30 C
Yogyakarta
Senin, 11 Agustus 2025
BerandaArtikelPengantar Islamic Worldview Bagian Pertama: Jalan Juang Rasyidi Circle

Pengantar Islamic Worldview Bagian Pertama: Jalan Juang Rasyidi Circle

Dalam kehidupan nyata, sering kali datang persoalan yang menuntut umat Islam untuk berbicara. Persoalan-persoalan tersebut terus ada dan tak akan pernah berhenti atau usai di telan lajunya zaman. Bahkan, banyak persoalan yang terus berevolusi; berkembang sesuai kondisi realita yang berlaku. Katakanlah seperti isu sistem ketatanegaraan, atau konstruksi masyarakat modern. Di sini, umat Islam tidak sedang berada dalam ruang hampa. Dimana tidak terjadi kejadian dan fenomena. Umat benar-benar berada dalam pusaran dinamika sosial dan terus akan berhadapan dengan problematika kehidupan, kini dan nanti.

Maka ketika umat Islam hendak menjawab segala problematika tersebut, umat bagaikan dipertemukan pada jalan yang bercabang. Setiap cabangnya saling bertolak belakang dan berlawanan. Pendek kata, kedua cabang jalan tersebut saling berjauhan satu sama lain. Hal ini menandakan, umat benar-benar diuji dalam menjawab persoalan di sekitar. Maka yang menjadi pertanyaannya sekarang, akankah umat menemukan jalan yang tepat atau terjebak pada jalan yang salah?

Ketika umat Islam menjawab, maka jawaban yang akan muncul tentulah berasal dari cara pandang yang terdalam. Mengenai cara pandang, banyak hal yang memengaruhi. Baik agama, budaya, ideologi, semua saling berebut untuk mewarnai cara pandang tersebut. Dan dari cara pandang itulah, identitas umat Islam begitu dipertaruhkan. Begitu cara pandangnya salah, maka keputusan tindakannya pun akan berujung salah. Sekalipun persoalan yang dihadapinya sudah teramat terang kebenarannya. Oleh karenanya, diskursus pemikiran –khususnya cara pandang– sangat penting untuk dijadikan konsen perhatian umat Islam dewasa ini.

Betapa di era globalisasi seperti saat ini, derasnya isme kerap melunturkan jati diri seorang muslim yang kaffah. Bahkan tak tanggung-tanggung, paham-paham yang datang ikut turut serta menginfiltrasi agama Islam. Walhasil istilah-istilah seperti Islam konservatif, Islam modernis, Islam pluralis, kerap kita dengar dan menjadi buah bibir masyarakat. Tentu persoalan ini tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Ada proyek besar yang harus dibenahi umat Islam dalam mengarungi samudera kehidupan. Dan proyek tersebut adalah worldview Islam.

Makna Worldview Islam

Sebelum membahas lebih jauh tentang worldview Islam, maka terlebih dahulu kita membahas soal makna kata. Frasa worldview diambil dari bahasa Inggris yang tersusun antara dua kata. Yaitu kata world dan view. Kata world dalam bahasa Indonesia berati dunia, sedangkan kata view berarti pandangan. Maka ketika digabungkan, dua kata tersebut memiliki arti letterlijk yaitu pandangan dunia (pandangan hidup). Namun, komposisi dua kata tersebut belum mewakili makna yang presisi lagi sesuai dengan Islam itu sendiri. Hal ini dikarenakan Islam memandang dunia merupakan bagian dari kehidupan. Sedang ada bagian lain yang tak terwakili manakala terjemahan pandangan dunia diterapkan dalam mengartikan makna worldview. Yaitu alam akhirat yang kekal. Oleh karenanya, di Malaysia istilah Worldview lebih populer dengan arti pandangan alam yang dinilai mencakup alam dunia (‘ālam al-Shahādah) dan alam akhirat (‘ālam al-Ghāib).

Masih membahas soal makna, dalam bahasa Indonesia ada sebagian kalangan yang mengartikan worldview sebagai falsafah/filsafat hidup. Mengenai kata falsafah/filsafat, jamak diketahui secara lahiriah memiliki arti tersendiri secara kosa kata. Kendati demikian, dalam konteks ini kata falsafah/filsafat dimaknai secara konsep yang tersimpan di dalam. Walaupun diperbolehkan, seharusnya penggunaan kata secara konsep tetap harus dalam ketentuan disiplin yang ketat. Apalagi ketika membahas persoalan penting seperti worldview. Kesalahan penggunaan kata secara konsep semata dapat ditemui ketika mengartikan kata “toleransi” sebagai “pluralisme”. Dikarenakan kata “pluralisme” sendiri menyimpan sejarah latar belakang yang tak bisa dipisahkan dengan kosa kata tersebut.

Dalam literatur bahasa Inggris, worldview Islam memiliki dua bentuk susunan kata (sintaksis). Yakni Islamic worldview dan worldview of Islam. Secara garis besar, kedua frasa ini memiliki makna yang serupa tetapi tak sama. Artinya walaupun terdapat persamaan yang dominan, terdapat pula perbedaan yang mendasar. Istilah Islamic worldview lebih bermakna “pandangan hidup yang islami”. Frasa Islamic worldview lebih menekankan pada aspek sifat Islam yang melekat pada worldview. Berbeda halnya dengan worldview of Islam yang bermakna “pandangan hidup Islam”. Seakan makna worldview of Islam menegaskan bahwa Islam memiliki pandangan hidup yang khas. Akan tetapi untuk mengakomodir, hematnya dua frasa tersebut dapat digunakan dalam satu penjelasan yang sama. Yakni worldview Islam.

Worldview Islam memiliki banyak interpretasi makna secara pengertian terminologis. Dalam hal ini tokoh pemikir Islam banyak yang berkecimpung dalam menelurkan makna worldview Islam secara pengertian istilah. Yang pertama dari Sayyid Quthb dalam bukunya Min Khashāishi al-Tashawwur al-Islām. Beliau mengartikulasikan worldview dalam bukunya dengan kata tahsawwur, yang berarti persepsi. Sedangkan kata tashawwur sendiri merupakan derivasi (turunan kata) dalam Bahasa Arab dari kata shūrah yang diterjemahkan sebagai gambaran. Dalam hal ini, Sayyid Quthb menggunakan kata persepsi –yang dimensinya lebih kecil– untuk mendefinisikan worldview yang cakupannya lebih besar dan tak sekedar persepsi belaka. Namun dalam rangka menerjemahkan saja, penggunaan kata tersebut tak dipersoalkan.

Kedua dari Samih Atif al-Zayn lewat bukunya, al-Islām wa idiyūlūjiyā al-Insān. Samih menarasikan worldview sebagai mabda’ yang dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata bada’a. Mabda’ secara terjemahan berarti tempat bermula, namun dalam bahasa Arab kata mabda’ kerap digunakan sebagai ideologi yang cenderung bernuansa sosio-politis. Tak sampai di situ, Samih merangkai kata mabda’ dengan menggabungkannya dengan al‘aqīdah al-Fikriyyah. Maksud al‘aqīdah al-Fikriyyah sendiri menurut Samih adalah keyakinan (‘aqīdah) yang berangkat dari proses berpikir.

Sekilas frasa al-‘aqīdah al-Fikriyyah terlihat rancu, mengingat ranah aqidah yang tidak sebatas pada hal-hal yang rasional. Bahkan jauh melampaui hal-hal yang rasional (suprarasional). Akan tetapi, maksud Samih di sini menambahkan frasa al-‘aqīdah al-Fikriyyah sebagai penjelasan bahwa keyakinan dalam Islam dapat digabungkan dalam kerangka berpikir sehingga berdampak dalam cara berpikir seorang muslim. Contoh mudahnya seperti ini, ketika seorang muslim mengimani hal-hal yang bersifat ghaib maka secara tidak langsung nalarnya mengatakan bahwa hal-hal yang riil (nyata) tidak semata-mata pada hal-hal yang fisik. Melainkan, sesuatu yang bersifat metafisik (ghaib) dalam timbangan sebagai seorang muslim dapat dikatakan sebagai yang riil (nyata) pula. Maka takaran Samih terhadap frasa al-‘aqīdah al-Fikriyyah membuktikan bahwa keyakinan (aqidah) dalam Islam tidak bersifat doktriner ataupun dogmatis. Lain halnya seperti di agama lain, yang menekankan keyakinannya pada hal-hal yang tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Islam memiliki keyakinan yang dapat dinalar dengan ilmu dan rasionalitas.

Definisi terakhir keluar dari buah ide Syed Muhammad Naquib al-Attas, pemikir muslim abad-21 asal Malaysia. Al-Attas menggunakan definisi Ru’yat al-Islām li al-Wujūd (pandangan Islam mengenai eksistensi) dalam mengartikulasi makna worldview Islam. Menarik untuk dikaji lebih dalam, Al-Attas menggunakan redaksi ru’yat dimana kata tersebut dalam bahasa Arab meliputi tiga dimensi. Yaitu yang berdimensi fisik, metafisik, dan rasional. Hal tersebut tak terlepas dari derivasi kata ra’a yang bercabang menjadi tiga bentuk kata. Yakni ra’yun, ru’yatun, dan ru’in yang antar kata mewakili dimensinya masing-masing.

Alasan Al-Attas menggunakan redaksi kata ru’yat sangat esensial. Dalam Islam sendiri segala persoalan tidak hanya dibatasi pada ranah bendawi sahaja. Ada persoalan-persoalan yang bersifat ghaib dan juga yang berada dalam alam ide intelektual. Dan ketiga persoalan tersebut presisi bilamana diartikan dengan kata ru’yat sebagaimana yang dijelaskan di atas. Akan tetapi definisi Al-Attas tak sepopuler tiga kata sebelumnya (tashawwur, mabda’, dan nazhariyyah) dalam kalangan penutur bahasa Arab. Kendati demikian, definisi Al-Attas dirasa paling cocok sebagai konsep dalam menjelaskan makna Worldview Islam.

