Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu Indonesia telah merasakan damainya kemerdekaan. Banyak pengorbanan yang telah masyarakat kita berikan. Tokoh-tokoh yang kita tahu, itu hanyalah segelintir orang yang muncul ke permukaan. Perjuangan kala itu banyak melibatkan seluruh lapisan masyarakat, organisasi dan tak terkecuali santri.
Istilah “Pondok Pesantren (Ponpes)” disematkan pada semacam halaqah sederhana yang terdapat pada rumah-rumah. Pada masa itu ponpes masih sangat tradisional yang hanya mengajarkan ilmu bela diri dan agama untuk melawan penjajah. Silat, Tapak Suci dan Debus adalah contoh dari ilmu bela diri yang diajarkan ponpes saat itu. Kebanyakan ponpes di era itu belum banyak mengadopsi pembelajaran formal seperti Belanda yang mengajarkan ilmu umum.
Pada saat seperti itu, Muhammadiyah muncul dengan dobrakannya yaitu ponpes modern. Menggabungkan konsep pendidikan barat dan Islam, secara berdampingan itu ternyata berhasil. Mulai dari sinilah banyak bermunculan istilah ponpes modern dan mengubah gaya perjuangan santri yang semula hanya fisik, sekarang mulai berjuang menggunakan pikiran. Banyak tokoh santri yang menjadi pahlawan dalam perang melawan penjajah, salah satunya yaitu pendiri Muhammadiyah sendiri yaitu KH. Ahmad Dahlan.
Pondok pesantren dan santri tak lepas dari partisipasi mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Diantara ilmu agama dan rasa berbangsa, mereka dengan gagah ikut membela negara dan pancasila. Kepercayaan dan ketaatan menjadi haluan untuk berjihad membela negara. Musuh mereka —kolonialisme dan komunisme— sangat jelas terlihat di depan mata. Namun, pada masa sekarang, musuh mereka tak lagi itu semua. Musuh mereka adalah zaman dan era distrupsi.
Zaman dengan sangat cepat berubah dalam 1 abad Terakhir ini. Dimulai dari revolusi industri , hal ini menjadi permulaan dari pesatnya perkembangan teknologi. Pada akhirnya, kita sampai pada zaman sekarang ini yang serba digital dan maya. Pendidikan mau tidak mau harus mengikuti perkembangan teknologi ini, tidak terkecuali ponpes. Namun, ketidaksiapan akan mengadopsi teknologi dalam kurikulum ponpes ini cukup memberikan dampak signifikan pada santri-santrinya.
Ponpes mengajarkan para santri mengabdi ke masyarakat sebagai bentuk amal sosial dan membantu memperbaiki lingkungan sosial di tempatnya berada. Namun, tidak sedikit dari mereka mengalami “kaget” mental saat telah kembali ke lingkungannya. Kehidupan sosial, teknologi, dan tuntutan zaman modern saat ini membuat santri yang tidak diajarkan cara menghadapi itupun pada akhirnya memilih untuk berdiam diri dan tidak mengabdi ke masyarakat. Santri mengalami suatu hal yang disebut distrupsi. Ini menjadi koreksi terhadap kurikulum ponpes itu sendiri.
Namun, yang menjadi fokus kita adalah para santri. Dikondisi seperti ini, memang tidak dipungkiri lagi, para santri harus bisa adaptif dalam perkembangan teknologi. Perubahan kurikulum ponpes mungkin terlalu banyak pertimbangan ketika ingin mengubahnya dalam jangka pendek, akan tetapi, jika santri yang berusaha sendiri itu akan lebih cepat. Sekurang-kurangnya, santri bisa mendapatkan informasi tentang hal apa yang sedang terjadi dalam dunia saat ini sebab, informasi di zaman sekarang ini sangatlah penting.
Hal ini setidaknya bisa mengurangi mental “kaget” pada para santri ketika sudah tidak lagi belajar di ponpes. Santri bisa menyiapkan diri selagi mengenyam pendidikan di ponpes tanpa takut ketinggalan informasi dan pengetahuan. Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila tidak ada kesinergian antara santri dan para pengampu. Jikalau saja ponpes sekiranya bisa menampakkan hal-hal yang terjadi diluar kehidupan ponpes, setidaknya santri akan mengetahui ragam bentuk masyarakat agar, santri tidak hanya bisa menyesuaikan dengan cepat namun, bisa berdakwah dengan cara yang relevan. Dunia masa kini telah merubah cara kita hidup dari lingkup yang terkecil sampai yang besar, maka haruslah kita menjadi santri yang adaptif tanpa harus terbawa arus.
Selamat Hari Santri
Oleh: Dyaksa Kamil
Editor: Khalish Zeinadin