Menjelang tahun baru, Aku masih duduk termenung di beranda taman rumah. Malam itu hujan turun perlahan, berjalan lembut di atas dedaunan. Aku kembali teringat masa dimana Aku bertemu dengan seseorang yang ku sayangi. Tapi ternyata ia harus meninggalkanku terlalu cepat. Dia mengidap penyakit kanker tumor ganas yang terletak di dalam otaknya. Seminggu sekali ia harus ke dokter untuk perawatan. Sudah lebih dari 5 kali ia menjalani operasi pengangkatan tumor tapi tak kunjung juga sembuh.
Dulu, sewaktu ia masih hidup, Aku sempat diajak Ayahnya untuk menjenguk Dinda di rumah sakit. Tak kusangka air mata meleleh di pelupuk mata. Sebagai seorang lelaki Aku merasa iba dengan keadaan Dinda, kekasihku. Ia terbaring lemah diatas ranjang putih, dan sudah hampir seminggu ia tak sadarkan diri. Apalagi untuk melihat Ibunya yang sudah sekian lama merawat nya hingga sampai saat ini, harus menerima kenyataan bahwa hidup Dinda tak akan lama lagi.
“Begitulah keadaan anakku semata wayang, Nak. Masihkah kamu mau menerimanya untuk kau jadikan pendamping?”
Aku tersentak, sulit memutuskan keputusan dalam keadaan seperti ini. Bila mengiyakan, Aku harus menerima keadaannya yang seperti ini. Tapi itu tidak masalah, yang jadi permasalahan, adalah ketika Aku menerimanya, dan mungkin hubungan kami tidaklah akan lama. Satu atau dua bulan lagi pasti kami tidak akan lagi bersama. Karena kata dokter, umur Dinda tidak akan lebih dari tiga bulan.
“Nak!” Aku kembali dikagetkan. Pak Hendra ternyata mengerti dengan kebingunganku. Ia pun kembali mengatakan “Kami tidak tahu lagi sampai kapan umur Adinda akan berakhir, kami pun tidak mengerti apa yang akan terjadi kedepan,” lirihnya.
“Begini pak, biarkan saya istikharah dahulu sebelum memutuskan masalah ini. Bapak jangan pesimis dengan hidup matinya Dinda. Serahkan semuanya pada Allah Pak, hanya dia yang berhak memutuskan sampai kapan umur Dinda akan berakhir.” jawab sebisaku.
Tak kusangka, Pak Hendra pun meneteskan air matanya dan memelukku. Dalam pelukannya, beliau berpesan “Tolong jagalah anakku, Aku percaya padamu Nak.” kemudian Ia melepaskan pelukan dan mengusap air mata nya yang mengalir di pipi.
Dua bulan telah berlalu, kini Aku siap dengan apapun yang akan terjadi ke depan. Cepat atau lambat dia pasti akan pergi, dan itu tidak ku pedulikan, asalkan ketika diri ini berada di sampingnya, kebahagiaan selalu bersamaku.
Badanku terbalut jas hitam yang kemarin baru saja ku pesan dari Mbak Nirwana, tempat biasa para pengantin memilih pakaian pengantinnya. Dinda pun tampak cantik dengan gaun putih yang menyelimuti tubuhnya, ditambah pernak-pernik nan indah menempel pada gaun.
Kami berjalan melewati kerumunan tamu undangan yang sudah hadir di tempat pelaminan. Hampir semua keluarga datang menghadiri acara itu. Sangat ramai sekali sampai-sampai kaki yang kupijakkan di tanah bergetar tak menentu.
Waktu menegangkan tiba disaat Aku harus memegang tangan dari calon mertuaku. Berat tanggung jawab yang harus kupanggul, tapi mau tak mau harus tetap dilanjutkan.
“Saya nikahkan Ananda Azhar Firmansyah dengan Dinda Adriana Binti Suhendra dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!”
“Saya terima nikahnya Dinda Adriana binti Suhendra dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!”
Brruuk….
Dinda terjatuh dari tempat tidurnya, dari hidungnya keluar darah segar menetes diatas lantai, wajahnya nampak begitu pucat sekali. Orang-orang tersontak kaget dan langsung mengerubungi Dinda yang sudah tak sadarkan diri. Ibunya menangis sejadi-jadinya dan pingsan di pelukan saudaranya. Aku dibantu beberapa tamu mengangkat Dinda untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan tiada pernah kuberhenti berdo’a sembari kupandangi wajahnya yang memucat.
Lima belas menit kemudian Kami sampai di rumah sakit. Perawatnya pun langsung tanggap dan membawa ke ruang UGD. Aku memaksa masuk ruangan tapi tidak diperbolehkan. Seluruh ruangan terasa sangat sepi saat itu, hanya terdengar isak tangis orang-orang yang membantu tadi.
Di sampingku, seorang bapak yang belum terlalu tua merangkul pundakku seraya berkata “Yang sabar ya Mas, Insya Allah ini jalan terbaik yang diberikan Allah kepada Mas.” lirihnya. Aku pun tak dapat menahan tangisku. Berkecamuk seluruh perasaanku. Seolah tak percaya dengan semua keadaan ini. Baru saja Aku menerimanya dengan ikhlas, namun hampir saja sampai tahap akhir pernikahan, justru jalan tidak sesuai dengan harapan. Apa sebenarnya yang salah dari diriku ini Tuhan?
Glek….
Dokter keluar, melepas masker yang menutupi wajahnya. Aku pun berlari menanyakan bagaimana keadaan calon istriku. Sang dokter merunduk pasrah. “Ada apa, Dok?!” tanyaku dengan tegang, tambah bingung lagi perasaanku saat itu. Pertanyaan-pertanyaan tentang Dinda memenuhi pikiranku. Sebegitu cepatkah ia meninggalkanku? Air mata kembali mengalir membasahi pipi.