Sejarah Worldview Islam

Awal mula istilah worldview muncul berawal dari peradaban Barat. Sejarah mengatakan bahwa istilah worldview pertama kali muncul dalam Bahasa Jerman dengan istilah weltanschaunng. Kata ini digunakan oleh seorang filsuf besar Jerman awal abad 18 bernama Immanuel Kant. Meski demikian, kenyataannya Immanuel Kant menggunakan istilah ini sepintas lalu. Baru selanjutnya, salah seorang murid Immanuel Kant bernama Wilhem Dilthey mengenalkan istilah worldview lebih intens. Ta’rifan Dilthey mengenai worldview sangat kompleks. Menurutnya, worldview adalah sesuatu yang berada dalam benak manusia mengenai dunia dan kehidupan. Bagi Dilthey, worldview adalah pemahaman manusia terhadap dunia dan kehidupan. Lewat pemikiran dan penerenungan yang mendalam, manusia mencoba memahami seluk beluk dunia dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya.

Lewat ta’rifan Dilthey tersebut, istilah worldview berdiaspora. Banyak bahasa di dunia yang menggunakan istilah worldview lalu menyerapnya. Tak hanya itu, kata worldview juga digunakan dalam pelbagai disiplin ilmu. Oleh karenanya, istilah worldview di awal abad 20 dalam diskursus kajian ilmiah begitu terkenal di kalangan pemikir dan sarjana. Namun bak masih mengambang di kalangan atas, istilah worldview belum membumi pada lapisan masyarakat awam.

Disadari begitu ramai di perbincangkan di Barat, tak ketingalan para pemikir dan sarjana Islam mulai menggenal istilah ini terlebih pada rentan waktu paruh abad ke 20. Setelahnya pada abad ke 21, istilah ini baru digunakan oleh sarjana muslim untuk menjelaskan pemahaman dunia dan kehidupan lewat tolak pikir agama Islam. Namun lagi-lagi, istilah ini masih melangit dan berada dalam pusaran cerdik pandai dan terpelajar semata.

Seiring berjalannya waktu, istilah ini begitu penting dan mendesak. Sedikitnya bahan materi tentang worldview menjadi penyebabnya. Apalagi kebutuhan ummat untuk melihat realitas dunia begitu besar. Hal ini jika tidak ditanggulangi dengan efektif, akan mengakibatkan kebingungan ummat menyikapi problematika kehidupan. Maka mengarus-utamakan wacana worldview pada tataran masyarakat secara luas menjadi salah satu alternatif dakwah Islam dewasa ini.

Juga terkait asal muasal worldview sendiri, peradaban Islam tidak antipati dengan peradaban Barat. Seperti halnya dengan mekanisme peradaban. Bahwa peradaban lahir saling terpengaruh-mempengaruhi peradaban lain. Meskipun begitu, tidak semua unsur dari peradaban lain diterima maupun ditolak. Ada filter yang digunakan suatu peradaban dalam hal menyerap unsur-unsur peradaban lain. Begitu pula Islam sebagai peradaban dalam menerima unsur-unsur peradaban lain. Dan sebaik-baik filter ialah Worldview itu sendiri. (3 Juni 2020).[]

*Tulisan ini berdasarkan uraian Ust. Anton Ismunanto dalam seri kajian “Apa sih, Islamic Worldview itu?” bagian pertama yang diselenggarakan oleh Rasyidi Circle For Islamic Thought Studies pada hari Ahad 31 Mei 2020 via webinar Google Meet. Merujuk pada penjelasan Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi dan disertai dengan beberapa penukilan data dari makalah beliau yang bertajuk “Islam Sebagai Pandangan Hidup (Asas Bagi Kajian Perbandingan Islam dan Barat” yang disampaikan dalam Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, di Kairo, Mesir, 11-14 Februari 2006. Serta dikayakan dengan beberapa penambahan oleh penulis.

Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq (Alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019, saat ini sedang melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Mesir. Penulis juga merupakan salah satu founder Rasyidi Circle)
Editor: Hafizhan Arhab Juswil 
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
RASYIDI CIRCLE FOR ISLAMIC THOUGHT STUDIES didirikan pada 5 Oktober 2018 sebagai bentuk ikhtiar santri Mu'allimin dalam pengembangan wacana pemikiran dan peradaban Islam di kalangan remaja dan masyarakat umum. Komunitas ini diresmikan oleh Wakil Direktur I Bid. Kurikulum, Dr. Mhd. Lailan Arqam pada kesempatan perdana Dauroh Pemikiran Islam di R. Multimedia Madrasah Mu'allimin.

Ikuti KweeksNews!

107FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -