Badai semalam begitu memporak-porandakannya.
Entah itu badai ke berapa yang menerpanya.
Dalam diam, ia menjerit di balik lara yang ia tampung dalam cawan-cawan kesabaran yang tak terhitung jumlahnya.
Sambil memungut puing-puing asa yang tersisa.
Kakinya seakan tak sanggup lagi berpijak.
Sudah lama ia berdiri di sana berteman ombak.
Terhempas ke lautan, terombang-ambing dan kembali lagi ke bibir pantai.
Berulang, seperti sebuah permainan yang tak kunjung usai.
Tersirat gurat lelah dalam tatapannya yang bersembunyi dibalik gelap malam.
Nyala-nyala api dalam maniknya seolah padam.
Bagaimana tidak, berkali-kali ia hampir tenggelam.
Tangisnya redam, kalah oleh debur ombak yang saling baku hantam.
Ia duduk beratapkan langit berpendar purnama.
Menyatukan diri dengan semestanya.
Menyemai dingin hujan yang ia tampung dalam setangkup harapan.
Bersama pekat yang menjadi kawan sepenanggungan.
Bagaimana mereka menjalaninya sementara ia mempertanyakannya.
Tentang sebuah kata “bahagia”, penyiratan makna yang mengharuskan manusia merasa.
Takdir telah memilihnya memasrahkan hati pada pencipta.
Percaya, tiada gulita yang tak berganti indah arunika.
*Pemenang lomba #YukMenulis pekan pertama yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.
Oleh: Dian Fibry