuh dari kasur. Segera kubuka mataku, celingak-celinguk memerhatikan sekeliling. Ini kamarku, syukurlah. Teringat mimpi tadi membuatku bergegas berlari kekamar orangtuaku, membuka perlahan agar yang didalam tidak bangun, berjalan mendekati mereka. Berdiri di samping ranjang. Syukurlah, bapak masih hidup, terdengar jelas sekali dengkurannya, kencang sekali malah! Aku tertawa membayangkan ibu yang kesulitan tidur gara-gara dengkuran Bapak. Aku tersenyum beranjak pergi. Aku akan berubah besok.

Besoknya, betapa terkejutnya wajah kedua orangtuaku melihat perubahan drastis anaknya. Seakan kemarin seperti tidak terjadi apa-apa.

“Bapak! Ibu! hari ini kita kepantai yuk, nanti malamnya kita ke pasar malam, kan sudah lama kita-kita ini tidak jalan-jalan,” ujarku riang, Bapak hanya mengangguk saja, masih syok.Maka hari ini kami pun berlibur ke pantai. Mulai hari ini aku bertekad akan menghormati bapak.“Terima ini!.” Bola voli melesat cepat kearahku, dan…

“Menaaang!” teriak bapak. Aku berdiri, habis terjatuh menahan bola.

“Bapak curang! Ini namanya beda kelas! Tidak adil!”

“Yee, yang mengajak main siapa coba?”

Awalnya hari kami berjalan menyenangkan, hingga semua itu berubah saat di pasar malam. Saat itu, saat kami sedang asyik berkeliling-keliling, lihat sana, lihat sini, telepon bapak berdering.

“Ya, halo siapa ya?” kuperhatikan wajah bapak yang mengeras.

“Oh iya pak, siap.” Bapak menutup telepon, menatap wajahku dan Ibu bergantian. Perasaanku tidak enak.

“Budi.” Jangan bilang.

“Bapak ingin bilang sesuatu,” aku tak ingin mendengarnya!..“Bapak benar-benar…” kumohon jangan katakan itu!. “Bapak benar-benar minta maaf, ada panggilan tugas darurat, situasinya gawat, bapak harus segera pergi, Bapak janji akan berusaha pulang seminggu lagi…” aku sudah tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Bapak. Kepalaku terasa pusing, kesadaranku mulai menghilang, hingga…

…..

1 minggu bahkan sebulan kemudian. Bapak tak kunjung kembali. Teleponnya pun tidak aktif, tak dapat dihubungi, ibu yang panik tidak bisa berbuat apa-apa. Kami tidak tahu kabar bapak.Malam ini, aku meringkuk di kasur, menutupi diri dengan selimut. Bapak bohong! Bapak bohong! Ujarku.

“Bapak…” Aku turun dari kasurku, dengan perasaan marah, kuacak-acak seisi kamar. Mendengar kerusuhan itu, Ibu bergegas menuju kamarku.

“Budii ini Ibu,” ku jatuhkan meja belajarku, menimbulkan dentuman keras. “Ibu mohon berhenti, Nak. Buka pintunya!” Ibu mencoba membuka pintu namun tak kunjung bisa karena telah ku kunci, kubuka lemariku, ku lemparkan semuanya. Saat itu pula tak sengaja sebuah kotak kado terjatuh dari lemari atas. Hei! Sejak kapan kotak itu ada di lemariku? Terhenti sejenak, ku ambil kotak itu lalu membukanya.

“Ini…inikan.” sebuah action figure robot Gundam. Ku periksa sekali lagi mainan itu, ini asli!. Mainan yang selama ini kuimpikan tapi tak kesampaian. Benda lainnya didalam kotak itu adalah surat, mulai kubaca isinya.

“Saat aku menulis surat ini. Perasaanku campur aduk, antara sedih, marah, meyesal dan mungkin juga bangga. Aku seorang Bapak dari dua anka, Budi 11 tahun dan Ragil 5 tahun. Budi adalah anak yang cerdas, selalu juara di kelasnya, seringkali diapun dikirm sebagai perwakilan sekolahnya untuk lomba nasional. Sebagai seorang Ayah, tentu saja ada perasaan bangga, namun di satu sisi ada juga perasaan bersalah. Bekerja sebagai tentara yang lagi naik daun-daunnya, membuatku kerap kali dipanggil untuk bertugas, mau itu di luar kota bahkan luar negeri, hal itu membuatku tidak punya cukup waktu untuk keluargaku, kalau adapun palingan sebulan hanya 7 kali, itu pun kalau tidak ada hal mendesak di pekerjaan. Aku marah pada diriku sendiri, karena merasa gagal sebagai sosok ayah yang baik. Dan itu terbukti. Hari ini, Budi marah, dia berkata benci padaku, hatiku seakan tertusuk mendengarnya, dia pun mengunci diri dikamar, aku dan istriku mencoba membujuk keluar, meminta maaf, tak ada jawaban, kami pun menyerah. Besoknya, betapa kaget kami berdua melihat Budi ceria sekali, seakan tidak terjadi apa-apa kemarin. Malahan dia sampai mengajak ke pantai dan pasar malam. Aku yang masih kaget mengangguk saja. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga atasanku menelpon, keadaan darurat. Singkat cerita budi pingsan. Istriku menjerit, akupun tak kalah panik, menaikkan tubuh Budi ke mobil, membawanya pulang. Syukurlah hanya pingsan. Aku menatap wajahnya setelah mrebahkannya di kasur. Aku menunduk menatap wajah darah dagingku sendiri, merasa gagal sebagai ayah. Saat itu juga aku teringat , “kapan terakhir kali aku mengasihnya kado ulang tahun?” aku mencoba mengingat, terakhir kali saat usia Budi 5 tahun saat aku tidak terlalu sibuk, sejak naik pangkat, tak pernah kuberikan Budi hadiah. Ya 1 bulan lagi Budi ulang tahun, aku akan menaruhnya di lemari.”

