31.7 C
Yogyakarta
Kamis, 26 Juni 2025
BerandaArtikelSunan Kalijaga Berdakwah Dengan Wayang, Gen-Z Dengan Apa?

Sunan Kalijaga Berdakwah Dengan Wayang, Gen-Z Dengan Apa?

Lembaga Pers Mu’allimin— United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai warisan budaya Indonesia yang diwakili oleh Ki Manteb Sudharsana di Paris. Berawal dari hal itu lah kemudian ditetapkan pula sebagai Hari Wayang Dunia. Disambung dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018. Kini 7 November ditetapkan sebagai Hari Wayang Nasional. Umumnya pemeringatan sesuatu berfungsi untuk memutar kembali rekaman memori di kepala akan esensi serta pelajaran dari masa lalu agar tidak terlupakan dan dapat diambil hikmahnya untuk masa depan.

Apa yang ada dalam benak sobat kweekers ketika mendengar tentang wayang? Diantara sekian jawaban, banyak yang menjawab; sebuah seni dan budaya warisan leluhur, terbuat dari kulit, berbentuk seperti boneka tipis, dan dulu sering digunakan untuk pertunjukan cerita rakyat sebagai hiburan. Namun tidak banyak yang mengetahui, bahwa wayang pernah menjadi senjata paling ampuh yang menjadi jembatan spiritual dalam dakwah Islam di tanah Jawa. Dimana dalam tiap-tiap pertunjukannya seakan menjelma kompas moral yang mengajak semua jiwa untuk merenung, belajar, dan meniti jalan yang lurus didalam kebenaran.

Sampai pada barisan ini, penulis ingin mengajak sobat kweekers untuk mengetahui maksud penulisan naskah ini. Kita awali dengan kembali ke pertengahan abad 15 dimana pada masa itu wayang menjadi menjadi seni yang amat diagungkan ditanah Jawa. Menjadikan para wali memutar akal untuk menjadikannya sebagai wasilah dalam dakwah. Gagasan ini berujung pada kesuksesan besar akulturasi dakwah dan budaya yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga untuk Nusantara. Hingga kini, kita berada didalam perubahan zaman yang begitu cepat mengiringi perkembangan waktu. Budaya yang diagungkan itu perlahan sirna dan mulai jarang kita temui kehadirannya dalam keseharian. Padahal seharusnya bisa dilestarikan dan dikembangkan. Lalu apa yang yang bisa kita lakukan sebagai gen-z?, yang ternyata sudah terlampau asing dengan wayang.

Semua itu penulis sampaikan sebagai prolog. Supaya mudah bagi pembaca dalam menata jiwa dan raga untuk bersiap mengambil setiap makna. Persiapkanlah dirimu untuk mengagumi warisan budaya dengan segala spirit dibaliknya. Tulisan ini, baru akan dimulai.

Secara singkat akar sejarah wayang yang hadir dalam ranah kebudayaan yang kita pelajari saat ini tidak dapat jauh-jauh dibicarakan dari penyebaran Islam di Jawa. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lah yang menjadikan wayang menjadi media dakwah kultural. Lalu seperti apakah wayang sebelum masa mereka? Apa yang mereka lakukan pada wayang hingga menjadi jembatan spiritual?

Masyarakat jawa masa itu mayoritas dipenuhi penganut Hindu atau Buddha. Wayang pada masa itu menjadi hiburan yang amat diminati oleh semua kalangan. Entah dia seorang pejabat atau penjual sayur di pasar menjadi satu padu menonton wayang bersama di satu pagelaran. Sebuah pertunjukan semacam teater yang mengisahkan cerita-cerita menggunakan boneka tipis terbuat dari kulit kerbau dengan bentuk dan rupa yang mirip sekali dengan manusia. Memang menjadi kesengajaan untuk membuat boneka teater ini semirip mungkin dengan manusia untuk memberi kesan realistis bahwa yang tampil dalam pertunjukan ini adalah bagaikan manusia asli. Sebelum itu, semua berubah dengan hadirnya Sunan Kaligaja.

Bila masa kini kita amat sering mendengar istilah “Amati, Tiru, Modifikasi” (ATM) dari para motivator atau trainer, Sunan Kalijaga dari masa yang jauh sekali dari kita ini sudah menerapkan konsep ATM dalam dakwahnya dengan istilah Topo Ngeli. Topo ialah bertapa, tafakur, atau berfikir. Ngeli berarti keli atau hanyut, mengikuti arus utama masyarakat dari apa yang mereka gemari. Maksudnya dengan memikirkan ulang strategi dakwah yang disesuaikan dengan kesenangan dan minat masyarakat. Sunan kalijaga yang bukan seorang dalang bahkan sampai mempelajari segala aspek dunia pewayangan agar bisa memakai wayang sebagai media dakwah.

