28.5 C
Yogyakarta
Senin, 11 Agustus 2025
BerandaArtikelLangkah Ulama’ Dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat

Langkah Ulama’ Dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat

Di zaman ini, contohnya di Indonesia, kita diperlihatkan bagaimana sebagian muslim saling bertikai ketika berbeda pendapat. Misalnya, dalam menyikapi di mana keberadaan Allah. Sampai sekarang pun masih ada yang memperdebatkannya di antara kalangan tertentu. Bahkan sampai mempersekusi seorang ustadz untuk tidak berceramah, karena berbeda pendapat. Inilah sekelumit kecil dari contoh wajah keislaman yang buruk di Indonesia.

Padahal, perbedaan pendapat itu adalah keniscayaan. Namun bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat itulah yang terpenting. Dalam menyikapi perbedaan pendapat, para ulama’ tidak menyikapinya dengan tempramental. Namun para ulama’ menyikapi perbedaan pendapat dengan berlapang dada. Tetap berpegang teguh pada pandangannya namun tidak juga menafikan pandangan lainnya yang berbeda. Ada beberapa contoh bagaimana para ulama’ menyikapi perbedaan pendapat.

Dalam Kitab Tarikh at-Tasyri’ Al-Islami karya Syaikh Manna’ al-Qatthan, pernah ada suatu kejadian antara Khalifah Harun Ar-Rasyid dengan Imam Malik. Saat itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid berniat mengirimkan salinan kitab Al-Muwaththa ke seluruh negeri, sebagai panduan bagi setiap qadhi (hakim, ed) dalam memutuskan hukum. Imam Malik, sang penulis kitab, menolak hal tersebut. Karena menurut beliau, di setiap negeri sudah ada ulama’, dan masing-masing memiliki pandangannya sendiri-sendiri.

Dan dalam riwayat yang masyhur, disebutkan di banyak kitab, salah satunya dalam kitab al-Mustasyfa karya Imam al-Ghazali, Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsan (suatu metode pengambilan hukum, ed), sesungguhnya ia telah membuat syari’at sendiri”. Dan sudah masyhur, Imam Malik adalah ulama‘ yang menggunakan istihsan dalam ushul fiqihnya. Apakah Imam asy-Syafi’i pernah menghujat Imam Malik? Jelas tak pernah sama sekali.

Inilah yang harus direfleksikan oleh kaum muslimin, termasuk di Indonesia. Seharusnya perbedaan yang bersifat furu’iyyah (cabang,ed) ini tidak menjadi rusaknya ukhuwah. Muslim yang baik ialah dia yang tetap memegang teguh terhadap pandangannya tanpa menafikan pandangan lain yang berbeda.

Lalu bagaimana kita dalam menyikapi perbedaan pendapat ini? Salah satu da’i dari Indonesia yang mahsyur akan hafalan kuatnya dan penyampaiannya yang cerdas, Ustadz Adi Hidayat Lc. MA., dalam suatu ceramahnya di Masjid Al-Irsyad Surabaya, pernah berpesan, “Ambil baiknya, buang buruknya”. Bisa disimpulkan, jika ada pendapat seorang ulama’ yang menurut pandangan kita itu buruk dalam Al-Qur’an & As-Sunnah, maka buanglah. Namun jika ada kebaikannya daripadanya, maka ambillah.

Semoga kita dapat merenungi hal ini, bahwa menyikapi perbedaan ini harus dengan bijak. Tidak mesti bersikap dengan setuju dengan pandangan lain yang berbeda, namun dengan menghargai pandangan lain yang berbeda dan tetap berpegang teguh pada pandangan masing-masing. Dan kita dapat belajar dari para ulama’ kita dari zaman dahulu banyak perbedaan diantara mereka, namun mereka sikapi dengan bijak. Jika orang berilmu dahulu yang telah merumuskan kaidah-kaidah syari’at saja, legowo dengan perbedaan. Bagaimana dengan kita?

Oleh: Ariiq Rifqi Rastyaputra
Editor: Izzaturrahman Pradiatma
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
RASYIDI CIRCLE FOR ISLAMIC THOUGHT STUDIES didirikan pada 5 Oktober 2018 sebagai bentuk ikhtiar santri Mu'allimin dalam pengembangan wacana pemikiran dan peradaban Islam di kalangan remaja dan masyarakat umum. Komunitas ini diresmikan oleh Wakil Direktur I Bid. Kurikulum, Dr. Mhd. Lailan Arqam pada kesempatan perdana Dauroh Pemikiran Islam di R. Multimedia Madrasah Mu'allimin.

Ikuti KweeksNews!

107FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -