Aku masih duduk di sini. Di kursi kayu di taman kecil disudut kota Bogor yang asri. Kursi dari kayu pinus itu, menjadi teman pelepas penat dalam mencari inspirasi sekaligus menikmati pemandangan disela-sela kegiatanku sebagai jurnalistik media masa di kota ini. Seperti tak mengenal jenuh kebiasaanku, menyempatkan diri duduk santai di sebuah taman kecil, di bawah pohon pinus yang diselingi hamparan rumput berbunga. Di ujung taman, terbentang danau kecil yang jernih, yang di sepanjang tepian tersebar bunga teratai dan eceng gondok tertata rapi dan indah.
Aku menghela nafas panjang. Tatapan mataku dimanjakan keindahan alam. Sesekali pandanganku silih berganti menikmati permukaan danau tenang dan berkilau. Sepasang burung lover Bird menarik perhatianku di dahan pinus yang sedang asyik mencari makanan. Melihat dua burung itu, seolah membawaku pada memori yang lalu. Memori yang terus tertanam dalam sudut otakku dalam mengingat gadis itu. Yah, dia hanyalah seorang gadis yang menjadi sumber perhatian kecilku.
Entah sejak kapan, kenapa gadis bermata bening di balutan jilbab biru muda menjadi objek menarik pandanganku. Bukan rupa atau jilbab biru yang menjadi daya tarikku, tetapi karena kebiasaannya yang selalu merenung di bawah pohon pinus sambil menatap danau. Kekonsistenannya dalam merenungi danau berhasil membuatku penasaran dan sekaligus kagum. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku tidak bisa menebak semudah itu.
Suatu hari, di saat aku duduk kembali di bangku taman itu untuk yang ke sekian kalinya, hati ini dilanda rasa penasaran yang besar. Ingin rasanya menyapa dan mengetahui alasan berada di sana. Akhirnya dengan sedikit keterpaksaan, aku bangkit dan mendekati gadis itu.
“Danau yang indah akan membuat seseorang tenang,” kataku tanpa menoleh kepadanya.
Tak ada sahutan. Gadis itu diam.
“Apa yang kau rasakan, ketika melihat air yang tenang?” Kembali aku berbasa-basi seraya menoleh sejenak.
Gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Sepertinya dia terlalu terkesan pada objek yang sedang rasakan. Membuatku kecewa dan malu. Aku agak keki melihat tanggapannya. Namun aku harus bersabar untuk tidak lekas menyerah. Maklum, tidak mudah bagi seorang wanita mengobrol santai dengan lelaki asing yang tiba-tiba muncul.
“Air yang tenang selalu membawa kedamaian,” lanjutku sambil menghela nafas.
“Tapi tidak semuanya kedamaian dalam air membawa ketenangan dalam hati.”
Kudengar gadis itu mendesah. Wajah putihnya merona merah. Mata beningnya terpejam sejenak.
“Hati yang damai dapat kutemukan disini.” Gadis itu membuka suara. Bibirnya yang tipis pucat —tanpa make up, menyunggingkan senyum semu.
“Apa yang kau cari sebenarnya?” Aku mengambil kesempatan untuk mendesak segala rasa penasaranku.
“Keadilan.” Gadis itu menjawab lirih, tanpa menoleh dan melihatku. Tatapannya fokus menyapa air yang bergerak tersapu angin.
“Keadilan..” gumamku lirih. Ada perasaan haru bercampur geli. Kata-katanya sulit kumengerti. Aku jadi bertanya-tanya,keadilan semacam apakah yang menjadi tuntutannya.
“Ah, anda selalu mendramatisis hidup ini,” ujarku sambil bersikap menghibur.
“Sudah kuduga. Tidak ada hal yang lebih baik dari pada menyendiri.” Gadis itu bergumam ketus sambil berlalu.
Aku termenung. Kepergiannya sangat tidak beralasan seketika membuatku heran. Gadis aneh. Sejenak, aku berusaha berempati dengan menggantikan posisi gadis itu. Aku berusaha menerka-nerka apa yang dia cari di sini. Sering memandang danau sambil merenung bukanlah pekerjaan yang normal. Namun usaha untuk itu, aku tidak menemukan apa-apa, kecuali bunga pinus yang jatuh di depanku. Aku tersenyum sambil berlalu.
Pagi yang cerah, aku kembali duduk. Menghabiskan waktu libur panjangku di taman itu. Keberadaanku disana tidak lebih hanya sekedar mencari inspirasiku dalam rangka memulai pekerjaanku sebagai penulis jurnalis. Kini aku sedang sibukkan dengan permintaan artikel klasik yang berjudul ‘Kenapa Harus Poligami?’ Sebuah artikel realita kehidupan yang menurutku tabu dan sangat kubenci.
Aku mengeluh. Terkadang permintaan kantor jurnalistik ada-ada saja. Mungkin, kalau bukan hatiku memikirkan gadis itu, artikel seperti itu akan jadi bahan istimewa. Hatiku belum tenang dan terus memikirkannya. Gadis itu sudah membuyarkan konsentrasiku. Aku merasa gadis itu sudah mulai tertambat dalam hatiku. Sampai-sampai aku mengabaikan laptop yang sejak tadi diam terbengkalai dalam tas.
Gadis itu kembali menempati posisi yang sama —bersandar dan memandang danau. Kali ini, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku beranjak dan menyapa kembali gadis itu. Semoga aku dapat mengajaknya ngobrol dan mengenal siapa namanya.
Ketika aku sudah berada di samping gadis itu, kesempatan membuka percakapan pupus sudah. Gadis itu sudah beranjak pergi begitu menyadari keberadaanku. Rasa kecewaku seketika terabaikan saat pandanganku tertuju pada selembar kertas yang baru saja jatuh di atas rumput bawah tempatnya berdiri tadi. Namun karena hatiku sedang gundah, aku membiarkan keras atau benda apapun di sana dan pergi dengan perasaan kesal.
Siang itu, sambil menghilangkan jejak gadis itu dalam pikiranku, kubuka laptop dan mulai mengetik. Aku menumpahkan semua isi kepalaku dengan sikap geram.
Menurutku poligami adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan. Bukannya dilarang agama, tapi poligami sudah menyimpang dari tujuan sebenarnya. Pada zaman Rasulullah, beliau berpoligami bertujuan menolong anak yatim dan korban janda perang. Sebelum itu, beliau hanya memiliki istri Khadijah selama kurang lebih dua puluh delapan tahun. Realitas zaman sekarang sangat menyimpang. Tujuan berpoligami hanya untuk kepuasan individual saja, bukan untuk kemaslahatan agama. Sebagai fakta sekarang ini, mayoritas orang berpoligami dengan wanita yang jauh lebih muda, cantik dan biasanya kaya. Jarang sekali menikah lagi dengan janda tua berusia senja….
Aku baru saja menyelesaikan artikel ketika pintu rumah kontrakanku diketuk. Aku beranjak untuk membukakan pintu. Di ambang pintu, Ayahku berdiri dengan senyum yang tidak biasanya. Aku kaget karena Ayah datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya kalau Ayah datang dari Jakarta, akan menbelpon dulu dan memintaku dijemput.
“Kok, Ayah tidak menelpon dulu,” tanyaku sambil menyilakan lelaki berpakaian rapi itu duduk di kursi rotan.
“Ayah sengaja buat surprise sama kamu,” jawabnya sambil duduk santai.
“Kejutan apa?” tanyaku penasaran.
“Ayah mau menikah lagi.”
Teg! Jantungku seolah mau copot. Dunia seakan mengguncangku keras-keras. Aku sadar wajahku pucat pasi. Ayah tidak main-main soal niat berpoligami sejak Ibu terkena stroke. Dia benar-benar akan mengabaikan kesehatan Ibu yang sejak setahun yang lalu menderita stroke.
“Apa Ayah sudah mempertimbangkan lagi?” Aku berusaha memprovokasi. Aku sengaja tidak memberikan alasan tentang kondisi Ibu. Itu akan menimbulkan perdebatan seperti waktu sebelumnya.
“Maksudku, Ayah tidak ingat usia?” Aku melanjutkan dengan hati-hati.
“Umur Ayah belum genap enam puluh. Masih mampu membina rumah tangga lagi,” jawab Ayah tanpa beban.
Aku termenung dalam kebingungan. Ada setitik kemarahan yang aku tahan supaya tidak berdebat lagi dengannya. Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi. Memang keputusan Ayah sepenuhnya tidak dapat disalahkan. Dia bersikeras menikah dengan seorang wanita yang belum kukenal. Namun kenapa harus disaat Ibu sedang sakit? Kenapa tidak menunggu Ibu sembuh?
“Kamu tidak ingin tahu, siapa calon ibu tirimu?” ujar Ayah seperti mata panah yang menghujam jantungku.
Secara refleks aku mengangguk. Ayah mengambil handphone dan menelepon seseorang. Dalam sepuluh menit seorang wanita itu muncul. Aku sangat terperanjat melihat siapa yang datang. Jantungku lebih bergetar hebat. Wajahku membeku dengan tatapan yang nanar. Wanita itu adalah wanita yang kukenal selama ini. Seorang wanita yang selalu bersandar di bawah pohon pinus sambil menatap danau.
Tidak seperti ekspresiku, wanita itu tampaknya biasa-biasa saja. Mungkin wanita tidak pernah melihatku. Dia memang tidak benar-benar mengenalku. Bahkan mungkin dia juga tidak tahu, akulah pemuda yang begitu mengaguminya.
Aku mencoba menunduk. Menjauhkan wajahku dari tatapannya. Aku hanya dapat melihat sisa-sisa air mata yang belum kering di wajahnya.
“Kenalkan, ini Amelia. Calon ibu tirimu.” Ayah memperkenalkan dengan penuh kebanggaan.
