Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Menjadi mubalig di tengah masyarakat bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak tantangan dihadapi oleh santri Mu’allimin yang menjadi mubalig di dalam maupun luar negeri. Apalagi menghadapi masyarakat yang banyak maunya, bisa-bisa kita kehabisan energi menghadapi kemauan mereka. Tapi, itulah kenyataan yang harus dihadapi sebagai seseorang yang tengah belajar menjadi mubalig.
Segelintir santri yang mengikuti lomba Olimpiade Sains Nasional (OSN) pada tahun ini tetap melaksanakan Mubalig Hijrah (MH) sebagaimana mestinya. Mereka yang mengikuti OSN, dengan bimbingan selama kurang lebih 2 pekan sambil menjalani kegiatan sehari-hari menjadi mubalig. Meskipun terdengar berat, karena harus mengejar materi OSN yang saat itu tersisa hanya 2 pekan, tetapi nyatanya hal itu bisa kita lalui. Walaupun lumayan banyak pengorbanan yang harus kami lakukan.
Saya sebenarnya bingung untuk mencari narasumber yang cocok untuk tulisan ini. Niat awal ingin menjadikan diri sendiri untuk dijadikan narasumber, tapi nanti jatuhnya curhat, bukan sebuah artikel. Akhirnya beberapa waktu lalu, saya sempat mengobrol dengan 2 orang teman saya yang mengikuti OSN. Namanya Muhammad Tahta Al-Kautsar, atau biasa dipanggil Tahta. Ia mengikuti OSN Fisika. Tak lupa Nikko Lintang Buana, biasa dipanggil Nikko. Nikko pada tahun ini mengikuti OSN Ekonomi.
Ternyata MH OSN nggak seberat itu
Dalam mengikuti MH OSN, tantangan menjadi dua kali lipat. MH yang notabene kita menjadi mubalig selama kurang lebih 20 hari. Rasa campur aduk dirasakan oleh Tahta. Ia yang mengikuti OSN Fisika yang sangat sulit soal-soalnya, harus berjuang untuk belajar di pagi hari dan mengajar TPA di malam hari. Tentu rasa lelah tak bisa ditolak oleh Tahta, namun itulah konsekuensi yang harus peserta MH OSN hadapi. “Walaupun OSN-nya kurang fokus, bisa dapat pengalaman berharga saat MH,” kata Tahta.
Sementara itu, Nikko merasa MH-nya tidak seberat yang dipikirkan. Masjid yang ia tempati “enak” karena hanya dibebani untuk mengisi beberapa kultum dan mengajar TPA. Walaupun ia merasa sedikit terbebani, Nikko tetap mengikuti kegiatan MH dan belajar materi OSN. Selama menjalani MH pula, Nikko mengalami kesulitan untuk mengatur waktu untuk belajar, karena ia berkegiatan hingga jam 9 malam. “Harus nunggu selesai kegiatan sampai jam 9 malam, jadi rada susah untuk belajar malam,” ujar Nikko.
MH OSN nggak efektif, Madrasah sedikit memaksa
Saatnya membandingkan MH OSN tahun 2023 dan 2024. Pada tahun lalu, para peserta MH OSN dikarantina di Madrasah dan “fokus” untuk menjalani persiapan mengikuti OSN. Sedangkan tahun ini, 2024, peserta OSN disebar ke masjid-masjid yang berdekatan dengan Madrasah. Hal itu agar mudah untuk mengikuti bimbingan belajar yang berlokasi di Madrasah.
Peserta MH OSN tahun ini merasa bimbang untuk mengikuti MH dan OSN. Saat saya tanya beberapa, mereka merasa bimbang untuk memfokuskan pikirannya. Karena bagi kelas 4 dan 5, MH merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Ada nilai perjuangan di dalamnya. Sedangkan untuk OSN mereka merasa bingung, bingung untuk fokus MH dengan segala kegiatannya, atau fokus untuk belajar materi OSN. Mereka merasa fokusnya terpecah antara memprioritaskan MH atau OSN.
Sebagai seorang santri (siswa) kita tidak boleh semata-mata menyalahkan Madrasah untuk kebijakannya yang kurang bahkan sedikit ngawur. Mungkin, Madrasah ingin kita (peserta MH OSN) untuk tetap menjadi mubalig dan sekaligus berjuang untuk OSN. Dan dalam pikiran kita, para peserta MH OSN harus dikarantina dan menjalani bimbingan belajar intensif untuk OSN. Dalam pemikiran yang berbeda inilah, Madrasah setidaknya mencari alternatif yang solutif dan tidak membebani siswanya.
Kalau mau menang OSN, Madrasah harus berani
Obrolan saya dan Tahta masih berlanjut. Ia bercerita bahwa tahun lalu saat ia mengikuti OSN, ia dikarantina di Madrasah dan belajar seharian mempersiapkan OSN Fisikanya. Namun, ia tidak lolos seleksi Kota saat itu. “Yang seperti ini aja nggak lolos, apalagi tahun ini,” ungkap Tahta. Tahta memiliki solusi untuk kebijakan Madrasah tahun ini, ia berkata bahwa Madrasah dan OSN tidak bisa disalahkan. Justru jika Madrasah ingin muridnya juara OSN, bimbingan belajar harus intensif sejak dari awal tahun pelajaran, bukan di bulan Januari yang waktunya mepet untuk OSN dan MH. “Harus dipersiapkan anak-anak mana yang ikut OSN.”
Sejak awal semester, sudah seharusnya bimbingan belajar dimulai agar lebih maksimal, bukan saat MH baru dimulai, itu telat namanya! Tahta menyarankan untuk konsisten dan harus sudah jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan OSN. Bahkan kalau bisa, tidak usah menjadikan guru Mu’allimin sebagai pembimbing OSN, melainkan guru/guru les dari luar Mu’allimin. Tahta bercerita, bahwa saat ia meminta untuk bimbingan bersama Ustaz Arif Al-Fatah, beliau sering tidak bisa mengajar karena lelah mengajar. Ustaz Arif memiliki jadwal yang padat di dua kampus hingga sulit meluangkan waktu.
“Kalau Madrasah ingin siswanya juara OSN, harus dipersiapkan jauh-jauh hari, jangan dadakan, dan konsisten bimbingannya. Kalau memang beneran ingin juara, kalau perlu pembimbingnya dari luar Mu’allimin, jangan dari guru Mu’allimin. Kalau takut nggak juara, selamanya takut, nggak usah ikut OSN, fokus MH saja. Kami bingung mau fokus MH, nanti salah karena OSN-nya diabaikan. Mau fokus OSN salah, nanti MH-nya terabaikan.” Pungkas Tahta.
Intinya, tak usah menyalahkan Madrasah, OSN, bahkan pemerintah. Positif thinking saja, Madrasah sedang melakukan uji coba terhadap kita. Apakah kebijakan itu atau ini yang lebih berdampak positif? Kita sebagai santri selain bicara di belakang hanya bisa berharap yang terbaik agar Madrasah tidak hanya memikirkan tentang berapa banyaknya santri baru, tetapi juga memikirkan kita santri lama yang sedang mengemban ilmu.
Oleh: Danu Rahman Wibowo. Editor: Haidar Ahmad Zabran Aliyuddin.