Bapak…. Ini hadiah dari bapak? Hatiku terguncang setelah membaca surat itu. Mainan ini, pasti harganya tidak main-main mahalnya, sempatku lihat ditoko online, mahal. Apalagi ini mainan asli. Bapak…

Seakan teringat. Aku membuka pintu. Tidak ada Ibu. Memeriksa ke sana kemari, hingga menemukannya di ruang tengah sedang menunduk.

“Ibu?” Ibu tersentak. Buru-buru menyeka matanya. Pasti habis menangis. Menatapku.“Budi,” suara ibu terdengar bergetar. Tadinya aku ingin bertanya, apakah Ibu sedih gara-gara aku? Tapi sebelum aku mengatakannya, ibu memotong duluan.

“Bapak” Bapak? Bapak kenapa? Ibu kembali menutup wajahnya, tak kuasa menatap wajahku, menangis kembali.

“Bapak, bapak kenapa bu?” mendengar itu, tangisan ibu semakin kencang.

“Bapak…bapakmu telah meninggal Budi!” tunggu! Apa? Apa yang barusan Ibu katakan tadi?.“Bu, tadi yang Ibu bilang bohongkan? Budi tadi hanya salah dengarkan? Ibu hanya bercanda dan Bapak akan pulang ke rumahkan?!” bergetar aku mengatakannya, Ibu semakin keras suara tangisnya. Aku menunduk, berharap ini hanya mimpi buruk, lalu sebentar lagi aku akan bangun dan menemukan bapak yang sedang mengopi sambil baca koran di ruang tengah, walaupun aku tahu ini nyata. Ibu lalu menyerahkan surat-surat itu dengan tangan gemetar, aku tak kalah gemetar menerima surat itu. Mulai ku membacanya.

Surat pertama. 1 minggu setelah bapak pergi dari rumah.

“Hi Budi! Hi ibu! Apa kabar? Baik? Sangat baik? Atau luar biasa baik? Bapak harap kalian baik-baik saja disana. Bapak sendiri, tidak usah ditanya, sehat sentosa selalu. Maaf menghilang tiba-tiba, telepon bapak rusak saat bertugas, maka jadilah bapak mengirim surat ini, hahahaha, bapak ceroboh ya?. Ya mungkin sudah ya, dadah!”

Surat kedua 2 minggu setelah bapak pergi dari rumah.

“Hi Budi! Dan istriku tercinta! Kemarin lupa ingin mengatakan sesuatu, Bapak menaruh suprise khusus buat Budi di kamar budi, khusus ibu sendiri, tidak perlu ya? Ibu juga sudah dapat uang dari bapak per bulannya, bercanda, ibu juga dapat kok, ada dilemari bapak dicari saja, untuk Ragil juga disana. Oke sudah ya? Bye! I love you.”

Surat terakhir. 1 bulan sejak ayah meninggalkan rumah.

“Jujur Bapak menyesal. Bapak marah pada diri sendiri karena tidak punya waktu buat kalian, sungguh bapak amat menyesal, bapak benar-benar minta maaf, bapak merasa gagal sebagai seorang kepala keluarga, walaupun bapak tahu, sangat tahu, kata maaf saja tidak cukup, Bapak ingin mengatakan sesuatu pada kalian, besok bapak akan pulang, bapak tidak akan pernah mengambil tugas diluar pulau lagi bahkan luar negeri, besok setiap seminggu kita akan sering bertemu, bercanda gurau bersama, tertawa bersama, dan banyak hal menyenangkan lainnya, besok kita akan bertemu lagi atas kehendak Tuhan. Terakhir, bapak ingin kalian mengetahui bahwa, walaupun negara ini tidak membolehkan bapak untuk mencintai kalian, walaupun seisi planet dan semesta sekalipun melarang bapak untuk menyayangi kalian. Ketahuilah, dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi sesulit apapun, bapak akan selalu, selalu, selalu, akan selalu menyayangi kalian selamaya”. Saat itu, luruh lantaklah semua kekesalanku, luluh lantaklah semua kemarahanku. Tangisku pecah, lebih kencang dibandingkan ibu. Bapaak…

…..

Kembali ke masa kini

.“Iya Bu, Ayah teringat akan Bapak,” ku genggam erat tangan istriku. “Walaupun Ayah dulu pernah membentaknya, sering melakukan kenakalan, Bapak tetap menyayangiku,” ku tatap matanya. “Dan karena itulah, aku sayang padanya.”

Oleh: Muhammad Azka Hudiya
Editor: Khalisb Zeinadin
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Kiriman Sebelumnya
Kiriman Selanjutnya

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -