30.1 C
Yogyakarta
Kamis, 26 Juni 2025

Amanah

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?” ucap seseorang, memecah hening masjid Al-Mubarok. Puluhan anak-anak TPA menyimak khidmat sosok yang kini tengah menjelaskan makna surat Al-Ma’un dan kerap kali menyangkut pautkan dengan berbagai kisah dan dongeng. Sesekali canda tawa terlepas, para ustaz dan ustazah di belakang yang sedang mengamati pun ikut tertawa pelan dengan pembawaannya yang jenaka, dan apabila sedang dijelaskan dengan serius, semuanya akan kembali tenang, mendengarkan kata demi kata yang terlontar bagai air bah yang mengalir deras tanpa henti.

Sosok itu mengambil nafas, menyunggingkan senyum, menunjukkan lesung pipinya. Lalu ia melanjutkan penjelasannya “Dan janganlah kalian mengikuti sikapnya Qarun, semua pahala yang kalian perbuat, akan terhapus tiada sisa karena berbuat riya’. Bayangkan kalian membuat istana pasir yang sangat besar, lalu kalian pamer kepada teman kalian. Maka dengan pamernya kalian, Allah akan…”

TONG! Dengung jam besar lantai terdengar, memutus kalimat yang akan keluar. Jarum menunjuk jam 5 tepat, menandakan sesi TPA sudah berakhir. Banyak yang menghela nafas kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, ini memang waktunya untuk selesai. Semua anak anak mulai mengemasi buku Iqro’ mereka, beserta barang-barang lainnya. Tanpa ambil lama mereka pun berdoa bersama dengan serempak. Hamdalah selesai di ucap, mereka keluar dari masjid Al-Mubarok, pergi menuju orang tua masing-masing atau pulang dengan sepeda atau jalan kaki. Tak lupa mereka melambaikan tangan ke arah pintu masjid, ke arah sosok yang mengembalikan salam perpisahan kepada mereka.

Berdirilah dia di mulut pintu, melihat semuanya pergi. Dia menghela nafas panjang, lalu berjalan menuju teras lantai putih masjid, dan duduk disana. Melihat langit yang mulai merubah warnanya menjadi jingga, menandakan matahari akan segera tenggelam. Dia kini terdiam, dan menutup matanya.

Dia bernama Ariz Bashari, seorang siswa di sebuah Madrasah Aliyah berasrama, yang cukup ternama di daerah Kota Pelajar. Memiliki badan yang cukup tinggi untuk anak sepantarannya, berkulit kuning langsat, rambut hitam bergelombang, dan mata coklat yang agak sipit. Dia bukanlah siswa yang selalu mendapatkan rangking satu di kelasnya, bukan siswa yang aktif berorganisasi, dan juga bukanlah siswa yang sering menjuarai lomba-lomba di ranah kota bahkan nasional. Bukan, bukan semua itu, tetapi dia adalah siswa biasa yang datang ke masjid ini setiap harinya untuk mengisi TPA, walau jarak dari asrama sekitar beberapa kilometer.

Ariz duduk termenung, sedikit berdeham kecil, membunyikan nada-nada. Sungguh tenang di sini, pikirnya. Hanya suara beberapa kendaraan yang terkadang berlalu lalang, membuatnya agak mengantuk. Dia kini tengah melamunkan isi pikirannya, dan mengingat ingat kenangan-kenangan masa lalunya disini.

Beberapa bulan yang lalu.

Matahari sedang berada di puncak kala itu. Berdirilah dia, diantar oleh temannya ke masjid dengan papan besi bertuliskan “Al-Mubarok”, setelah berjalan kaki selama satu jam lebih. Keringat mengucur, namun tidak dirasa oleh Ariz. Nampaknya, semangat dapat mengalahkan rasa lelahnya.

“Tempat ini agak jauh juga ya, dan juga kayaknya nggak ada yang pernah mengisi disini dari angkatan-angkatan sebelumnya. Kenapa kamu mau memilih masjid ini?” Ucap dan tanya teman si Ariz, yang sedang mengusap wajah penuh keringatnya.

“Aku kemarin lewat jalan ini, dan melihat ada satu hal dari masjid ini yang menarik perhatianku.” Ariz menjelaskan, “Saat bulan puasa yang lalu, masjid ini dipenuhi oleh anak-anak yang aktif datang kesini, padahal jam belum menunjukkan waktu untuk TPA. Banyak anak bermain sembari menunggu ustaz dan ustazah mereka datang, mereka bahkan mengajakku bermain dulu.”