Aku terpaku dengan sikap bingung. Mungkin dia juga kaget, calon suaminya memiliki anak sebesar aku. Kemudian wanita itu mengulurkan tangan dengan malu-malu. Tanpa senyum. Tanpa basa-basi. Aku meraih tangannya dengan tubuh bergetar.
“Farhan.”
Sore itu belum benar-benar tenggelam, ketika kau berjalan menyusuri batang-batang pinus. Tujuanku tidak lain untuk menemukan kertas yang pernah kulihat tempo hari. Entah, mengapa perasaanku tertuju pada selembar kertas itu sekarang. Padahal waktu itu, aku memiliki kesempatan melihatnya.
Seulas senyum terlukis di bibirku, ketika menemukan kertas putih bernoda remah-remah daun pinus. Sebuah bunga pinus muda menimpa keras itu —yang menyebabkan angin tidak menghempaskannya. Dengan penasaran, aku mengambil kertas putih berbingkai hijau. Sebuah tulisan tertera di sana dan membuatku menahan nafas.
Untuk Cintaku, Amelia. Tak terasa waktu bergerak sangat cepat. Tidak ada yang mampu menghalangi kecuali takdir Tuhan. Sudah sekian lama aku bekerja banting tulang demi meresmikan hubungan kita, namun rasanya mustahil. Cinta kita terhalang tembok yang kokoh. Tidak ada celah untuk sekedar melihatmu tersenyum. Kamu jangan salah sangka denganku. Aku mengatakan semua ini karena memang kamu akan menikah dengan orang lain. Ayahmu sudah mengatakannya semuanya, kalau seorang pengusaha kaya akan menikahimu bulan ini. Terus-terang aku sedih dan marah. Sedihnya karena aku tidak bisa menepati janji melamarmu tahun ini dan membayar hutang Ayahmu. Uang yang aku kumpulkan aku berikan untuk operasi kanker ibu. Marahnya, karena orang tua itu yang akan menikahimu karena Ayahmu tidak mampu membayar hutang. Dia tidak lebih dari seorang yang kejam dan memanfaatkanmu. Untuk yang terakhir kali, aku minta maaf. Bukan karena aku tak memenuhi janji, tapi karena waktu dan takdir yang tidak bisa mempersatukan kita. Permintaanku yang satu, janganlah benci aku karena ini. Semoga kamu mendapat kebahagiaan dengannya. Maafku, Rusdi.
Aku terbawa suasana. Kuremas kertas itu dan kulemparkan entah ke mana. Lalu aku buru-buru meninggalkan tempat itu.
Sebulan setelah pernikahan Ayahku dengan Amelia. Aku mendapati kabar Ibuku meninggal dunia. Peristiwa itu membuatku sedih. Ibu yang selama ini sangat memperhatikanku sudah tiada. Kepergian ibu juga membawa penyesalan Ayah. Dia merasa berdosa sudah menerlantarkan Ibu yang sakit demi istri mudanya. Tidak lama setelah itu, kabar mengejutkan datang. Ayah bercerai dengan Amelia.
Kejadian itu membawa suka dan duka bagiku. Kabar sukanya, aku bisa mempertahankan keluargaku tanpa harus melihat gadis itu di rumah itu dengan mati-matian memanggilnya ‘Ibu’. Kabar dukanya, aku tidak bisa lagi dekat dengan Amelia. Tidak bisa mengembalikan saat-saat seperti dulu, seperti yang pernah kurajut dengan penuh pengharapan.
Aku tersadar. Menghela nafas dalam-dalam dengan mata terpejam. Aku tidak tahu harus membuang ke mana memori kelam tujuh tahun yang lalu. Biar penggalan kenangan itu pergi jauh dariku dan seolah tak pernah ada dalam hidupku. Aku masih duduk dengan mata terpejam, ketika sebuah suara memanggil.
“Mas, boleh minta tolong?” suara seorang laki-laki membuatku berpaling.
“Ya?” Aku berusaha memperhatikan laki-laki tak dikenal itu.
“Kalau tidak keberatan, kami minta difotokan?” katanya sopan sambil menyodorkan kamera digital.
Aku mengangguk dan menerima kamera itu. “Boleh. Sama siapa fotonya?”
“Istri.”
“Mas, pengantin baru ya?” tanyaku basa-basi yang dipaksakan.
“Bukan. Kami menikah tujuh tahun yang lalu.”
“Oh,” jawabku. “Terus mana istrinya?”
“Tuh, disana. Lagi lihat danau.” Lelaki itu menunjuk.
Teg! Tubuhku bergetar. Saat pandanganku tertuju pada sosok wanita yang bersandar di bawah pohon pinus sambil menatap danau. Di sampingnya berdiri seorang gadis kecil berusia lima tahun. Lalu lelaki bernama Rusdi itu memanggil istrinya. Namun setelah Amelia mendekat, Aku sudah berlalu. Menyelinap di tengah-tengah pengunjung lain.
*Pemenang lomba #YukMenulis pekan kedua yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.
Oleh: Cecep Saefudin