Dunia sastra adalah dunia kesunyian, tak ada hiruk pikuk, tak ada perkelahian, kecuali kedamaian yang harmonis. Dunia sastra adalah dunia yang tanpa pamrih, tanpa keberpihakan, dan dengan demikian tanpa ada kekuasaan. Seorang sastrawan yang besar dapat menembus kekacauan, keberpihakan, yang ada di permukaan, menembus masuk ke sebuah dasar yang tenang sehingga dapat pula menemukan apa yang terselempit dalam kehirukpikukan permukaan itu, berbicara tentang yang “tidak terjalin”.
Adapun kekuasaan sering digiring kepada konotasi yang buruk. Kekuasaan selalu dihubung-hubungkan dengan pelarangan, bahkan kemudian identik dengan penindasan. Dengan kata lain, ketika berbicara tentang kekuasaan, maka yang ada di benak kita adalah ketika penguasa melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.
Dalam konteks kesusastraan, apakah yang bisa kita bicarakan tentang kekuasaan yang berkonotasi baik? Jika kita membaca kesusastraan Jawa kuno, kita akan mengetahui bahwa para pujangga melahirkan karyanya dalam pengayoman seorang raja. Sehingga dalam sastra Jawa tersebut akan kita temukan puji-pujian kepada para raja. Bahkan beberapa karya sastra Jawa yang sampai kini abadi, ternyata merupakan karya yang disukai bahkan diperbolehkan oleh penguasa pada jamannya. Wedhatama, Tripama, Wulangreh, dan Serat Tripama misalnya, adalah contoh-contoh karya sastra tersebut.
Dalam hal ini memang karya-karya sastra Jawa Kuno yang besar tersebut lahir dalam perlindungan raja-raja besar. Adapun yang patut kita pertanyakan adalah, apakah para empu tersebut masih bisa kritis terhadap kekuasaan (dalam hal ini adalah raja) yang mengayominya? Jika tidak, maka jelaslah bahwa pengayoman dari sang raja tersebut tidak menyuburkan bakat kesusastraannya, tetapi justru membunuhnya.
Serat Tripama misalnya, bercerita tentang pengorbanan Kumbakarna dalam membela negaranya Alengka terhadap serbuan Rama, sekalipun Rahwana abangnya sebagai penguasa Alengka betul betul bersalah. Sebaliknya adik Rahwana yang lain yaitu Gunawan Wibisono yang justru membelot memihak Rama, karena merasa jika Rama-lah yang benar, justru tidak diungkapkan dalam sebuah karya sastra apapun. Hal itu terjadi, apakah karena dulu sudah diperlakukan sensor, sehingga kisah Gunawan tersebut tidak kita baca? Atau memang tidak ada empu yang menuliskan kisah tersebut? Jadi mungkinkah suatu karya sastra menjadi tidak kritis, dalam pengayoman yang teduh sekalipun? Sebab dalam sastra yang ditulis tanpa keinginan untuk menggugat sekalipun, toh tetap akan tersimpan gugatan-gugatan tersembunyi. Karena sebuah kesusastraan yang baik selalu mencerminkan jamannya.
Dalam kitab Sumanasantaka yang ditulis oleh empu Monaguna, di antara puja-pujinya kepada raja dan keindahan alamnya, ia menulis realitas pedesaan yang mengesankan kemelaratannya. Di mana lumbung-lumbung padi begitu kecil dan lembu-lembunya sedemikian kurus, jauh dari ukuran wajar sehingga lebih mirip dengan domba-domba. Alumbung alit-alit/teka ri sapi nikalit norakral-kral amedusi. Bisa jadi catatan semacam Itu
adalah contoh dari adanya sikap kritis.
Ada lagi sebuah contoh dari kesusastraan Jawa Kuno. Yakni Empu Prapanca yang hidup terasing, karena tersingkir dari istana Kerajaan Majapahit. Dia menulis Desawamana (deskripsi tentang desa-desa), yang merupakan karya besarnya dan selanjutnya dikenal sebagai Negarakertagama, tidak dalam fasilitas istana. Padahal karya Itulah yang
kemudian menjadi satu satunya sumber sejarah kebudayaan Majapahit. Walaupun semula Prapanca sama sekali tidak mengharap karyanya itu akan diakui oleh siapapun. Toh ia dengan keteguhan hati tetap menuliskannya, sebab Prapanca melakukan perlawanan tidak saja terhadap raja, namun juga terhadap kemapanan para empu istana, yang berkuasa bukan saja atas kehidupan agama, yang berarti kehidupan sehari hari, melainkan juga atas dalil-dalil estetika sastra. Maka dalam karyanya yang lain, Prapanca menyebut dirinya dengan Empu Dusun, suatu sindiran yang bermaksud untuk mempertentangkan dirinya dengan para pujangga kraton.
Dari kisah inilah dapat disimpulkan bahwa suatu tekanan kekuasaan tak akan mematikan kesusastraan, sebab kehidupan kesusastraan tidak ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Tentu saja pengaruh dari berbagai bentuk keterbatasan akan ada, namun sama sekali bukan alasan untuk menegaskan kematian kesusastraan. Empu Prapanca dalam Negarakertagama-nya harus menunggu ratusan tahun untuk mendapat penghargaan yang sepatutnya.
Sehingga dalam dunia ini, di manakah tempat bagi kesusastraan? Ya, sastra memang harus tetap hidup, terus menerus ditulis, dicatat setiap inci geraknya dalam kehidupan ini. Sebab dalam kesusastraan, setiap kata yang lahir dari pencerahan batin adalah suatu nilai. Sehingga tak ada satupun kekuasaan yang bisa mencekal sastra. Bahkan seperti kata Subagio Sastrawardoyo dalam sebuah sajaknya, “Jangan bicara padaku dengan bahasa dunia, aku dari surga”. Sebab itulah tak ada gunanya mengulas tentang hubungan sastra dengan kekuasaan. Dunia kekuasaan (politik) dan dunia sastra, sungguh tidak dapat dipertemukan.
*Pemenang lomba #YukMenulis pekan keenam yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.
Oleh: Pipiek Isfianti