Wayang yang identik dengan kisah-kisah agama Hindu dan Buddha pastinya belum dapat langsung digunakan untuk menyebarkan Islam. Setelah diamati dan ditiru, berbagai aspek dalam pewayangan perlu mendapat modifikasi untuk menyesuaikan syariat Islam. Diubahlah wayang pertama-tama dari sisi gambarnya dengan tembang suluk; Wali Songo kang ngangget wayang yaitu wali songo yang menggambar modifikasi wayang, manungso ginambar miring yaitu manusia digambar miring badannya. Wujud wayang yang menyerupai manusia dengan kemiripan tinggi diberi ubahan secara signifikan seperti; mata yang dibuat bulat seperti bola, leher yang dipanjangkan, tangan yang dipanjangkan hingga mata kaki dan leher yang menunduk, dan lain sebagainya. Masih seperti bentuk seperti manusia, akan tetapi tidak terlalu mirip atau plek ketiplek dengan wujud manusia yang mana hal ini dilarang dalam beberapa keterangan Hadits. Lalu tembang suluknya ditutup dengan kalimat kinaryo tepo palupi yaitu agar bisa menjadi wasilah untuk saling mengingatkan dalam kedamaian.

Kisah yang dibawakan dalam pewayangan disebut dengan istilah “Lakon”. Terbagi menjadi dua, yaitu Lakon Pakem dan Lakon Carangan. Lakon Pakem sendiri bersumber dari kitab Ramayana dan kitab Mahabharata. Lakon Carangan berasal dari kata karangan yang maksudnya lakon dengan cerita tersendiri yang dibuat oleh para dalang, terserah apa yang ingin dia ceritakan. Lakon Carangan inilah yang menjadi celah bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah dengan membuat sendiri cerita-cerita yang memuat unsur ajaran Islam yang sarat akan makna.

Beberapa diantaranya yang dikarang oleh Sunan Kalijaga seperti; Lakon Dewaruci yang menceritakan awal mula dan makna keberadaan manusia di dunia ini untuk selalu menyembah pada penciptanya, atau kisah Petruk dadi Ratu dimana sang petruk yang hanya seorang rakyat biasa namun bisa menjadi seorang raja yang mulia dengan berpegang pada jamus kalimosodo. Jamus atau jimat yang dimaksud ini ialah dua kalimat syahadat dengan berpegang teguh pada Aqidah Islam yang kokoh. Kisah Anoman mencari orang tuanya yang menggambarkan nilai birrul walidain, dan lain sebagainya.

Sejarawan Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2012) menjelaskan, selain sebagai dalang dan penggubah tembang, Sunan Kalijaga juga berkreasi sebagai seniman dan penari topeng, perancang pakaian, perajin alat-alat pertanian, hingga penasihat Sultan dan Kepala-Kepala Daerah di masa itu. Tergambar betul sosok da’i pembaharu yang begitu terbuka wawasannya. Sunan Kalijaga pernah berargumen bahwa dengan keilmuan agama Islam yang benar, Islam tidak akan tercampur dengan budaya dan tradisi. Melainkan Islam akan memberikan ruh yang ahsan terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat tersebut.

Sunan Kalijaga tidak mematok tarif bagi siapapun yang ingin mengundang dan menonton, melainkan cukup mengucapkan kalimosodo atau dua kalimat syahadat sebagai tiket masuknya. Pembiasaan bagi penonton untuk selalu mencuci tangan, membasuh tubuh, hingga mencuci kaki sebelum masuk ke tempat pagelaran adalah gerakan wudhu. Penggunaan area Masjid Demak untuk pagelaran serta sisipan nasihat pasca pertunjukan yang disampaikan oleh dalang adalah upaya mengenalkan Islam hingga tingkat kebiasaan pada masyarakat. Lalu kemudian menjelaskan makna kalimat syahadat, wudhu, dan syariat Islam dengan penuh kebahagiaan. Perlahan Islam mulai banyak diterima dan dianut oleh masyarakat dan terus meningkatkan edukasi keilmuan dan agama Islam. Luar biasa bukan?

Apa yang diinisiasi Sunan Kalijaga bila kita lihat lebih dalam, maka kita dapati semangat untuk menyebarkan agama Islam mampu mendorong mereka untuk berfikir kreatif, menemukan cara dakwah yang bisa diterima dan diserap berbagai kalangan masyarakat. Ini adalah semangat yang seharusnya dimiliki setiap da’i dalam berdakwah disepanjang zaman. Inovasi dalam berdakwah sangat diperlukan karena pada dasarnya cara dakwah perlu menyesuaikan diri dengan target dakwahnya, bukan malah masyarakat yang disalahkan karena enggan mempelajari agama. Tidak semua orang cukup pandai untuk memahami bahasa dakwah yang rumit, monoton, dan membosankan. Seharusnya siapa pun dapat mempelajari agama dengan menyenangkan karena metode yang disampaikan sesuai dengan kemampuan yang mereka pahami dan dengan cara yang mereka sukai.

Terkait dengan pengalaman di dunia pedalangan, penulis merasakan sendiri, bahwa wayang hingga kini masih cukup digemari disebagian lapisan masyarakat khususnya pedesaan. Pernah suatu saat diundang untuk ndalang dalam rangka Pengajian Padhang Mbulan, Ahad 28 Juli 2024 di halaman Musholla Al Barokah, Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman. Melihat langsung wajah anak-anak yang ceria dan para penonton dengan penuh tawa saat menonton wayang, serta anggukan kepala berkali-kali sebagai tanda tersampaikannya materi dakwah, menyadarkan saya bahwa betapa tindakan kita untuk berada di sisi masyarakat dalam membina langsung dengan wasilah media dakwah yang sesuai pasti memberi dampak positif kepada masyarakat.

Perubahan akan selalu ada mengiringi perkembangan waktu dan tidak dapat dibendung oleh apapun. Dakwah memang tidak harus dengan wayang, tapi dari wayang mari kita ambil nilai dan esensi konsep topo ngeli dari Sunan Kalijaga. Sebagai gen-z, mulailah menganalisis apa yang digemari anak muda saat ini. Kita usahakan, dari setiap trend yang bermunculan, kita saling berbagi makna. Memberikan sudut pandang lain secara positif tentang realita anak muda. Anak-anak, remaja, dan masyarakat tentu punya kecenderungan masing-masing tentang apa yang mereka sukai. Mari kita pahami itu semua.

Dari berbagai riset, kesukaan anak muda saat ini bisa disingkat dengan “3F, 1M” yaitu fun, food, fashion, and music. Dari mulai ramainya anak muda mencari kesenangan sebagai pelampiasan atas penatnya kehidupan, mencoba berbagai kuliner kekinian sebagai self reward, membeli berbagai pakaian dengan standar trend life style yang tiada hentinya, hingga ramainya konser music. Dari realita yang ada paculah diri untuk mampu berinovasi dalam menjadikan dakwah tetap relevan ditengah gemuruh dunia. Mengikuti apa yang menjadi arus saat ini dalam dakwah adalah keharusan bagi kita seperti dalam Sunan Kalijaga dengan konsep Topo Ngeli nya. Itu semua dalam rangka membantu tumbuh kembang umat Islam. Akan tetapi jangan sampai hanyut terbawa arus karena meninggalkan pegangan diri yang seharusnya menjadi dasar untuk bertindak.

Dalam memperingati Hari Wayang Nasional, kita tidak sekedar mengenang sebuah seni warisan leluhur, tapi juga menyelami lautan makna yang mendalam dalam jalinan kehidupan masyarakat kita. Wayang dengan pesonanya yang sakral, seperti dalang dengan blangkon dan kerisnya, telah lama menjadi jembatan spiritual, dan kekayaan budaya Indonesia. Dalam bayang-bayang yang menari dibalik kelir pagelaran, kita menemukan jejak dakwah Sunan Kalijaga dengan segala inisiasinya. Momentum ini menuntun kita pada pengakuan akan peran wayang dalam pendidikan dan risalah dakwah, yang lebih dari sekedar hiburan semata. Dengan menggali kembali tumpukan warisan ini, kita tidak hanya melestarikan budaya, tapi memanggil semua anak muda untuk menciptakan ruang kretivitas dalam menyebarkan pesan-pesan positif yang relevan dengan perkembangan zaman.

Oleh: Syafiq Abdillah
Editor: Mazaya Abdillah Iskandar
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Kiriman Sebelumnya
Kiriman Selanjutnya

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -