Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Keputusan Muhammadiyah menerima izin tambang oleh Pemerintah menuai beragam respon dari berbagai kalangan. Hal ini menjadi kabar yang mengejutkan, bahkan bagi warga Muhammadiyah sendiri, terlebih mengingat opini yang sudah berkembang di kalangan warga net bahwasanya Muhammadiyah dapat menjadi “antitesis” terhadap organisasi massa Islam lain yang secara terbuka menerima izin tambang sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo, apalagi jika melihat sepak terjang Muhammadiyah yang sepanjang sejarah hanya fokus pada kesejahteraan masyarakat dan terhindar dari praktik busuk perpolitikan nasional.
Oke, oke. Pembaca mungkin bertanya, apa sebenarnya duduk permasalahan dari keputusan ini? Ada apa dengan tambang? Pertama-tama kita perlu menelusuri dulu latar belakang pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan ini, dilansir dari Kompastv, pemberian izin tambang untuk ormas dilatarbelakangi oleh kunjungan Jokowi ke pesantren dan dialog di masjid-masjid, beliau mendengar keluhan perihal tambang yang hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, yang pada akhirnya direspons dengan Perpres nomor 76 tahun 2024 yang diteken Jokowi pada Senin, 22 Juli 2024. Harapannya regulasi ini bisa memeratakan ekonomi dan keadilan, lebih jauh lagi Jokowi mengatakan bukan ormas yang mengelola tambang melainkan badan usaha dibawah ormas.
Muhammadiyah merespons regulasi ini dengan meninjau dan mengkaji dampak dan manfaat dari pengelolaan tambang ini dan baru disinyalir akan menerima setelah pernyataan Anwar Abbas pada 25 Juli 2024, dan secara resmi menerima setelah Konsolidasi Nasional pada 27-28 Juli lalu. Izin pengelolaan tambang ini menghadapi berbagai penolakan bahkan dari internal Muhammadiyah sendiri. Tambang sendiri merupakan sektor yang sangat kontroversial apalagi mempertimbangkan dampak ekologis terhadap lingkungan, habitat hewan liar, hingga sumber air, belum lagi isu sosial dan hak asasi manusia terhadap masyarakat yang terdampak tempat tinggalnya oleh pembukaan lahan tambang, dan manfaat ekonomi yang tidak sepadan antara kontraktor dan pemilik tambang dengan masyarakat asli, praktik-praktik perpolitikan yang kotor juga menjadi pertunjukan yang menghiasi usaha pertambangan. Dengan melihat berbagai dampak yang berpotensi ditimbulkan izin pengelolaan tambang, sehingga tidak berlebihan jika kita mengatakan hal ini berpotensi melenceng dari cita-cita Muhammadiyah.
Tentu ada banyak sekali pertimbangan atas keputusan ini, salah satunya sebagai bentuk tajdid, dan bahwasanya kegiatan pertambangan (at-ta’dīn) adalah aktivitas mengekstraksi energi mineral dari perut bumi masuk dalam kategori muamalah atau al-umūr al-dunyā (perkara-perkara duniawi), yang hukum asalnya adalah boleh (al-ibāḥah) sampai ada dalil, keterangan, atau bukti yang menunjukkan bahwa ia dilarang atau haram sebagaimana dikutip dari risalah konsolidasi nasional Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menekankan kedudukannya sebagai organisasi massa yang tetap bergerak dalam mensejahterakan masyarakat dengan terus menjaga kegiatan usaha tambang ini tetap non-profit yang keuntungannya akan terus disalurkan untuk mendukung dakwah dan amal usaha Muhammadiyah serta masyarakat luas.
Semua orang bisa merangkai kata, sedemikian indah sehingga orang terbuai akan keindahannya, tapi ketika tiba saatnya membuktikan, tidak semua orang bisa melakukannya. Karena keputusan ini masih berupa kata-kata, apalagi mempertimbangkan segala mudharat aktivitas pertambangan yang sudah benar-benar terjadi, tampaknya sulit bagi Muhammadiyah untuk merealisasikan janji-janji manisnya, keputusan ini juga sarat akan problematika, penunjukan Muhadjir Effendy, Menko PMK kabinet Indonesia Maju, sebagai ketua tim pengelola tambang memantik beragam respon di media sosial, terlebih riwayat pernyataan kontroversialnya salah satunya tentang pemberian bansos terhadap korban judi online. Selain itu, salah satu tokoh yang paling vokal menentang izin tambang Muhammadiyah adalah Busyro Muqoddas, ketua bidang Hukum, HAM, dan Hikmah PP Muhammadiyah yang memiliki latar belakang mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagi saya penolakan dari orang dengan latar belakang pemberantasan korupsi saja sudah mengindikasikan bagaimana resiko praktik kotor yang akan dihadapi Muhammadiyah jika memutuskan terjun di bidang tambang.
Bagaimana Konsolidasi Nasional diadakan secara tertutup di Universitas ‘Aisyiyah juga menjadi perhatian, konsolidasi yang diklaim diikuti oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, majelis, lembaga, biro, dan Organisasi Otonom tingkat pusat, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seluruh Indonesia, Rektor perguruan tinggi Muhammadiyah/’Aisyiyah, dan direktur rumah sakit Muhammadiyah/’Aisyiyah ini langsung menelurkan keputusan berupa menerima pengelolaan izin tambang, tanpa terlihat adanya penolakan sama sekali oleh peserta konsolidasi.
Menurut Sekretaris Hukum, HAM, dan Hikmah PP Muhammadiyah, Ustaz Alfian Dj, yang juga mengajar di Madrasah Mu’allimin berpendapat bahwa Muhammadiyah pasti menerima dengan pertimbangan yang ketat. Karena saat ini, tambang dipegang oleh oligarki. Muhammadiyah ingin mengelola tambang dengan menerapkan nilai-nilai keislaman dan ingin mencontohkan tata cara pengelolaan tambang yang memberikan banyak manfaat. Kalau Muhammadiyah tidak bisa mengelola, maka akan dikembalikan. Jika yakin bisa, maka akan dilakukan. “Bisa saja dikembalikan ke Pemerintah setelah pengkajian selama 1 tahun karena pertimbangan yang matang apabila Muhammadiyah tidak bisa mengelola,” tutur Ustaz Alfian di sela pelajaran Kemuhammadiyahan.
Keputusan besar memang memerlukan pengorbanan yang besar, jika kita hanya menimbang berdasarkan opini publik terhadap Muhammadiyah, sudah tentu keputusan ini adalah blunder besar, tapi kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan, bisa jadi Muhammadiyah berhasil mewujudkan pembaharuan melalui kegiatan tambang. Sebagai kader Muhammadiyah kita harus berperan sebagai penyeimbang, jika apa yang dilakukan Muhammadiyah sesuai dengan nilai maslahat, maka kita ikuti dan dukung, namun jika sudah melenceng dari nilai maslahat, kita wajib mengkritisi hingga bahkan menolak, organisasi tidak layak dibela mati-matian karena ia hanya wadah untuk berkiprah, kader kritis dibentuk bukan untuk menjilat, tapi supaya bersuara saat sesuatu sudah keluar jalur. Muhammadiyah bukan dibentuk untuk menyuburkan ashabiyah, melainkan untuk mempersatukan umat, demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Oleh: Tangguh Yodha Arzugadi
Editor: Haidar Ahmad Zabran Aliyuddin