“Dua minggu lagi, Atun pulang, Mak! Pesantren dan kampus masih libur karena maulidan.” Itulah yang dikatakan Atun lewat telepon. Kini, Atun benar-benar menepatinya. Pulang tuk mengguyur segala kerinduan Emak terhadapnya. Mobil jenazah itu datang sebelum Ashar setelah perjalanan kurang lebih sehari semalam dari Semarang menuju Sragen. Rumah Atun sudah dikerumuni para tetangga dengan wajah-wajah penuh duka. Sedangkan Emak, ia masih terbaring pucat setelah mendengar Atun telah tiada. Begitu mendadak, begitu tergesa-gesa.
Emak sudah berusia hampir enam puluh lima tahun ketika Atun memasuki semester enam di salah satu universitas di Kota Semarang. Kampung halamannya yang asli Sragen membuatnya meninggalkan Emak sendirian di rumah. Bapak telah lama tiada, pun keluarga yang lain juga sudah berpencar di berbagai kota. “Budhalo kuliah, Nduk. Entuk beasiswa iku Alhamdulillah, eman-eman lak gak dijupuk,” 1 tutur Emak waktu itu saat Atun dilanda kebingungan karena ia dinyatakan lolos seleksi dengan akibat ia harus meninggalkan kampungnya. Meninggalkan Emaknya.
Sesungguhnya Atun tahu bahwa Emak akan baik-baik saja karena selama Atun dewasa dan sudah mampu untuk membantu pekerjaan rumah, Emak lebih sering menolak dan mengerjakannya sendiri. Memasak untuk Atun bahkan sebelum subuh datang. Pergi ke sawah tiap pagi sampai siang. Dilanjut mengumpulkan kayu bakar dari ladang, atau bersih-bersih perkakas rumah yang usang. Sebab itu, Emak tidak bisa diam. Jika Emak tidak ke sawah atau ladang, tetap saja ada yang bisa dikerjakannya. Bersih-bersih pinggiran empang di belakang rumah atau memunguti sampah di sekitar semak-semak. Berbeda dengan Atun, ia lebih banyak hanya melihat Emak tandang gawe dan mengurung diri di kamar dengan berbagai jenis buku koleksinya.
“Gak usah ditanduri bayem wae lho, Mak. Yok opo, nandur bayem kok malah dipangan uler,” 2 keluh Atun saat memergoki bayam-bayam pekarangan yang penuh lubang karena dimakan ulat tetapi malah Emak biarkan. Atun sudah menduga Emak akan tidak apa-apa dan tidak merasa rugi. Bahkan tenaga dari tubuh sepuhnya yang ia keluarkan tidak begitu ia pedulikan. “Gak popo. Nandur tanduran iku iso gawe ladang. Ladang amal kanggo Emak. Gak ono sing percuma, iku biso dadi sodakoh menyang kewan-kewan sing luwe, Nduk.” 3 Atun terdiam. Benar, setiap orang butuh ladang amal. Entah itu kecil atau besar, entah sedikit ataupun banyak. Tiap kali Atun mendengar Emak bertanya kapan pulang lewat telepon, saat itulah ia merasa belum beramal sama sekali. Belum, bahkan untuk Emaknya.
Semenjak kuliah sambil nyantri di Semarang, hanya enam bulan sekali Atun pulang. Selain hemat biaya perjalanan karena tak ingin terus-terusan minta ke Emak, juga karena kegiatan kampusnya yang padat di siang hari sedangkan sore sampai malam ia habiskan untuk kegiatan pesantren. Hari libur pun Atun hanya punya waktu sedikit. Seringkali pikiran itu hinggap di angannya, bahwa ia menyebut dirinya anak yang belum bisa berbakti. Sedangkan bagi Emak sendiri, kesepian dan kerinduan yang ia tahan sejak Atun meninggalkan Sragen pertama kali kini kian semakin terasa. Rasanya sangat ganjil tatkala Emak sudah terlalu terbiasa melihat wajah polos Atun yang sering dibangunkannya untuk sekolah. Termangu di emperan rumah sambil menunggu tehnya dingin. Atau sekedar melihat-lihat pekarangan dan mengusir ayam-ayam tetangga yang mendekat. Bagi Emak, tidak hanya karena Atun adalah anak semata wayang yang tidak pernah jauh dari Emaknya, namun juga karena dalam diri Atun, Emak seperti melihat sosok suaminya yang telah tiada.
Kerinduan itu tak bisa dibendung saat Atun mulai jarang telepon dan pernah terlambat waktu pulang yang tidak seperti biasanya. Hari-hari Emak dirundung kegelisahan memikirkan putrinya. Bagaimana kalau Atun sakit dan tidak ada yang mengurusi? Bagaimana kalau Atun susah makan? Bagaimana kalau Atun butuh Emak? Bagaimana kalau hal-hal yang tak pernah diinginkan terjadi pada Atun? Namun tak perlu menunggu lama, kegelisahan itu lekas terjawab. Pakde Kiran, yang biasanya menjadi penghubung komunikasi antara Emak dan Atun tengah berlari sambil menenteng ponsel bututnya. Sekejap kemudian, Emak kembali sumringah mendengar kabar bahwa Atun berjanji dua minggu lagi akan pulang.
Seminggu sebelum Atun pulang, kamar-kamar sudah dibersihkan. Singkong Emak laku banyak di pasar sehingga kasur Atun mendapat sprei baru yang bagus. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kerinduan kali ini seperti menuntut untuk segera terpenuhi. Emak begitu semangat membayangkan Atun mengucap salam di ambang pintu kayu rumahnya. Wajah Atun yang bertahi lalat di pipi kiri selalu terbayang di pelupuk mata Emak. Emak membayangkan dirinya memasak bersama atau mengajak putrinya belanja di pasar. Seakan-akan Emak menyambut kedatangan orang yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak pulang. Sungguh, Emak tidak sabar untuk melihat Atun pulang.
