“Adit, seperti biasa, mendapat nilai tertinggi di kelas ini. Terutama di mapel matematika, kimia, dan bahasa Inggris, keduanya mendapat nilai 100!” kata Pak Bakri, wali kelas XII-A. Beberapa anak di kelas itu bertepuk tangan, yang lain hanya diam. Hal biasa, Adit mendapatkan nilai tertinggi di kelas atau bahkan di sekolah. Seakan itu telah menjadi sesuatu yang niscaya.
“Tiap ujian gitu ya, Pak,” komentar Mamat dari sudut belakang, menyindir. Pak Bakri gagal menangkap nada sindiran itu dan menanggapinya dengan antusias. “Lho iya memang kalau anak jenius itu ya begitu. Dari ujian ke ujian nilainya baik terus. Nggak naik turun 4 terus 5 terus 3 kayak kamu, Mat,” beberapa siswa tertawa. Mamat hanya melengos sambil tersenyum kecut. Pak Bakri melanjutkan, “Adit ini memang beda level. Kalau levelnya udah jenius seperti dia, rata-rata kelas juga nggak pusing lagi dipikirin. Dit, orang tuamu pasti udah biasa denger kamu ranking satu dari SD ya? Bangga pasti mereka.” Pak Bakri lalu mengeluarkan suara tawa yang khas pria paruh baya.
“Pak, kalau semua orang jenius kayak Adit, dunia bakal ngebosenin!” bantah Mamat tak mau kalah. Seisi kelas tertawa, menyadari kata-kata Mamat ada benarnya. “Halah sudah sudah! Yang penting Penilaian Tengah Semester kemarin Adit dapat nilai tertinggi. Kita lanjutkan pelajaran,” Pak Bakri mengakhiri perbincangan soal Adit. Kelas berjalan lagi seperti biasa seakan tak ada yang terjadi. Memang tak ada yang terjadi, karena Adit menjadi juara kelas hanyalah rutinitas yang terjadi tiap ujian. Tak lebih. Satu semester lagi, pikir Adit, Satu semester lagi dan kehidupan SMA akan selesai bersama segala kepura-puraannya!
Selama kehidupannya 3 tahun di SMA, Adit tidak pernah sekalipun merasa dipuji, atau merasa ditinggikan. Seperti semua temannya, pemuda itu menganggap dirinya menjadi juara kelas adalah hal biasa. Jika Senin nanti Adit diminta maju ketika upacara untuk menerima piala olimpiade, atau diumumkan sebagai siswa terbaik tahun ini, tidak akan ada satupun yang terkejut. Tak ada sama sekali. Seperti angin, keberadaan Adit yang menjadi pujaan para guru adalah sesuatu yang cepat berlalu dan tak lagi menarik perhatian.
Mereka baru akan peduli jika aku mendapat nilai di bawah 9 atau membuat kesalahan yang memalukan, pikir Adit getir. Tapi toh apa gunanya mengeluh. Adit sejak awal bukan hidup untuk dirinya sendiri. Nyatanya, pemuda itu tak pernah menyukai kimia. Tidak pernah.
Saat itu tatapan mata Adit bertemu dengan Santi, gadis yang duduk di pojok kiri depan dekat meja guru. Dia harus memutar tubuhnya ke kanan belakang agar bisa melihat Adit dengan jelas, dan itulah yang sedang dilakukannya sekarang. Adit tersenyum, Santi memalingkan wajah sambil tersipu. Dilihat dari mata biasa, kedua remaja itu tengah ada di tengah kisah cinta. Tapi tidak, pikiran Adit tak ada pada Santi, melainkan pada teman-temannya, orang tuanya, serta guru-gurunya yang semuanya memakai topeng.
Sebelum pukul tiga, Adit dan ribuan siswa lainnya sudah berjalan menuruni tangga gedung sekolah. Di mana saja, oleh siswa nakal ataupun juara kelas, jam pulang sekkolah selalu dinanti dan disambut dengan sukacita. Adit melangkah tergesa di antara kerumunan, hendak segera pulang. Dalam keramaian, pemuda itu merasakan ada yang menyejajari langkahnya.
