Siang cerah tak berawan, menuju terik siang waktu jam pelajaran terakhir. Wira seorang anak SMA di Yogya berkeinginan setelah pembelajaran hari ini akan pergi ke perpustakaan kota. Pelajaran terakhir saat ini yang ter-favorit untuknya.
Pukul 14.45 tepat pelajaran selesai, menyempatkan diri untuk bertemu guru untuk mengumpulkan tugas.
“Akhirnya setelah ini langsung bisa pergi ke perpus.” Senang hati akhirnya bisa ke perpustakaan.
Perpustakaan yang terletak jauh di pinggir kota membuat Wira tidak dapat selamanya datang mampir. Pada hari ini perpustakaan sedang ramai-ramainya. Wira sedang mencari informasi terkait buku-buku sejarah dan sastra untuk tugasnya di sekolah.
“Apa ya?, sepertinya ini bukan di katalog sini deh.” Asyik rasanya, menelusuri labirin demi harta karun.
Satu persatu dilihatnya tulisan di samping rak, berbagai kategori ditelusuri, siapa tau kan isinya ada yang nyasar jadi deh harta Karun tersembunyi. Ketika melihat ke atas sambil melihat buku antologi puisi, bergeser perlahan sambil tersapu judul-judul indah setiap punggung bukunya.
Brukk…, Seorang wanita jatuh tepat di sampingnya.
“Maaf, aku tidak melihatmu tadi. Sini aku bantu.” Wira merunduk dan membantu mengambilkan buku yang terjatuh.
“Maaf ya, aku tidak bermaksud.”
“Oh, ya. Maaf juga, maaf banget.”
“Eh!?, Aku yang salah. Aku yang minta maaf.”
“Ya, maaf ya.” Ia tanpa salam langsung saja pergi.
“Hey, tunggu.” Heran si Wira, apa tampangku yang menyeramkan ya?
Padahal dia belum sempat menanyakan nama dia. Tapi kalau dilihat wanita tadi berseragam dengan logo sekolah yang sama dengannya. Rasa penasaran yang selalu terpatri di jiwanya memberontak
“Aku harus tau siapa dia. Aku harus minta maaf untuk itu.”
Akhirnya Wira terpana pada satu buku, perlahan menikmati suasana sebulan sekali di perpustakaan. Dia meminjam dua buku, satu buku sejarah Mataram dan buku antologi puisi yang unik dengan penulis yang tidak terkenal.
Cukup sudah mengisi hampa perut. Kini waktunya Wira mengerjakan tugas. Perlahan halaman per halaman dibuka, dari buku antologi puisi tersebut, sedikit usang dan agak termakan kutu buku. Itulah yang membuat Wira tertarik membacanya.
Pada larutan dan campuran bait-bait yang ada, Wira terbelalak akan satu puisi berada di awal halaman. Dituliskannya puisi tersebut untuk dipahami dan dimaknai olehnya sebagai tugas sekolah Minggu depan nanti.
Satu Minggu berlalu, aktivitas sekolah seperti halnya sekolah setiap hari. Membosankan. Tapi baiknya, hari ini dia terbebas dari ujian-ujian yang ada. Bahkan nilai tugas puisinya menjadikan dirinya nomor satu di kelas.
Rasa penasaran yang dulu itu kini kembali hadir, Wira harus memenuhi panggilan itu, saat ia menjatuhi seorang wanita di perpustakaan kala itu. Satu persatu kelas dilewati sambil melihat apakah ada orang yang dimaksud.
“Dimana ya? Kok sepanjang jalan ini gak ada.” Kesal hati mencari, tetapi sabar juga untuk menanti. Wira terpikirkan bahwa bisa jadi ada di perpustakaan kecil di sekolah, mungkin saja.
Itu dia, apa benar, dia?
“Hai, salam kenal. Sedang apa kamu di sini?”
“Oh, e.e.e hai. Salam kenal juga.”
“Kamu pernah ke perpustakaan kota gak?”
“Pernah, sekali.”
“Wah, baru sekali?”
“Iya, baru sekali.”
“Apa kamu yang pernah jatuh di perpustakaan itu?”
“Eh!? Iya, kamu itu.”
“Iya, ini Aku yang menjatuhkanmu.”
“…….”
“Maaf, aku harusnya mencarimu dari kemarin, tapi belum sempat karena banyaknya tugas. Untuk meminta maaf karena saat itu kamu langsung pergi.”
“I.i.iya, aku juga maaf langsung kabur saat itu.”
Kembali ke masa lalu itu nyata. Suasana telah kembali pada saat itu. Tatap sayup- sayup berisyarat.
“Kalau gitu, boleh aku tau namamu?”
“Oh, ya. Nama aku Ana.”
“Oh Ana, aku Wira.”
“Kamu kelas berapa Na?”
“Aku kelas 10 medis.”
Pada saat ini, menjadi saat-saat yang berarti bersama. Berminggu-minggu mereka bermain bersama, canda tawa, berburu harta Karun bersama pun di perpustakaan.
Sampai Wira sadar bahwa memang selama ini bahwa hal tersebut tak pernah dialami semasa hidupnya. Debat batin terkesima akan hati yang merana.
Di dalam perpustakaan seperti agenda bulanannya, Wira berusaha menemui Ana untuk mengembalikan buku bersama, janji telah diutarakan jauh seminggu lalu tuk bertemu. Masih menunggu,
10 menit, 15 menit, sampai 1 jam berlalu
Tak kunjung terlihat. Sudah berlarut biru menjadi jingga, tak kunjung datang juga. Kenapa ya? Ah sudahlah, aku langsung kembalikan saja.” Sudah lelah dalam menunggu, khawatir menyelimuti.
Keesokan harinya, di sekolah Wira mencari ke kelas yang pernah ia tahu sebagai kelasnya Ana.
10 Medis. Tidak ada. Mencoba menanyakan kepada temannya, tidak ada yang tau.
Lantas ke manakah engkau?
Mengapa?
Bagaimana?
Apa yang salah?
Apakah baik-baik saja?
Seluruh pertanyaan muncul tak henti, pusing bertatap gelap hampa. Terduduk lesu memandang tulisan yang tertempel di bingkai cermin meja belajar
Hey langit!
Apakah hujan ini turun karenamu?
Mengapa langit?
Apakah tanah tidak tersakiti oleh butiran hujan itu?
Sayup angin melewati telinga
Tak ada jawaban didengar
Gundah gulana pikiranku
Hey tanah!
Apakah engkau tau kenapa langit hujan?
Tidak tersakiti kah engkau?
Apa perlawananmu tanah?
Gesekan rumput dibasahi rintik
Kecil suara paduan katak
Jelas tak terjawab bagiku
Hey diriku!
Apakah kamu acuh pada dirimu?
Bagaimana kamu menghormati dirimu?
Apa harus aku bertanya?
Tak ada hari selain esok
Tak ada harta selain nyawa
Tak ada yang jelas bagiku
Terlelap.
Pagi kembali, kali ini penuh sayu di mata. Yang hanya terpikirkan oleh Wira yakni mencari, mencari, dan mencari keberadaannya. Cukup sudah Wira merenungi.
Pergi kesana kemari, tanpa letih. Hanya satu yang dinanti untuk kembali. Guru, teman dekat, kerabat, bahkan bapak tukang kebun. Semua ia tanyakan akan keberadaan si Ana. Tak salah orang tua Wira memberikan nama yang dalam bahasa jawa berarti pejuang.
Sampai pada titik tali merah, salah satu kerabat dekat Ana ia temui di rumahnya.
“Permisi, Bu. Saya mau tanya, Ibu kenal dengan namanya Ana?”
“Ana? Siapa Ana?”
“Teman sekolah saya, di SMA Negeri kota. Perempuan tinggi, rambutnya lembut panjang terurai.”
“Pake kacamata gak?”
“Iya, Bu.”
“Oh, Arsyana, saya kira siapa, kok gak kenal namanya Ana.”
“Oh, ternyata. Baguslah kalau begitu, ibu tau gak dimana dia?”