“Pantas saja, jadi itu alasanmu memilih tempat ini,” ucap teman Ariz. “Yaudah, kamu disini dinikmati aja. Madrasah hanya menugaskan kita selama sepekan, dan kayaknya tempat ini bagus, kamu harusnya nggak dapat banyak halangan. Eits, bentar…” dia melihat pergelangan tangan, terdapat sebuah jam berwarna hitam yang menunjukkan pukul satu. Dia lalu menepuk pundak kanan Ariz.
“Oke, aku pergi duluan ya, nanti telat mengisi TPA, di tempatku.” Ucapnya dan dia pun pergi, meninggalkan Ariz seorang diri.

“Hati-hati di jalan.” Ucap Ariz tersenyum, menatap punggung temannya yang makin lama, makin menjauh. Lalu dia mengalihkan pandangan ke arah masjid dengan pelat besi bertuliskan Al-Mubarok. Masjid ini luas, memiliki corak warna krem dan oranye tua. Pintu masjid terbuka, di sana ada seorang bapak-bapak yang sedang duduk bersila mengajari satu anak belajar Iqro’. Ariz pun datang menghampiri mereka berdua.

“Selamat siang pak,” sapa Ariz, sambil memberikan salam. Membuat bapak itu memberhentikan kegiatan mengajarnya, “Permisi, saya mohon izin untuk bertanya, Bapak kenal Pak Hanafi tidak?”

Bapak itu tertawa ringan, “Saya pak Hanafi.” jawabnya. “Jadi ada keperluan apa, ya mas?”

“Oh, maaf pak kalau mengganggu aktivitasnya.” Ariz membalas jawaban dari pak Hanafi dengan lagak sedikit malu. “Jadi begini, kemarin seharusnya bapak sudah mendapatkan surat penugasan saya dari madrasah. Apakah bapak sudah mendapatkan surat itu?”

“Sudah, saya susah dapat. Mas Ariz, kan?” Tampak raut pak Hanafi sedang berusaha mengingat perihal suratnya. Wajar saja jika demikian, dari penampilannya, pak Hanafi yang kini berumur kepala empat, ditandai dengan uban yang mulai tumbuh di rambut kepalanya. Tapi walau begitu, pak Hanafi adalah takmir masjid Al-Mubarok, dan seorang guru di kampung ini.

“Sekarang bolehkah saya meminta izin untuk bertanya kembali?” tanya dari Ariz, yang dijawab dengan anggukan perlahan pak Hanafi. “Mengenai TPA. Kapan ya, TPA nya dimulai?”

“Hmmm, bagaimana mana cara untuk menjelaskannya ya mas.” pak Hanafi, tampak bingung, dan mulai menggaruk kepala. “Maaf apabila situasinya seperti ini. Tetapi, sekarang inilah TPA nya sedang berjalan, dan ini hanya anak saya yang belajar Iqro’ bersama saya.”

“Sebentar, bukannya saat bulan puasa yang lalu, TPA ini ramai dengan anak anak ya. Kenapa sekarang sepi?” Tanya Ariz keheranan. Bagaimana tidak, masa dari semua anak yang datang dulu, sekarang hanya menyisakan seorang anak.

“Memang sudah sering seperti ini mas, banyak anak merasa malas untuk berangkat ke TPA, hal ini dikarenakan banyak orang tua saat bulan puasa, tidak memperbolehkan anaknya untuk memegang gadget. Itulah mengapa banyak yang mau datang ke TPA. Karena mereka ingin menunggu berbuka dengan bermain bersama teman temannya. TPA hanyalah formalitas belaka. Agar nanti dapat tambahan saat pulang ke orang tua mereka.” cerita pak Hanafi mengenai situasi di masjid Al-Mubarok ini. Agak miris memang.

“Bapak tidak berusaha untuk mengajak anak-anak berangkat ke TPA?” Ariz bertanya, meminta lebih banyak penjelasan.

“Saya tidak pernah meminta mereka untuk datang.” Ucap pak Hanafi, yang lalu disela dengan kata “Kenapa?” oleh Ariz dengan nada bingung. “Karena pada hakikatnya, dari TPA sendiri tidak pernah, memaksakan anak-anak untuk datang.”

Ariz terdiam sejenak, lalu terbesit sebuah usulan. “Pak, saya mau bertanya.” Pak Hanafi mengangguk, spontan Ariz bertanya, “Bapak adalah seorang guru, benar?” Pertanyaan dari Ariz yang hanya merupakan sebuah basa basi belaka. Pak Hanafi tentu akan menjawab, “Benar, ada apa ya? Mengapa mas menanyakan hal ini?” Ariz memasang wajah serius, “Pak Hanafi, bolehkah saya untuk ikut mengajar di sekolah bapak, besok?”

Pak Hanafi kaget mendengar sebuah pertanyaan yang diluar dari pemikiran anak muda jaman sekarang. ‘Membantu mengajar?’, pikirnya. “Sebentar, ini beneran?” Pak Hanafi mengungkapkan perasaan yang sedang terpikirkan oleh dirinya. Ariz mengangguk, menjawab pertanyaan tersebut. Raut pak Hanafi berubah, dari yang mulanya bingung kini tersenyum. “Tentu, boleh. Tapi, kenapa kamu mau pergi ke sekolah bapak untuk mengajar?” Pertanyaan dari pak Hanafi yang masih mengganjal di benaknya.

“Bapak, lihat saja besok.” Ucap Ariz, tersenyum, lalu dia berdiri, mengucapkan salam dan pergi dari masjid. Pulang ke asrama. Meninggalkan pak Hanafi masih bertanya-tanya, tapi segera dia hilangkan rasa penasaran yang terbesit di kepalanya. Dia harus bersabar mengenai kejutan apa yang akan dibawakan si Ariz Bashari ini.
Esok harinya, sinar mentari kala itu sedang teduh, dan begitu juga hati si Ariz. Kini dia sudah berada di depan gerbang sekolah swasta Islam, tempat pak Hanafi, setelah diberitahu lokasi sekolah ini oleh ustaznya di asrama. Dia disambut hangat oleh pak Hanafi. Singkat cerita, dia mengajar di sana dengan cara yang terbilang unik sekali. Sering murid muridnya merasa terhibur apabila dekat dengan Ariz. Berdialog terasa menyenangkan. Dan itulah peluang yang Ariz Ambil.

Saat sore harinya, di masjid Al-Mubarok, entah mengapa banyak anak-anak yang datang ke TPA. Hal ini mengejutkan bagi pak Hanafi yang menyaksikan. TPA kali ini dimulai tidak seperti biasa halnya TPA diluar sana. Ariz memulai semua agenda ini dengan sebuah cerita. Tentu, anak-anak suka dengan dongeng kecil seperti ini. Setelah mendengarkan cerita, mereka pun belajar Al-Quran, dengan diajarkan terlebih dahulu lalu praktek membacanya.

Seminggu tak terasa di masjid ini, Ariz sudah seharusnya untuk kembali fokus untuk bersekolah. Namun para anak-anak meminta Ariz untuk tetap mengajar disini, bahkan pak Hanafi menyuruh Ariz menetap. Mana mungkin Ariz menolak, maka semenjak hari itu dia mengajar TPA waktu sore, setiap harinya.

“Mas, mau saya antarkan pulang ke asrama?” Suara bapak takmir yang terdengar dari kejauhan. Bapak dengan perawakan tinggi, dengan peci putih yang selalu ia gunakan buat menutupi rambut hitam berubannya. Dia di sini baru dua bulan menjadi takmir.

Ariz membuka mata, terpecahkan dari lamunan singkatnya. Lalu dia berdiri, dan menganggukkan kepala. “Tumben pak Rio yang nganterin.” Ucapnya hanya sebagai basa basi, yang lalu naik keatas motor.

“Pak Hanafi sedang sibuk, ada urusan keluarga. Jadi, saya diperintahkan untuk mengantar mas pulang.” Jawab pak Rio, “helmnya mas, prioritaskan keselamatan.” Tambahnya, memberikan helm berwarna merah cerah.

“Terima kasih.” Jawab dia, seraya mengambil, dan memasangkan helm itu di kepalanya.

Tak berselang lama, motor itu pun menyala, dengan kecepatan rendah mereka bergerak menuju jalan raya yang sepi dan lengang. Tak terasa waktu telah berjalan cepat, langit kini telah gelap, memperlihatkan bintang-bintang yang bertebaran. Lampu-lampu jalan pun mulai berbinar, mengisi kekosongan jalanan kota Yogyakarta di malam hari. Sosok itu pun termenung di atas jok motor, menatap bangunan-bangunan yang melintas. Ariz tersenyum, menanti kepulangannya ke asrama.

Oleh: M. Nabil Rizki Al-Fatih.
Editor: Haidar Ahmad Zabran A.
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -