Kini dia sudah dewasa. Berjalan dengan dua kaki nya sendiri, tidak diteriaki lagi, tidak diarahkan lagi. Pokoknya sendiri, mandiri. Sancaka kini sudah berumur 20 tahun, di sela waktunya Ia bekerja. Masih mahasiswa S1 Hukum Universitas Peradaban.
Hari ini Sancaka yang biasa dipanggil Enca ini akan ada rapat koordinasi komunitas hukum. Cukup lelah setelah aktivitas seharian.
“Hadirin anggota rapat, dengarkan baik baik pesan dari berita ini.”
Dikabarkan terjadi pembunuhan dan mutilasi di sungai Onje, dilaporkan bahwa korban sudah hanyut sejauh 100 meter dari lokasi kejadian, karena ditemukannya benda tajam yg berlumur lengket darah.
Kasus ini sedang diselidiki lebih lanjut oleh petugas yang berwenang.
“Ini dia. Pembahasan kita kali ini.”
“Apakah itu menyangkut tugas kita, Wira?”
“Tentu saja Enca, kita kan komunitas hukum, setidaknya kita harus paham betul apa yang harus kita lakukan.”
“Baiklah, mari kita mulai, Aku sudah sangat siap!”
Diskusi itu-pun dimulai. Dimulainya pada pukul 16.00 sampai 21.00 terbawa suasana hingga lupa. Berkelana segala kemungkinan yang logis dan imajinatif tangkap. Itulah kebiasaan mereka di dalam komunitas hukum.
Setelah kembalinya di kosan. Enca terkapar lelah di ranjang berkasur tipis. Pegal. Enca tak terpikirkan apapun untuk kali ini. Ia hanya lelah dan ingin segera pergi ke dunia mimpi. Biasanya ia menulis terlebih dahulu, menulis tentang pelbagai perihal dari fiksi hingga non-fiksi, bahkan agama hingga politik sosial.
Tapi kali ini tidak, ia tertidur lelah.
Esok hari, ia mempunyai beberapa pelajaran seperti biasanya, tetapi ada telepon dari kampung halamannya.
“Halo, Bu. Gimana kabarnya? Sehat?”
“Alhamdulillah sehat, Bang.”
“Alhamdulillah, baguslah.”
“Abang lagi sibuk gak ya?”
“Nggak, Bu. Cuman pelajaran kaya biasanya.”
“Ibu minta kamu pulang sekarang ya.”
“Hah!? Kenapa Bu?”
“Pulang, Bang. Ibu mohon. Abang pulang untuk kali ini.”
Jarang sekali Ibu memberi kabar mendadak seperti itu. Hanya itu yang bisa terlihat di wajah Enca. Langsung tanpa lama Enca membeli tiket terdekat waktunya, segera ia pesankan tiket dari stasiun Tugu menuju stasiun Talok. Dan beruntungnya ada sisa satu tiket untuknya, sebuah berkah.
Perjalanan dengan kendaraan umum, karena cukup dekat antara kos dan stasiun nya. Sampai pada beberapa menit sebelum kereta itu datang.
Kereta itu pun berjalan bersama duduknya Enca.
“Bu, Enca sudah di stasiun Talok.”
“Oke, Ibu kesana ya.”
Ibu menjemput Enca. Selama dalam perjalanan Enca bertutur kata mesra lama tak bertemu.
Sampai pada jarak dekat rumah Enca
“Enca selalu liat berita kan?”
“Iya, Bu. Kenapa?”
“Enca tahu kabar tentang mutilasi yang terbaru?”
“Iya Enca Tahu.”
“Enca harus kuat kuat ya.”
“Kenapa, Bu!?”
Sampai pada halaman rumahnya Enca, kibaran bendera kuning terpapar bak hiasan festival.
Terbelalak kaget dan bingung, Enca hanya terus menerus menanyakan hal aneh baginya, dan Ibunya hanya diam.
“Itulah bapakmu.”
Darrr.
Hati Enca jatuh, lemah semakin lemah dirinya untuk berdiri, inilah kenyataan yang harus dihadapi. Tak kuasa menahan tangis dalam untuk kematian bapaknya.
Sudah lama Enca sadari jika memang dia akan menghadapi hal yang aneh sejak ibunya menelepon. Tapi mengapa tetap saja ia tidak kuat menahannya.
“Yang sabar, Bang. Sengaja Ibu tidak kasih tahu kamu lebih awal.”
“…”
“Dan sebelum kejadian ini, sebenarnya Adikmu belum pulang ke rumah.”
Tertimpa berkali-kali, berlipat ganda.
Apa masih ada manusia yang bisa menahan perasaan yang hancur ini?
Enca kabur. Enca pergi melewati kerumunan warga yang penasaran dengan jasad Ayahnya yg termutilasi. Entah kemana arahnya, pokoknya menjauh, sejauh mungkin.
Tidak terpikirkan apa-apa.
Kini Enca hanya melihat hamparan sungai lebar, sungai Onje namanya. Kosong. Tatapannya kosong.
Pusing, pusing, pusing. Pingsan.
“Itu dia!”
“Berarti bisa saja ada yang tidak suka dengan si Korban!”
“Bisa jadi sih, kata Wira memang berkemungkinan.”
“Yanto, menurut mu masuk akal tidak kalau itu terencana?”
“Jelas, kalau memang gak terencana, gimana bisa dihanyutkan dan dihilangkan jejaknya?”
“Apakah kerabat dekatnya?”
“Pasti itu,Ca. Gak mungkin kalau gak saling kenal, setidaknya sekali atau berkali kali.”
“Wira, bagaimana kalau itu dari keluarga nya sendiri?”
“..”
“Bangun Bang! Bangun!”
“Hah!?”
“Ini Ibu, Bang!”
Enca membuka matanya. Tepat di depan mata ada Ibu.
“Dimana ini,Bu?”
“Di kamarmu Bang.”
Ternyata yang tadi hanya mimpi. Enca heran, interior rumahnya saja berubah banyak, sejak ia merantau.
“Bu, sekarang dimana Adik?”
“Ditangkap, Bang.”
“Kenapa?”
“Dia ketahuan di lokasi benda tajam itu berada, duduk disana, hanya diam.”
“Baiklah.”
Istirahat beberapa jam di kamar baru nya. Menulis, Enca kembali menulis, mengaitkan tinta antar kata. Menuliskan segala kemungkinan yang ada. Kini Enca berencana menemui Adiknya.
“Silahkan lewat sini mas.”
“Siap,Pak.”
“…”
“Dek. Sehat?”
“Sehat.”
“Gimana keadaan nya sekarang?”
“Biasa aja.”
“Abang, minta maaf ya, selama ini udah ninggalin adek sendirian di rumah.”
“…”
“Ya, semua itu Abang lakuin buat keluarga.”
“Bohong!”
“Benar, selama ini Abang belajar sambil bekerja. Demi membantu kalian yang disini.”
“Abang bohong, munafik!”
Intensitas pembicaraan yang meningkat, Adek yang selalu cinta kakaknya kini sudah dikhianati. Ditinggal lama oleh Enca sebagai satu satunya kakak yang Adek punya. Kecewa, benci, dengki. Hanya itu yang sekarang Adek lihat dari Kakaknya.
“Oke, langsung saja. Kenapa Adek ada disana bersama barang bukti?”
“…”
“…”
“Semuanya itu munafik.”
“Semuanya hanya pura pura baik.”
“Rela saja Aku mati sekarang dibanding hidup di dunia yang bohong ini.”
“Dek. Kenapa kamu disana?”
“Aku lah yang membunuh Ayah. Aku yang menghancurkan hidupmu Bang. Hidupku.”
“!?”
Semua jelas Adek ucapkan. Kaget dan syok. Enca diam dari pertanyaan nya. Cukup sudah terbukti. Hancurlah keindahan keluarga yang pernah Enca alami.
“Baiklah, waktu kalian sudah cukup.”
“Bawa dia petugas, masukkan ke penjara nomor 11.”
“Baik, Pak.”
Pergilah, sejauh angin berhembus. Jadikan dirimu daun yang terbang terbawa angin. Menjauhi tempat mu jatuh. Kau akan menemukan ladang baru untuk kamu rawat dengan baik
“Benar, apa yang dikatakan Wira dan Yanto.”
“Sudah waktunya Aku pergi.”
Kemasi barang yang dibutuhkan, berpamitan dengan satu satunya Ibu di dunia Enca. Melanjutkan pergi menjauh dan tak akan kembali.
5 tahun kemudian.
Dikabarkan kasus pembunuhan yang telah diselidiki bertahun-tahun telah terungkap sampai pada akarnya, bahwa terjadi kekerasan pada keluarga tersebut yang membuatkan mereka saling membunuh, Ayah nya meninggal termutilasi, Ibunya hidup sendiri di dalam rumah, Adek yang dipenjara kini sudah dilepas dan menjadi pedagang kaki lima, dan Kakaknya menghilang. Berikut kami sampaikan kabar terbaru mengenai saham pasar….
Tittt… Enca mematikan televisi nya.
Oleh : Musyaffa Ghozie
Editor : Bianveneida Madiva Khanza