Yogyakarta — Dunia diciptakan dengan keterbalikan. Kita bisa mengenal “ada” karena kita mengenal “tidak ada”, lalu mengenal “terang” karena “gelap”, dan kita bisa mengenal “kebaikan” karena “keburukan”. Adalah dualitas, layaknya sebuah filosofi Tiongkok kuno: Yin dan Yang, saling melengkapi, menciptakan harmoni. Tanpa Yin (gelap) kita tak bisa mengenal Yang (terang).
Sobat Kweekers pasti tahu korupsi, kan? Iya, yang dilakukan oleh alang-alang hama itu. Menganggu, merusak itu pasti. Itu sebuah “Yin” yang dijadikan pembelajaran agar muncul “Yang” demi transformasi kepada keseimbangan atau harmoni.
Di sebuah madrasah yang banyak orang anggap memiliki racun pembasmi alang-alang, nyatanya masih banyak alang-alang yang bebas. Tentu tak bisa menyalahkan pemilik racun, ini memang menjadi hakikat alam itu sendiri.
Sob, korupsi yang alang-alang lakukan banyak jenisnya, banyak juga caranya. Maka, sedikit penulis ingin memberi sebuah pembelajaran dari “Yin” demi bangkit “Yang”. Penulis membagi korupsi menjadi dua lingkup, individu dan kelompok:
Korupsi Individu
A. Korupsi Waktu
Jangan kira korupsi hanya soal harta, Sob, waktu juga bisa dikorupsi. Bagaimana caranya? Paling mudah adalah menunda-nunda tugas Anda, waktu yang diberikan oleh-Nya disia-siakan dengan hal yang membuang waktu. Lebih sulit, adalah membolos, si alang-alang yang dibiayai dengan sangat mahal, alih-alih dimanfaatkan penuh untuk masa depan, malah digunakan nongkrong di jam pelajaran.
B. Mencontek
Menurut penulis ini yang paling banyak praktiknya. Alang-alang melupakan nilai-nilai moral dalam nilai berbentuk angka, mengorbankan moral demi angka. Mengkhianati ilmu itu sendiri. Sadarilah bahwa masa depan kita bukan ditentukan oleh angka di buku rapor Anda.
C. Maling Lauk
Ini paling meresahkan. Orang tua Anda membayar DRB dengan biaya setinggi tiang listrik demi masing-masing manusia asrama bertahan hidup, tetapi alang-alang meresahkan dengan “mantapnya” mengambil jatah lauk yang tidak sesuai, hingga tak sedikit korban yang tidak mendapat jatah lauk untuk makan.
Biasanya seperti ini: ada satu anak sedang izin tidak di asrama, sehingga teman-teman berpikir bahwa lauknya menjadi miliknya. Kesalahannya di sini tidak ada yang benar-benar mengonfirmasi bahwa lauk teman itu menjadi miliknya. Jadi hasilnya ada lebih dari satu yang mengambil lauk lebih itu, contoh saja ada lima orang yang berpikir bahwa lauk teman yang izin itu menjadi miliknya, maka lima dikalikan dua lauk, menjadi 10 lauk. Maka, ada empat lauk yang seharusnya tidak menjadi miliknya.
Soal makanan, terlihat sepele dan lebay, tapi ini adalah perampasan hak yang tentu tidak bisa dibiarkan.
Korupsi Kelompok/ Organisasi
Dalam organisasi, sebuah wadah demi pengembangan diri, yang awalnya saya kira pengembangan potensi, nyatanya juga diselingi pengembangan pemasukan (dana) untuk diri. Baik organisasi yang bertajuk “santri” maupun yang membawa nama yang membanggakan “daerah”, tak terlepas dari fenomena korupsi.
A. Dalam Organtri, mudah sekali.
Contoh dalam Organtri: sebuah organisasi memiliki jatah uang dari madrasah yang cukup banyak, katakanlah 20 juta, oknum dari anggota merasa bahwa uang itu lebih dari cukup untuk acara-acara organisasinya. Maka dengan santai, saat alang-alang itu diamanahi melakukan sesuatu, katakanlah mem-foto copy surat, saat diberi setruk dengan total harga Rp5.000, dengan menambahkan angka “5” di depan, hasilnya menjadi Rp55.000, maka keuntungan haram yang didapat dengan modal Rp5.000, dia berhasil dapat tambahan Rp50.000 dari uang ganti organisasi. Sekali lagi itu hanya contoh; tapi bisa jadi kenyataan apabila si bendahara bisa diajak kerja sama. Itulah alang-alang organtri yang hidup di madrasah.
B. Dalam Orda, mirip mirip dengan yang di atas. “Biasanya” korbannya para anggota yang baru masuk struktur.
Contoh dalam orda: sebuah bidang yang ditugaskan membeli atribut seperti, korsa dan ID card. Orang yang ditugasi itu pergi ke konveksi, pihak konveksi menjumlahkan harga Rp115.000 (korsa) dan Rp15.000 (ID card) menjadi Rp130.000. Lalu, alang-alang menaikkan total harga menjadi Rp150.000, untung Rp20.000, katakan saja anggotanya 50, kalikan maka total keuntungan haram bagi alang-alang menjadi Rp1.000.000. “Ini adalah uang bensin dan waktu yang kami gunakan.” Itu kata alang-alang. Sangat wow wadidaw. Apakah ini nyata? Tanyakan saja ke para ketua-ketua “kerennya”.
Penulis tak mengatakan bahwa ini dilakukan baru-baru ini, penulis juga tak mengatakan ini memang dilakukan periode saat ini. Tahun ini seharusnya (semoga) tidak begitu.
Tiupan
Mau dilihat dari sisi manapun, praktik korupsi ini tidak bisa dibenarkan. Baik dari sisi kemanusiaan maupun keagamaan. Ingatlah bahwa kita adalah seorang muslim, seorang manusia bukan alang-alang, memanusiakan manusia adalah kewajiban bagi setiap manusia. Lebih-lebih, katanya kita “Kader Muhammadiyah”.
Kalau kata Buya Syafi’i, kita adalah kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan kader persyarikatan. Dengan tindakan korupsi? Kita tidak berperikemanusiaan, melukai nama dan organ bangsa, tidak mencermikan sebagai umat, dan pastinya tak pantas membawa nama persyarikatan.
Alang-alang kecil di madrasah menyoraki, mencerca alang-alang besar di kursi tinggi negara; mereka tak sadar bahwa alang-alang besar bermula dari alang-alang kecil.
Terakhir, Tan Malaka pernah berkata dalam bahasa Belanda: “Onkruid vergaat toch niet.” Yang artinya, “Alang-alang tak akan mati kalau tak dicabut akarnya.”
Adapun tulisan ini hanya sebagai angin tiupan yang berbisik halus kepada para alang-alang dan para manusia asrama yang penulis harap masih sadar dan akan selalu terus sadar, bahwa praktik korupsi tak dapat kita benarkan dan harus dihindarkan. Penulis tak bisa mencabut paksa alang-alang, hanya tiupan, maka kesadaran dan perubahan hanya bisa dari diri sendiri. Dan semoga ini semua menjadi “Yang” bagi “Yin”.
Oleh: Mouldy Mohammad Zayyedi.
Editor: Haidar Ahmad Zabran Aliyuddin.
Ketua “kerennya”? Itu nyindir apa sombong ya bang?
Sempet bingung kok alang-alang ternyata nama lain koruptor wkwkwk. Tapi kenapa alang-alang ya…