“Dia tuh sedang bersiap pindahan.”
“Pindah!?”
“Iya, pindah keluar kota, eh. Provinsi malahan.”
“Pindah pulau gitu?”
“Iya, pindah pulau, mau ke Kalimantan katanya.”
“Sekarang lagi di mana Bu?”
“Oh, sudah berangkat tadi sepertinya menuju bandara.”
“Apa!?”
Antara bingung sedih dan tak mau menyerah.
“Makasih, Bu. Saya pamit dulu ya.”
“Oke, Nak. Hati-hati ya, semoga berhasil.”
“Apa ini semua, mengapa ini semua terjadi. Biarkan aku menemuinya walau hanya satu terpaan angin, Aku ingin menghormati perasaanku.”
Tekad tak habis habisnya. Wira hanya bisa menggunakan layanan publik yakni bus antar kota, yang di mana lokasi bandara yang cukup jauh. Menunggu dengan sabar dan gelisah. Rute demi rute dilewati, hanya satu yang ia pikirkan di jalan, semoga Aku sampai sebelum ia pergi.
Sampailah sudah Wira di depan pintu utama bandara. Ia diberitahu bahwa Ana akan menaiki pesawat tujuan Samarinda. Melihat serius ke arah papan informasi keberangkatan, tak terlihat satu pun yang ada tujuan ke Samarinda.
“Permisi, Mbak.”
“Ya, Mas. Ada yang bisa Saya bantu?”
“Ada pesawat yang keberangkatannya ke Samarinda gak ya?”
“Oh, sudah tidak ada Mas, itu yang baru saja terbang yang terakhir.”
Degg….
Tak berkata, diam dari ribuan kata. Perlahan ia jalan menjauhi petugas bandara tadi sambil menuju arah jendela besar. Di sana menunjukkan pesawat yang telah lepas landas dari Yogyakarta menuju Samarinda.
Brukk….
Keesokan paginya, Wira terbangun dalam pakaian berwarna biru. Rupanya ia telah di rumah sakit, disuntikkan air infus di tangannya.
“Permisi, Mas. Saya ganti dulu ya air infusnya.”
“…….”
“Mba, ini dimana ya?”
“Ini di Rumah Sakit Bersama Kota.”
“Kenapa Saya bisa di sini Mbak?”
“Kemarin Mas pingsan di Bandara, terus Mas di bawa kemari dengan ambulans sama keluarga nya Mas.”
“Keluarga?”
“Ya, Mas. Keluarga nya Mas, siapa lagi kalau bukan keluarga Mas nya.”
Tapi kan Wira anak rantau, sama sekali tidak ada kenalan kerabat di kota. Siapa yang mengantar kalau begitu? Siapa yang membiayai biaya rumah sakit ini?
Mata Wira tertuju pada jendela yang terbuka, memperlihatkan langit cerah. Di bawahnya terdapat meja kecil dan terletak pot bunga berisi tiga bunga gerbera dan ada sepucuk surat di atasnya.
Kini Aku mengerti, mengapa kau selalu terpatri dalam sinar mentari hari. Dalam hal ini Aku ucap terima kasih yang tak bisa aku sampaikan secara mata ke mata.
Ini bukan pilihanku, tapi ini takdir. Semua yang ditakdirkan bukan berarti berakhir. Aku suka caramu bersama, senang selalu ada di sisimu, tetapi hal itu akan menjadi dinanti. Oh, ya. Aku juga sebenarnya memandangimu jauh dan sekarang pun juga. Ternyata bagus juga seleramu dalam puisi itu, hehehehe. Kau ternyata belum tau penulisnya siapa kan? Biar ku jawab puisimu kecintaan mu itu.
Langit Berbisik
Hujan menurunkan air
Mengisi retak keringnya tanah
Menyuburkan tanah
Kolam diisi ikan
Langit dihiasi burung
Laut berbagi dengan sungai
Semua itu keindahan
Manusia menjadi penjaga
Dan perasaan menyempurnakan
Arsyana.
Oleh: Musyaffa Ghozie
Editor: Mazaya Abdillah