Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta— Hari Toleransi Internasional yang ditetapkan oleh UNESCO diperingati tiap 16 November oleh masyarakat sebagai momen untuk meninjau kembali akan pentingnya menghormati dan menghargai kepada sesama baik dari etnis, suku, budaya, hingga agama. Nah, buat kita seorang muslim dalam menyikapi toleransi punya batasan-batasan tertentu yang enggak mengekang dan malah mencegah dari hilangnya identitas sebagai muslim.
Kita ambil contoh satu saja paling simpel yakni mengenai beberapa masyarakat muslim yang kerap mengucapkan salam lintas agama bukan? Itu sebenarnya tidak diperkenankan. Karena, dikhawatirkan menjadi bentuk pengakuan terhadap keyakinan lain yang mana merupakan jalan menuju kesyirikan.
Walaupun kita memang hidup di dalam masyarakat majemuk, tetapi bukan berarti kita bebas bermasyarakat dan mengorbankan kewajiban syariat kita. Ustaz Felix Siauw pernah menganalogikan toleransi sebagai hal sesederhana karet gelang—yang biasanya kita dapetin pas beli nasi bungkus. Menurut beliau, toleransi enggak mungkin dilakukan tanpa adanya titik tumpu—dalam hal ini, jari tangan kita. Dan, karet itu memang memiliki kemampuan elastisitas untuk ditarik ke arah mana saja yang bisa dilakukan, tetapi kalau kepanjangan atau berlebihan bisa-bisa nanti putus. Dan, dalam hal ini karet adalah diri kita, tumpuan jari adalah syariat kita dan sifat elastisitas—yang memiliki batasan tentunya—adalah bentuk toleransi kita. Maka, yang namanya toleransi itu enggak boleh melebihi batas agama seorang muslim, terutama sebab menyangkut masalah akidah.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa menghormati dan berinteraksi dengan pemeluk keyakinan dan agama lain itu sah-sah saja—malahan, sebuah perintah Rasulullah saw. Namun, jangan sampai mengorbankan agama sendiri dan jangan sampai-sampai menerima pemahaman yang kurang tepat dalam beragama apalagi yang lagi marak saat ini seperti pluralisme agama yang membingungkan dan terkesan lebai.
Oleh: Muhammad Elfateeh Nursyams
Editor: Mazaya Abdillah Iskandar