“Adit!” sapa Santi. Adit sedikit terlonjak. “Kamu mau langsung pulang?”
“Iya nih. Nggak tau juga mau ke mana lagi kalau nggak pulang.” Entah kenapa, Adit selalu bisa menanggapi basa-basi Santi tanpa kesal. Padahal Adit benci basa-basi. Mungkin karena mereka sudah berteman selama 6 tahun sejak SMP.
“Dit,” Santi memegang bahu Adit. “Jangan dipikirin omongan anak-anak kelas. Omongan Pak Bakri juga yang nyebut-nyebut kamu jenius. Rasanya kayak beliau menganggap kamu peliharaan yang bisa di pamer-pamerin.”
Adit tertawa, karena berpikiran sama.
“Rasanya kamu keren karena bisa dapat nilai bagus, tapi ada hal lain daripada itu.”
“Apa tuh?” Adit menoleh memandang Santi.
“Kamu keren bukan karena nilaimu sempurna, tapi karena usahamu buat ngedapetinnya. Aku inget dulu waktu kita tes minat bakat di SMP, IQ mu 124, belum masuk jenius.”
“Jadi?” Mereka tengah berjalan bersama keluar gerbang.
“Jadi kamu berusaha keras lebih daripada Mamat, lebih daripada aku, lebih daripada semua orang lainnya di kelas. Kamu keren bukan karena kamu lebih tinggi nilainya atau lebih cerdas, tapi karena usahamu lebih keras.” Adit tidak tersenyum. Dia meresapi kata-kata Santi sebagai sesuatu yang hampir tidak pernah diucapkan padanya.
Biasanya, semua orang memuji Adit karena nilainya 100. Titik. Jika ada yang memuji lebih jauh, orang itu akan selalu mengaitkan Adit dengan ayahnya. Tentu Adit nilainya bagus, ayahnya saja orang penting. Bagus ya nilainya Adit, bener-bener anaknya Pak Anu. Pantas nilainya bagus, orang dia anaknya Pak Anu.
“Lagian aku mau tanya sesuatu, Dit,” Santi melanjutkan. “Kamu bekerja jauh lebih keras dari orang lain. Kalau kamu sibuk les, belajar, les, belajar, apa kamu punya waktu buat dirimu sendiri?”
Adit berhenti berjalan. Santi ikut menghentikan langkah. Dalam arus manusia dan kendaraan yang hendak pulang, Santi mengajukan pertanyaan lagi. “Apakah kamu sempat bahagia?”
Di telinga pemuda itu, suara teriakan dan rentetan senapan adalah musik yang menambah konsentrasi. Tak ada pikiran bahwa orang-orang mungkin kehilangan nyawa, selama bukan dia orangnya. Dengan cekatan, laras senapan di tangannya berpindah dari satu titik ke titik lain, memuntahkan peluru panas pada musuh. Darah menyembur membasahi salju putih, suara orang jatuh, dan senapan itu berpindah membunuh orang lain tanpa beristirahat.
Pemuda itu bersembunyi di belakang reruntuhan pilar sambil mengisi peluru, sementara suara tembakan dan seruan-seruan “comrade!” terus terdengar di belakangnya. Dilihatnya sebuah gedung dengan bendera besar bergambar elang dan swastika yang menjadi tujuannya. Pasukannya harus merebut gedung itu, mempertahankannya selama mungkin, untuk mengamankan armada tank yang mengawal logistik masuk ke kota.
Pemuda itu keluar dari persembunyiannya dan disambut hujan peluru. Dengan sigap, dia bergerak di antara reruntuhan sambil mengarahkan senapannya ke arah musuh yang menembakinya. Satu per satu orang jatuh. Seorang kawannya di sebelah kanan berteriak dan tersungkur bersimbah darah. Tapi tak ada yang perlu dan bisa dilakukan. Kawannya itu sudah mati. Begitu saja. Dalam perang, menangisi kematian teman bisa saja berarti kematian bagi diri sendiri.
Pemuda itu lebih tertarik pada serombongan manusia yang bergerak dari depan ke arahnya. Bala bantuan musuh. Dia takkan bisa maju jika hanya mengandalkan bersembunyi di reruntuhan sambil baku tembak. Pemuda itu melemparkan sesuatu ke arah musuh, berbentuk tongkat pendek dengan bagian tebal di ujungnya. Sekilas terlihat seperti pentungan. Granat tangan itu meledak menghamburkan tanah, darah, dan salju ke segala penjuru.
Pemuda itu mengambil kesempatannya dan keluar dari persembunyian sambil menembak seperti orang gila. Suara rentetan peluru yang keluar dari laras senapannya serupa musik, dan darah yang membasahi salju terlihat seperti lukisan. Hingga tiba-tiba terdengar suara ketukan.
“Adit!”
Yang dipanggil segera melepas headset, mengganti tampilan monitor menjadi tugas sekolah, dan pura-pura membaca. Detik itu juga, pertempuran berakhir.
“Adit! Main gim perang itu lagi kamu, Nak?”
“Nggak, Bu. Lagi baca. Ayah juga udah pulang?” Adit bangkit dari kursinya dan menyalami Ibunya.
“Iya. Sini turun, Ayahmu udah laper katanya.”
Pemuda itu berjalan mengikuti Ibunya turun ke ruang tamu, tempat Ayahnya baru saja duduk dan menyalakan televisi. Beliau adalah pria berusia lima puluhan, tambun dengan uban mulai mewarnai kepala. Kacamata bulat bertengger di ujung hidungnya.
“Dit! Gimana nilai-nilainya udah keluar?” tanya ayahnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.
Adit bahkan belum duduk maupun mengucapkan apapun. Tanpa menjawab, pemuda itu membuka gawainya dan memperlihatkan pada ayahnya lembar hasil Penilaian Tengah Semester yang bisa diakses dari akun siswa. Adit duduk, berita di televisi mengabarkan sebuah ledakan pabrik kembang api.
“Ini kenapa Bahasa Jawa nilainya 7?” tanya Ayah Adit.
“Iya Yah, yang 7 cuma Bahasa Jawa, tapi yang lain di atas 9. Malah matematika, kimia, sama Inggris Adit terbaik sekelas. Dapat 100.”
“Tetap saja ada 7. Adit,” Ayah Adit melepas kacamata dan meletakkan gawai ke meja, sementara Adit duduk bersandar di sebelahnya dengan mata tak lepas dari layar televisi. Ketika dipanggil untuk turun, dia tahu pasti apa saja yang akan dikatakan oleh orang tuanya. Mau dibilang ayahnya sudah lapar, dusta belaka. Benar saja, dari mulut ayahnya mengalir deras nasehat akan kesempurnaan, yang dianggapnya sebagai bentuk tertinggi penciptaan. Adit didorong untuk mendapat nilai 100 di mata pelajaran yang lain, terutama bahasa, biologi, dan fisika.
“Dengar, Nak. Kamu itu anak kami satu-satunya. Makanya kami sekolahkan di sekolah terbaik.”
“Betul.” Ibu Adit duduk, menghidangkan tiga teh panas di meja.
“Nah, Ayah Ibumu ini orang penting di pemerintahan. Kami sudah ada biaya, ada koneksi, jadi mudah untuk kamu kuliah di luar negeri, di Harvard kayak Ayah dulu. Gampang, tinggal bagaimana nilaimu. Ingat Dit, nilai itu nomor satu.” Ayahnya tersenyum, merasa telah memberikan petuah terhebat.
Di jendela belakang kepala Ayahnya, Adit melihat langit diwarnai semburat keunguan dan jingga. Matahari sudah terbenam beberapa menit lalu, dan seperti setiap hari, orang tuanya baru saja pulang. Seperti setiap hari, Adit dipanggil untuk turun meninggalkan komputernya dan berbincang bersama orang tuanya.
