Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta – Selasa (1/10) kemarin, bangsa ini baru
saja memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang tentunya diperingati tiap 1 Oktober
per tahunnya. Tak elak, adanya Hari Kesaktian Pancasila merupakan akibat dari
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang secara singkat terkait upaya
kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki runtuhnya Pancasila sebagai
ideologi bernegara hingga pada peristiwa puncaknya yakni G30S/PKI, tetapi
alhamdulillāh mereka semua diakhiri dengan kegagalan–akan menjadi ngeri kalau
upaya-upaya beralamat ekstremis itu berhasil. Sehingga, Pancasila ini sebagai
simbol persatuan dan kesatuan bangsa masihlah berdiri tegak dan dapat kita
saksikan untuk keberlanjutan negara dan bangsa ini.
Sayangnya, dalam beberapa waktu belakangan ini–termasuk beberapa tahun
silam–kita dapat melihat secara nyata nilai-nilai Pancasila mulai luntur dalam
penerapannya, baik dari generasi muda hingga generasi tua. Yang membuat Hari
Kesaktian Pancasila hanya sebagai liburan dan numpang lewat saja, tanpa ada
pemahaman kembali mengenai maknanya, serta atas alasan apa kita masih
mempertahankannya–memangnya, tidak capek ya memegang barang dalam waktu
yang lama, tetapi tidak tahu mau buat apa?
Dari deket-deket ini, terdapat pernyataan yang sangat kontroversial dari Kepala
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi yang
menyatakan, “Kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan
kesukuan”. Padahal, sebenarnya tanpa manusia tidak akan ada Pancasila dan tanpa
agama tidak akan ada manusia. Sehingga, bisa dikatakan telah terjadi kesalahan
berpikir di sini.
Yang bernama Pancasila itu–gampangnya–adalah sebuah benda mati berupa
ideologi yang perlu pelaku untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, sehingga Pancasila seakan-akan hidup dan memang dihidupi oleh
manusia yang dalam hal ini bangsa Indonesia. Dan, nilai-nilai yang baru terumuskan
dalam Pancasila, aslinya sudah dikenal lama dalam peradaban manusia melalui nilai
moralitasnya. Yang di masa lalu nilai moralitas ini bangkit, karena kesadaran untuk
beragama.
Sehingga, di sini perlu untuk diperjelas bahwa Pancasila bisa dianggap tidak hadir,
karena manusia tidak menjalankannya. Lantas, untuk menjalankannya dengan apa?
Yakni, dengan jalan berikut: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang
dipimpin kebijaksanaan permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial.
Wong, saat ini saja baik tua atau muda memilih menjadi abangan dalam
beragama. Selanjutnya, jika sila pertama saja sudah begitu diabaikan, apalagisila-sila berikutnya. Semua nilai ini pada akhirnya hanya sekadar tulisan tanpa
perwujudan.
Maka, hendaknya kita introspeksi bersama mengapa kita masih memegang
Pancasila dan apa pentingnya buat kita? Yang mana Pancasila tidak mungkin
bertahan hingga sekarang, tanpa ada manusia. Agar, kita bisa terus memelihara
persatuan dan kesatuan kita hingga generasi turun-temurun mendatang
Oleh : Muhammad Elfateeh Nursyams
Editor : Bianveneida Madiva Khanza