Sekitar satu hingga dua juta orang kehilangan nyawa dalam pertarungan politik yang memuncak pada tahun 1965. Peristiwa berdarah ini merupakan puncak dari konflik pemikiran yang telah berlangsung lama di Indonesia, sebuah bangsa muda yang tengah mengalami masa transisi setelah meraih kemerdekaannya. Sejak kebangkitan nasional di awal abad ke-20, Indonesia mengalami apa yang dapat disebut sebagai demam malaise—kekacauan arah dan identitas akibat pertemuan berbagai ideologi besar dunia. Kelompok kiri, terutama yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi salah satu aktor utama sekaligus korban besar dalam tragedi ini. Banyak dari mereka yang dibunuh, dipenjara, dibuang ke daerah terpencil, atau hidup dalam stigma dan marginalisasi selama era Orde Baru yang dijalankan oleh militer melalui konsep Dwifungsi ABRI.
Pertarungan pemikiran adalah sesuatu yang nyaris tak terhindarkan bagi bangsa-bangsa yang baru mencicipi kebebasan dan kemerdekaan. Di Indonesia, ideologi-ideologi besar seperti nasionalisme, komunisme, dan Islamisme saling bersaing untuk memengaruhi arah masa depan bangsa. Namun, banyaknya perbedaan ini tidak dikelola dengan bijak. Alih-alih membangun dialog, masing-masing kelompok justru memperkuat batas dan eksklusivitas mereka sendiri. Akibatnya, konflik pun menjadi sesuatu yang tak terelakkan. G30S/PKI menjadi simbol meledaknya ketegangan tersebut dan menandai perubahan besar dalam lanskap politik Indonesia. Revolusi yang diimpikan menjadi jalan keluar dari ketimpangan justru berubah menjadi tragedi. Korban jatuh dari berbagai pihak, dan pemerintahan pun bergeser dari spektrum kiri menuju dominasi kekuatan kanan yang diwakili militer.
Militer berhasil mengambil alih kekuasaan dan membentuk tatanan baru dengan kekuatan senjata, propaganda, dan kontrol politik. Era baru yang muncul bukan dibangun atas dialog, tetapi melalui kekerasan, senjata, dan darah — darah yang bukan berasal dari penjajah asing, melainkan dari saudara sebangsa sendiri. Para pejuang ideologis, baik dari kiri maupun lainnya, mempertaruhkan nyawa demi cita-cita yang mereka yakini, meski tanpa jaminan keselamatan.
Peristiwa 1965 diperingati dengan berbagai tafsir: sebagai pengkhianatan, pengorbanan, atau pembenaran kekuasaan. Namun apa pun narasinya, tragedi ini menyisakan pelajaran penting: bahwa idealisme tanpa kemanusiaan akan membawa bencana. Sejarah ini harus dikenang bukan untuk membuka luka, tetapi agar luka serupa tidak kembali terulang di masa depan.
Oleh: Muhammad Sabilillah
Editor: Jawda Zahi