Setiap hari, kita disuguhi berita tentang bagaimana masyarakat kota bertahan di masa pandemi ini, seolah-olah masyarakat kota lah yang paling terdampak pandemi. Namun, dari sudut pandang berbeda, kita tahu bahwa dampak pandemi tidak saja untuk masyarakat kota. Namun berimbas sampai tatanan urat nadi di desa. Setiap orang akan berusaha menyesuaikan diri, beradaptasi dan melakukan apapun untuk tetap bertahan, sifat dan kodrat manusia teruji disini. Lalu bagaimana dengan pola adaptasi sebuah masyarakat desa yang terpencil?
Cerita ini berawal dari sebuah kegiatan yang dilakukan oleh petani hutan di daerah terpencil, dengan kearifan lokal yang begitu kentalnya. Mereka tinggal bersama alam di sebuah cagar biosfer Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Pandemi yang datang bagai sebuah momok bagi mereka. Banyak larangan yang muncul, sehingga berdampak bagi kehidupan mereka. Namun kehidupan ini tidak bisa berhenti begitu saja. Mereka termenung di tengah banyaknya larangan dan himbauan yang diserukan pemerintah. Lalu? Menyerah bukan sebuah solusi, maka mereka lebih mendekatkan diri ke alam. “Membumi” untuk menjalankan langkah kehidupannya.
Bermula dari sebuah kegiatan lingkungan untuk mempertahankan keberadaan Cagar Biosfer Taman Nasional Lore Lindu, maka pemerintah Indonesia dan Jerman melakukan kerjasama dengan pendanaan dari KFW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau). KFW bersama masyarakat untuk menjaga dan mengembalikan fungsi Taman Nasional Lore Lindu, dan juga dapat menaikkan perekonomian masyarakat sekitar hutan, seiring dengan berjalannya proses menjaga ekologi dan fungsi hutan secara maksimal. Kegiatan ini diwadahi oleh Forest Programme III Sulawesi.
Lalu, di tengah masa pandemi seperti ini, Forest Programme III (FP III), bersama masyarakat dan pemerintah, berdialog untuk mencari solusi yang tepat, agar perekonomian tetap berjalan dengan tetap berfilosofi tanpa merusak dan bahkan berefek pada perbaikan alam. Diskusi yang sangat menarik berpegang pada kearifan lokal diinventarisasi bersama masyarakat, pemerintahan, dan FP III. Kesepakatan dari diskusi tersebut adalah petani sekitar hutan tetap melakukan penanaman sambil memperbaiki lingkungan dengan cara yang dapat mereka pahami, dan mempunyai efek yang nyata untuk jangka dekat, menengah, dan panjang. Hal ini menjadikan tantangan, karena memerlukan gerakan yang cepat dan sederhana dalam masa pandemi ini.
Akhirnya dihasilkanlah suatu gerakan, dimana masyarakat menjadi pelaku utama dalam kegiatan ini. Mulai dari pemilihan bibit, penanaman, pemanenan, hingga penjualan. Lalu, dimanakah peran pihak lainnya? Pihak lainnya berfungsi sebagai pendamping dan juga pembimbing, untuk membangun petani hutan menuju kualitas yang lebih baik.
Selain itu, dihasilkan juga kesepakatan tentang jenis-jenis yang akan ditanam diantaranya dengan penanaman tanaman Kelor (Moringa Oleifera), Pisang (Musa musaceae), Gamal (Gliricidia sepium), Kaliandra (Calliandra sp), Jahe (Zingiber officinale), dan Rumput akar wangi/Vertiver (Chrysopogon zizaniodes). Tanaman-tanaman tersebut dipilih karena mudah menanamnya dan cepat dipanen. Selain itu, masyarakat sudah mengenal baik jenis-jenis tersebut.
Spesies tersebut secara ilmiah bisa digolongkan menjadi tanaman pioner. Sehingga cocok ditanam di daerah-daerah yang kritis, sebagai tanaman awal sebelum menanam spesies lainnya ditanam. Pola ini mengikuti proses suksesi alam. Tanaman pioner sengaja ditanam di lahan-lahan petani hutan, sehingga secara nyata mempunyai efek untuk memperbaiki lingkungan, menciptakan iklim mikro, memperbaiki kesuburan tanah dan menciptakan sekat bakar alami untuk sekitarnya.
Pertanyaan menarik muncul, lalu apa keunikan lain dan keuntungan petani? Dalam jangka menengah, setelah penanaman selesai, kira-kira sebulan dua bulan berikutnya, petani sekitar hutan dapat memanen daun kelor, umbi jahe, buah pisang, atau apapun yang dihasilkan. Sehingga secara otomatis, akan menghasilkan tambahan bagi petani hutan saat menjualnya, karena tren menjaga kesehatan dari mengkonsumsi tanaman herbal menjadi sebuah trending saat pandemi ini. Lalu adakah keuntungan lainnya bagi petani dalam jangka panjang? Tentunya ada, yaitu petani akan secara berkala mendapatkan hasil dan petani dapat mengembangkan model penanamannya. Petani juga diharapkan akan memelihara lebah sebagai penghasil madu saat tanaman-tanaman tersebut berbunga, misalkan bunga Kaliandra.
Dapat disimpulkan, bahwa program pemberdayaan ini berimbas menyambung tali kehidupan masyarakat desa, yang notabenenya mereka dapat melanjutkan kehidupan ditengah pandemi ini dengan cara semakin membumi dengan alam. Mereka juga secara tidak langsung akan menjadi pelaku penggerak perekonomian dan membangun ketahanan pangan. Saat masyarakat kota membeli hasil bumi petani hutan, dengan harga yang disesuaikan dengan situasi saat ini, maka terciptalah bentuk gotong-royong yang unik antara masyarakat desa dan masyarakat kota.
Tidak asing lagi tentang sebuah pepatah “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”, maka kami di sini, di tempat yang jauh, bersama pemerintah dan FP III, melakukan hal itu. Sekali menanam maka perbaikan lingkungan, konservasi Taman Nasional Lore Lindu, menggerakkan perekonomian jangka pendek, menengah, dan panjang terlampaui, plus peningkatan ketahanan pangan. Membumi adalah pilihan petani hutan, dan membumi ini juga dapat diterapkan di mana saja. Kembalilah bercengkerama bersama alam. Lindungilah alam, mengapa tidak?
“Save our Nature” bukan sekedar slogan, namun petani hutan sudah memulainya. Dan kini, saatnya kita mengikutinya.
*Sebuah catatan dari diskusi pagi hari saat WFH.
Oleh: Elang Wardhana Editor: Ahmad Rulim