Selepas lulus dari Mu’allimin setahun silam, saya merasakan kesedihan yang mendalam karena harus berpisah dengan kawan seperjuangan selama 6 tahun menimba ilmu di kawah candradimuka, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Di lain hal, diri ini sadar bahwa enam tahun nyantri di Mu’allimin telah usai dan kini saatnya untuk kembali lagi ke masyarakat untuk mengaktualisasikan ilmu yang telah saya dapatkan dari para asatiz untuk disampaikan kepada masyarakat.
Lahir di Keluarga Muhammadiyah
Lahir di lingkungan Muhammadiyah sejak kecil, membuat saya sudah terbiasa melihat hiruk pikuk persyarikatan. Bapak yang sudah aktif di Muhammadiyah sejak di ranah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), serta ibu yang juga aktif sejak di Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). Bahasan mengenai Muhammadiyah di lingkungan keluarga saya sudah seperti nasi bercampur sayur. Akan tetapi, bukan berarti lahir di keluarga Muhammadiyah memiliki lingkungan sekitar atau tetangga yang juga sesama Muhammadiyah.
Lingkungan Masyarakat Abangan
Lingkungan rumah saya, rata-rata masyarakatnya didominasi oleh masyarakat Islam abangan. Sehingga, bisa dikatakan orang yang pergi ke masjid untuk salat jamaah 5 waktu saja masih jarang. Paling-paling saf di masjid akan penuh ketika salat Jumat dan Tarawih ketika bulan Ramadhan. Selebihnya hanya satu, dua, tiga saf saja. Itu terjadi ketika ada suatu acara dan orang-orang mampir untuk salat jamaah. Artinya, kesadaran mengenai beragama di lingkungan rumah saya masih tipis sekali.
Selain itu, tradisi masyarakat seperti halnya tahlilan, kenduri, atau tradisi kejawen juga menjadi budaya yang sangat populis di tempat tinggal saya. Tetapi banyak dari mereka sekadar menjalankannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui esensi dari apa yang mereka kerjakan. Kebanyakan dari mereka hanya memiliki rumus opo jare mbahe atau apa kata mbahnya yang telah dikerjakan oleh para leluhurnya sejak zaman dahulu. Sehingga, jatuhnya lebih ke arah taqlid buta atau ikut-ikutan saja.
Tidak Cuma Membid’ah-bid’ahkan Saja
Secara paham agama, memang ajaran seperti itu ketika dihadapkan dengan gerakan Muhammadiyah, pastilah tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Ajaran tersebut secara gamblang menurut paham Muhammadiyah merupakan ajaran yang tidak diajarkan oleh syariat alias bid’ah. Tetapi, apakah saya langsung menghakimi lingkungan saya dengan membid’ah-bid’ahkan mereka? Tentu hal tersebut bukannya menyelesaikan masalah, akan tetapi, justru akan memperunyam masalah. Perlu ada pendekatan khusus untuk mengatasi hal itu.
Moderasi Agama Menurut Muhammadiyah
Muhammadiyah memiliki tiga model sistem berpikir yang digagas oleh M. Abid Al-Jabiry, seorang dosen filsafat dan pemikiran Islam Universitas Muhammad V Maroko, yakni: 1) Bayani, 2) Burhani, dan 3) Irfani. Bayani, yang lebih menitikberatkan kepada penggunaan teks (nash) untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Lalu burhani, lebih kepada penggunaan akal rasional untuk memahami suatu teks ataupun maknanya. Serta yang terakhir yakni irfani, yang lebih menitikberatkan kepada pengalaman batin/qalb, serta intuisinya untuk memahami sebuah teks ataupun makna di dalamnya.
Maka, bagi saya tiga sistem berpikir di atas merupakan langkah moderasi dakwah yang modern, yang mampu menampilkan Islam yang indah, damai, sejuk, dan mengayomi sesama. Menjadi hal yang mustahil, jika kita hanya ndakik-ndakik mengenai sebuah dalil. Akan tetapi, kita tidak bisa merasionalkan dalil tersebut kepada masyarakat dan menyampaikannya dengan mauidhatil hasanah/perkataan yang penuh hikmah. Niscaya, bukan pesannya yang sampai di telinga masyarakat, akan tetapi, justru mulut kitalah yang terlebih dahulu dibungkam nantinya.
Jalan Terjal Seorang Kader
Berjuang di tengah-tengah masyarakat memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan kita, apalagi hanya berbekal ilmu dan pengalaman yang sedikit, Pasti hanya akan mendapatkan rasa kagol atau gelo (baca: kecewa) di kemudian harinya. Perlu kesabaran yang lebih untuk meyakinkan masyarakat terhadap diri kita secara pribadi. Kunci utamanya yaitu melalui keteladanan pada diri kita terhadap masyarakat karena hampir tidak mungkin masyarakat akan mendengarkan omongan kita jika perilaku kita masih jauh dari ajaran yang kita sampaikan.
Kader Suluh Peradaban
Maka, di sini letak tantangan sebenarnya bagi saya sebagai alumni Mu’allimin untuk tetap mengibarkan semangat dakwah moderasi Islam di manapun saya berada. Alumni Mu’allimin memang dituntut untuk menjadi suluh peradaban, ia dituntut menjadi pelita di tengah-tengah kegelapan. Setiap perjuangan pasti kan menemui ujian dan tidak ada ujian yang memberikan kenyamanan. Oleh karena itu, di sinilah nilai kekaderan dan kemilitanan kita diuji dan diasah ketika kita mampu melalui itu semua dengan baik.
Oleh: Faiz Arwi Assalimi (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019) Editor: Muhammad Azzam Al Faruq