“Maaf Nak, hanya ini kemampuan kami. Usaha kami sudah sangat maksimal, tapi Tuhan berkata lain. Bersabarlah Nak, semoga Tuhan menggantikan dengan yang lebih baik.” kata sang dokter.
Aku ambruk tak sadarkan diri. Ketika mataku terbuka, ternyata Aku sudah di rumah. Ibuku tertidur disamping ranjangku. Kucoba bangunkan dengan menggerakkan badannya. “Bu.., bangun,” Ibuku kaget, “Ah syukurlah Nak.” Ibuku lantas memelukku sangat lama dan membisikkan ke telingaku, “Kamu pingsan dua hari, dan malam ini kamu baru bangun,” lirihnya.
“Bagaimana dengan Dinda?” tanyaku.
Ibu pun tersenyum “Dia sudah di kebumikan selepas kamu pingsan. Ayahmu ikut menshalatkan”.
“Sudahlah ikhlaskan saja Dinda.” pesan ibu.
“Oh iya Har, kemarin Ibunya Dinda sempat menitipkan surat ini ke Ibu. Katanya ada surat yang terselip di bawah bantal tempat tidur Dinda. Ini kamu baca, siapa tau dapat mengobati rindumu pada Dinda. Ibu tinggal keluar dulu ya.” Ibu melangkah pergi, membuka pintu dan dalam sekejap Ia hilang dibalik putihnya pintu.
Kubuka surat itu dengan tangan bergetar. Campur aduk pikiranku. Apa isi surat ini sebenarnya. Ku baca tulisan itu dengan saksama.
Untukmu Kekasihku, Azhar Firmansyah Ku tulis surat ini dengan air mata berlinang di pipi. Sayangku, Aku tahu saat ini kamu sedang bersedih hati sepeninggalku kan. Sayangku, perlu kau tahu bahwa Aku pun sangat mencintaimu, tapi mungkin Tuhan akan memilihkan jalan yang berbeda. Saat ini, Aku harus mengidap penyakit kanker ini, supaya Aku bisa belajar mensyukuri hidup yang tak lama ini. Aku bahagia karena kamu bisa selalu di dekatku, saat Mama dan Papa ku harus pergi keluar kota, mencari biaya untuk kesembuhanku. Terima kasih ya sudah menemaniku sampai sekarang ini. Maaf jika selama ini sudah terlalu banyak merepotkanmu. Tak apalah saat ini kita berada di dunia yang berbeda, karena Aku akan tetap mencintaimu dan berdo’a kepada Tuhan agar memberimu pendamping yang dapat membahagiakan hidupmu. Dariku, Dinda yang selalu mencintai Mas Azhar
Malam itu hatiku tak dapat lagi menahan kerinduan yang ada. Tanpa disuruh, air mata ini mengalir membelai wajah dengan lembutnya.
Saat ini Aku berada dibawah rindangnya pohon beringin tempat biasa nongkrong menghilangkan masalah sejenak. Terasa sangat nyaman bila berada di sini, semilir angin menerpa wajah membelai dengan lembutnya. Sesekali burung-burung kecil hinggap di dahan memamerkan kelebihannya untuk menarik si betina.
Ternyata saat ini memasuki musim kawin para burung. Dari pada mengganggu, Aku pun melangkah pergi. Namun baru dua langkah, pundakku dipegang oleh seorang wanita yang sangat kukenali, Aisyah namanya.
“Udah lama Har, disini?” tanyanya.
“Oh, belum lama kok, mungkin baru lima belas menit.”
“Ada apa, kok tumben kemari?”
Aisyah mengajakku duduk kembali, Ia mulai bercerita sewaktu kuliah dulu Aisyah sering memperhatikan Azhar dan mulai menaruh hati padanya. Namun harapan itu pupus lantaran dua minggu lagi Azhar akan menikahi Dinda, teman SMA nya dulu.
Suatu ketika saat sudah kuliah, Dinda mengajak Aisyah ke kantin. Katanya ingin ngobrol. Tapi di ujung pembicaraan, Dinda minta tolong kepada Aisyah, agar ketika hubungannya nanti harus berhenti ditengah jalan, agar Aisyah berkenan menggantikan dirinya sebagai pendamping Azhar. Aisyah diam tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Namun dalam hatinya, ia mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
“Jadi begitu mas ceritannya, kalaupun Mas Azhar tidak mau menerima, saya pun tidak masalah. Tapi dari diri saya pribadi, agar bisa menerima bukan karena ini pesan Dinda, tapi lantaran cinta saya pada Mas Azhar begitu besar.” Aisyah menunduk, malu.
Aku tidak percaya dengan apa yang disampaikan Aisyah, teman Dinda semasa ia masih di SMA. Baru saja mau menghilangkan masalah justru tambah lagi masalah. Namun dalam hati, Azhar tiada pernah berhenti bersyukur, lantaran kini ia sudah hampir mendapatkan calon pengganti kebahagian hidup yang sempat hilang.
“Bismillah…, Aku mau menikah denganmu Dik Aisyah” jawab semampuku. Dan Aisyah pun tersenyum. Mata kami saling berpandangan.
Sore itu menjadi sore yang cerah sekaligus bersejarah dalam hidupku. Kini Aku siap mengarungi hidup yang sementara bersama kebahagiaan yang baru saja terajut dibawah rindangnya pohon beringin.
Oleh: Alfi Sahri (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2017, musyrif Mu'allimin)