Ada pepatah mengatakan makanan paling enak adalah masakan ibu. Aku sangat setuju dengan pepatah ini, ibuku pandai masak dan aku sangat suka masakannya. Tapi pepatah seolah tidak berlaku kalau sudah makan berkali-kali. Masakan yang tadinya enak banget sekarang jadi biasa-biasa saja. Bukannya makanan masakan ibu jadi tidak enak, tapi lebih ke bosan.
Selama beberapa minggu terakhir, aku mulai bosan dengan masakan ibuku yang gitu-gitu aja. Saat aku bosan dengan masakan ibuku, kadang-kadang aku teringat pada makanan madrasah, masakan ibu dapur. Seketika aku membayangkan suasana makan siang pada hari Sabtu di madrasah. Saat itu, Aku mengantri dan berjubel-jubelan dengan teman-temanku untuk bisa makan ayam bakar.
Pada lain kesempatan, aku teringat pada telur hari Jum’at yang estetik. Telur yang dipotong segitiga dengan ketebalan dan besar potongannya selalu tidak cukup untuk sekali makan. Perlu makan lebih dari 2-3 potong telur ditambah sambal merah nya agar sempurna sarapan pada hari Jum’at.
Secara rasa sebenarnya makanan madrasah biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa apalagi ngangenin. Tingkat kenikmatan makanan madrasah, bila aku rasiokan 1-10, berada di angka 6/10. Cukup nikmat. Sekalipun bagi beberapa temanku ada yang menilai 5/10 ke bawah. Penilaian rasa bisa jadi sangat subjektif dan berbeda-beda tiap orang, tergantung situasi, kondisi dan pemaknaan saat menyantap hidangan madrasah. Bagi yang berduit lebih dan terbiasa makan makanan di luar asrama. Masakan ibu dapur biasa-biasa saja. Tapi bagiku dan teman-teman yang pas-pasan uang sakunya, makanan ibu dapur sudah cukup nikmat.
Terlepas dari penilaian yang subjektif dan berbeda beda tiap orang itu, pada masalah makanan madrasah, ada satu hal yang pasti. Bahwa makanan madrasah selalu nikmat bila di makan pada akhir bulan. Apalagi kalau makannya bareng sama teman-teman. Selain makanan jadi tambah nikmat makan juga lebih terasa kekeluargaannya. Dan barangkali ini yang lebih nikmat, melebihi nikmatnya makanan madrasah.
Selain itu, sebenarnya hal yang membuat kangen pada makanan madrasah, bukan pada rasanya tapi lebih ke keseruannya. Makanan madrasah mungkin sengaja disediakan apa adanya dalam porsi yang ngepas (bahkan kadang kurang) bukan karena madrasah tidak mampu memberi makan yang wah dan melimpah. Tapi madrasah lebih ingin santri menikmati makanan bukan dari rasanya saja, tapi juga perjuangan sebelum makan.
Seperti saat makan ayam goreng Selasa pagi. Secara rasa mungkin ayam goreng Selasa pagi bukan makanan madrasah yang paling enak. Tapi secara keseruan ayam goreng Selasa pagi menempati peringkat pertama. Setidaknya ada beberapa keseruan yang hadir saat makan ayam Selasa pagi.
Keseruan pertama adalah ketika mengambil. Untuk mengambil ayam Selasa pagi diperlukan kemampuan dan kecepatan yang telah teruji. Karena lambat sedikit ayam goreng selasa pagi bakal hanya jadi mitos. Keseruan kedua adalah saat makan. Karena peminat banyak maka sarapan di hari Selasa jadi lebih ramai dan kompetitif.
Tidak hanya menu ayam saja yang memiliki tingkat keseruan tinggi. Di lain menu, makanan seperti krecek, cap cay, dan ikan lele, juga banyak peminatnya. Uniknya malah makanan seperti daging pada Kamis siang malah lebih sepi peminat. Padahal secara rasa, daging lebih nikmat ketimbang cap cay. Kembali lagi pada kenyataannya, bahwa makanan madrasah tidak bisa dinilai dari sekedar rasa. Tapi situasi, kondisi dan pemaknaan saat makan juga sangat berpengaruh.
Selain situasi, kondisi, dan pemaknaan saat makan. Hal yang membuat makanan madrasah ngangenin adalah makanan madrasah dibuat dengan penuh pengorbanan dan cinta kasih dari ibu dapur. Sehingga setiap suap yang di makan bukan saja mengisi bukan hanya perut dan organ pencernaan, tapi juga sampai menyentuh ke hati.
Duh-duh. Malah jadi romantis gini.
Gak sabar pengen makan makanan madrasah lagi, hehehe.
Oleh: Nafiis Anshaari Editor: Ahmad Rulim