Pemuda itu tersenyum getir, dia tak pernah berbincang, dia hanya mendengarkan nasehat sambil pikirannya terus berada di medan perang. Hanya suara tembakan dan jeritan dalam layar itulah yang bisa menyelamatkannya dari suara ayahnya yang terus terulang-ulang dalam pikiran.
“Kamu itu anak tunggal, anak emas kami…. Muka Ayah mau ditaruh mana nanti kalau kamu nggak masuk Harvard? Ayah lulusan situ jadi semua orang mikir kamu juga bakal masuk situ.… Kami bakal terus dukung kamu Dit, asalkan kamu sukses … Semuanya demi kebaikan kamu juga Dit….”
Adit berteriak murka. Melempar gelas teh ke dinding. Pecahan beling menghambur ke penjuru ruangan dan menggores tangan Adit sedikit. Air panas memercik ke mana-mana. Remaja itu tak merasakannya. Kedua orang tua Adit terkejut, mengangkat tangan untuk melindungi wajah dari beling yang beterbangan. Tapi keterkejutan mereka melebihi ketakutan akan luka gores. Dalam kepala orang tuanya, Adit tak mungkin melakukan pembangkangan semacam itu, apalagi sampai merusak. Tanpa memberi kesempatan orang tuanya untuk bicara sepatah kata pun, Adit berteriak dengan segenap kemampuan paru-parunya.
“Apanya yang demi kebaikan Adit! Kalian bahkan nggak ada di rumah waktu Adit belajar atau butuh bantuan! Kalian bahkan nggak peduli apa Adit punya teman atau pacar! Apa pernah tanya Adit maunya apa dalam hidup? Bisanya cuma ngomong aja tiap hari! Sampah semua!”
“Adit!” hanya itu yang keluar dari mulut Ayah Adit. Semua kalimat yang hendak meluncur keluar terbungkam oleh perasaan terkejut dan terhina.
Seperti kerasukan, Adit mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menampar ayahnya sekeras mungkin. Saat ini dia merasa bukan menjadi remaja biasa yang nasibnya di awang-awang, melainkan sebagai prajurit yang rela mengorbankan apapun demi kebebasan darahnya. Seperti pembunuhan di dalam layar yang selama ini lakukan, kini dia menggunakan tangannya untuk menghukum seorang penindas—ayahnya. Tamparan itu melepaskan sejuta kesumat yang terpendam.
Ayahnya berteriak marah dan mengangkat tangan untuk menangis, tapi sia-sia. Tenaga remaja dalam tubuh Adit membuatnya mampu melayangkan pukulan. Lagi dan lagi. Ibunya hanya mampu menjerit-jerit panik. Jeritan yang entah bagaimana membawa kepuasan pada Adit. Namun jeritan itu juga membuat Adit tersentak.
Ayahnya bertanya apa dia paham dan pemuda itu dengan gagap mengangguk. Adit dan ayahnya masih duduk di tempatnya. Tak ada wajah merah ayahnya, tak ada teriakan marah atau jerit ketakutan. Benar. Tak mungkin Adit membentak kedua orang tuanya seperti itu, kecuali dalam kepalanya sendiri. Tak mungkin Adit membangkang demikian karena dialah anak emas harapan orang tuanya. Semua perkelahian itu hanya ada dalam kepalanya.
Ayahnya mengatakan petuah-petuah lainnya, sementara pikiran Adit mengembara dari kawan-kawannya yang palsu, Santi yang menarik perhatiannya, dan pembunuhan-pembunuhan dalam layar yang begitu dia nantikan. Mungkin memang takdir bahwa Adit dibesarkan seperti bekisar. Dirawat sedemikian baik dalam sangkar emas untuk dipamerkan pada siapa saja. Mungkin sudah takdir sejak dulu ibunya mengandung, bahwa dia dilahirkan ke dunia hanya untuk memuaskan orang tuanya tanpa bisa memutuskan sesuatu untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Di antara perasaan lelah, terluka, dan terpenjara, Adit seakan mendengar suara lembut Santi, “Apakah kamu sempat bahagia?”
*Pemenang lomba #YukMenulis pekan kedelapan yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.
Oleh: Muhammad Zaim Musyafiq Qusyairi