Empat hari sebelum kedatangan Atun, pisang emas dari sawah sudah berbuah. Meskipun asam urat yang diderita kaki Emak kambuh, Emak tetap ke sawah dan membawa pisang itu pulang. Membungkusnya dengan karung bekas supaya cepat masak. Ah, Emak ingat, betapa Atun sangat menggemari makan pisang emas sambil minum teh. Bayangan gadis kecil yang dulu sering ngompol di pangkuannya telah menjadi dewasa dan melihat dunia. Lagi-lagi, Emak tak sabar menyambut Atun lalu mengusap kepalanya.
Dua hari sebelum Atun pulang, perasaan penuh harap sudah Emak rasakan sepanjang hari. Emak sibuk memotong-motong singkong sisa yang belum terjual lalu merebusnya. Meniriskan singkong yang masak di tampah tua lalu melumurinya dengan ragi. Sambil bersenandung riang, Emak berharap tape itu masak dengan sempurna ketika Atun tiba. Ketika petang datang, Pakde Kiran berteriak-teriak dari pelataran rumah. Sontak Emak terbangun dari duduknya—lekas menghampirinya. Beberapa detik kemudian, Emak dengan antusias menempelkan ponsel tua itu ke telinganya.
“Halo, Nduk Ayu?”
“Mak sakit, tho? Asam urat Mak apa kumat lagi?” tanya Atun tanpa menjawab pertanyaan Emak.
“Woalah, endak. Cuma pegel-pegel dikit. Kalo sudah diurut pake minyak juga sembuh.”
Di telepon Atun sedikit marah-marah pada Emak—bermaksud untuk mengingatkannya. Sebab Emak sulit sekali kalau disuruh istirahat. Sukanya bekerja dan bekerja. Padahal tubuh bukanlah mesin, bahkan seandainya tubuh adalah mesin, mesin pun juga butuh istirahat. “Jadi pulang, Nduk?” suara Emak terdengar serak di telepon, mengalihkan pembicaraan. Kalau Atun sudah mendengar suara serak Emak yang menandakan sedikit terisak, Atun segera merasa bersalah, mendapati bahwa dirinya sudah jarang berada di samping Emak ataupun menatap wajah Emak. Telepon itu ditutup dengan janji Atun pulang sebelum Magrib. Emak bercerita bahwa sudah ada tape singkong dan pisang emas untuknya. Rasa gembira sudah tak bisa ditutupi dari wajah Emak. “Anakku Atun akan segera pulang,” begitu batinnya berkata, berulang-ulang.
Sehari sebelum hari itu tiba, Emak lebih anteng daripada biasanya. Ia tidak ke sawah pun juga tidak ke ladang. Emak hanya memasak untuk makan, selebihnya hanya berbaring di rumah. Ia teringat pembicaraan dengan Atun kemarin. Tidak biasanya Emak mendengar Atun marah-marah kepadanya, meskipun marah karena mengkhawatirkannya. Karena, selama di rumah Atun lebih banyak diam. Sebab itulah, Emak memilih beristirahat lebih banyak dan mengurangi kegiatan. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. Emak bangkit dari dipan kayu kamarnya lalu menuju dapur. Ketika ia menuangkan air minum ke dalam gelas, cangkir yang biasa dipakai Atun minum teh entah bagaimana sudah ada di pinggiran meja. Tersenggol sedikit lalu jatuh dan pecah di lantai. Beberapa saat kemudian, untuk pertama kali Pakde Kiran masuk ke rumah tanpa berteriak. Memegangi ponselnya dengan wajah penuh duka.
Mobil jenazah itu datang sebelum Ashar setelah perjalanan kurang lebih sehari semalam dari Semarang menuju Sragen. Rumah Atun sudah dikerumuni para tetangga dengan wajah-wajah penuh duka. Sedangkan Emak, ia masih terbaring pucat setelah mendengar Atun telah tiada. Begitu mendadak, begitu tergesa-gesa. Kerinduan itu tetap ada. Meskipun yang dirindukan telah tiada. Menjelang Magrib, Emak membuka matanya dengan sayu. Beberapa tetangga saling berbincang membahas Atun yang meninggal karena kecelakaan sewaktu pulang dari kampus. Emak mulai mencoba duduk. Seseorang menyodorkan segelas air putih padanya namun tak ada reaksi. Dua orang lainnya mulai menyelimuti punggung Emak dengan selimut sambil mengusap-usapnya. Emak hanya diam. Senyap tanpa suara. Dengan pandangan kosong, Emak menatap ke depan lalu mendadak tersenyum. “Kamu pulang, Nduk. Bukan hanya Emak yang rindu. Gusti Allah pun juga merindukanmu.”
1 Berangkat saja, Nak. Dapat beasiswa itu Alhamdulillah. Sayang kalau tidak diambil.
2 Tidak usah diteruskan menanam bayamnya, Mak. Buat apa, menanam bayam kok malah dimakan ulat.
3 Tak apa-apa. Menanam sesuatu itu bisa jadi ladang. Ladang amal buat Emak. Tidak ada yang percuma. Kalau kita menanam tanaman itu bisa jadi sedekah ke hewan-hewan yang lapar.
*Pemenang lomba #YukMenulis pekan kesebelas yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.
Oleh: Weni Nur Magfiroh Editor: Qonuni Gusthaf Haq