30.1 C
Yogyakarta
Senin, 11 Agustus 2025
BerandaArtikelManifestasi Perbudakan dalam Pendidikan

Manifestasi Perbudakan dalam Pendidikan

Saya akan membahas pendidikan karakter terlebih dahulu. Saya akan berfokus pada pengertian budak untuk memahami hubungannya dengan pendidikan. Secara kondisi, budak adalah seseorang yang kehilangan kebebasan dan hak asasi manusia, status hukum mereka setara dengan benda mati dan tidak memiliki hak untuk mengajukan tuntutan hukum. Pendidikan karakter sendiri menuju pada pendidikan sifat yang melatih bagaimana seorang anak dapat menjadi karakter yang baik.

Dalam konsep pacta sunt servanda—di mana perjanjian harus dipenuhi—kepatuhan ini sejalan dengan kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau, individu setuju untuk berkontrak demi kestabilan sosial. Dalam berkontrak maka kita tidak hanya mengikuti kontrak tersebut tapi harus paham apa yang dimaksud oleh kontrak tersebut di sosial. Ketika pendidikan hanya menekankan kepatuhan, tanpa memberi ruang bagi individu untuk memahami atau mempertanyakan norma tersebut, kita justru menciptakan pola pikir yang terbatas. Anak-anak yang terlalu diajarkan untuk patuh tanpa memahami alasan di baliknya akan kehilangan kemampuan berpikir mandiri, dan ini adalah bentuk perbudakan metafisik.

Sebagai contoh, di beberapa sekolah, siswa didisiplinkan hanya karena peraturan, bukan karena mereka memahami pentingnya disiplin itu sendiri. Ketika guru atau orang tua mengharuskan anak mengikuti perintah tanpa memberi kesempatan untuk bertanya atau berpendapat, disiplin yang dihasilkan cenderung membentuk pola pikir yang pasif. Anak-anak ini mungkin patuh, tetapi mereka menjadi seperti budak yang kehilangan kebebasan berpikir dan berinisiatif.

Hal ini sangat jauh dari konsep disiplin pribadi yang sebenarnya, disiplin pribadi adalah sebuah disiplin dimana proses pengaplikasian dan penemuan maknannya adalah melalui refleksi pribadi. Konsep disiplin pribadi di setiap kepala orang-orang bisa berbeda tergantung refleksi yang mereka lakukan. Jika kebanyakan sekolah seperti contoh yang disebutkan tadi pastilah anak-anak tidak akan menemukan disiplin pribadinya sendiri karena mereka tak memiliki kesempatan berpikir.

Selanjutnya saya akan membahas pendidikan intelektual, dalam buku “Pendidikan dan Kehidupan yang Bahagia” karya Bertrand Russell menjelaskan tentang bagaimana kita membawa pendidikan intelektual ke ranah petualangan. Pendidikan tak seharusnya untuk menghasilkan keyakinan, namun untuk menghasilkan pemikiran. Sebagai manusia yang memiliki akal, tak akan berguna akal itu jika hanya untuk mendengarkan keyakinan. Manusia adalah makhluk yang lahir dalam keadaan ignorant tidak ada manusia yang lahir dalam keadaan stupid, yang membuat bodoh mereka adalah pendidikan.

Ketika seorang siswa diajarkan untuk menghafal jawaban yang benar tanpa memahami konsep di baliknya, siswa tersebut hanya akan mengikuti instruksi tanpa pemahaman. Hal ini sama dengan kondisi di mana seseorang tidak diberi kebebasan untuk berpikir, tetapi hanya menerima apa yang diajarkan. Pendidikan seperti ini menghasilkan siswa yang tidak mampu berpikir sendiri, menciptakan mentalitas budak.

Dalam pendidikan feodal—yang masih banyak terjadi di beberapa negara—kita tidak boleh menentang yang lebih tua dalam hal intelektual, ini menimbulkan kecenderungan untuk menurut sehingga tidak akan ada pemikiran sejati dari manusia bebas—manusia budak diperoleh dari hal ini. Pikiran tebelenggu mereka membuat mereka tak mampu menciptakan pemikiran baru lagi, inilah manifestasi perbudakan dalam hal intelektual manusia. Jelaslah sebuah bangsa tak akan maju jika masih seperti ini. Pendidikan tidak hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga merupakan proses eksplorasi yang membebaskan dan memperkaya pengalaman hidup, inilah yang dimaksud dengan pendidikan sebagai petualangan.

Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk membebaskan pikiran, bukan mengekangnya. Namun, ketika pendidikan karakter hanya menghasilkan kepatuhan tanpa pemahaman mendalam, dan pendidikan intelektual dijalankan dengan otoritas yang menekan, kita sebenarnya sedang menciptakan bentuk baru perbudakan — bukan perbudakan fisik, melainkan perbudakan pikiran. Sistem pendidikan yang menekankan kepatuhan buta dan tidak memberi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, mengembangkan moralitas, dan membuat keputusan mandiri, hanya akan menghasilkan individu yang tidak berdaya dalam menghadapi realitas sosial.

Untuk mengatasi hal ini, kita perlu menciptakan ruang pendidikan yang lebih berfokus pada eksplorasi, diskusi terbuka, serta pemahaman kritis, sehingga generasi masa depan dapat menjadi individu yang benar-benar bebas, baik dalam pikiran maupun tindakan. Dengan demikian, pendidikan dapat berperan sebagai alat pembebasan, bukan perbudakan yang terselubung.

Oleh: Muhammad Arya Sakti
Editor: Khalish Zeinadin
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya

Ikuti KweeksNews!

107FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -