Terkadang kita menemui banyak kejadian yang melibatkan interaksi sosial. Ada kalanya kita menemui hal-hal yang kita anggap tidak sopan, tidak sesuai norma. Namun, ketika kita ingatkan justru para pelaku ini lebih keras daripada yang mengingatkan. Dalam benak sering terpikir, ke mana perginya etika.
Yap, etika tidak pergi ke mana-mana. Mereka saja yang mulai mengikis nilai-nilai norma dan etika. Tak jarang, penilaian lumrah dan logis terhadap sesuatu dikatakan hanya konstruksi masyarakat konservatif. Padahal, hal-hal tersebut baik dan tidak merugikan siapapun.
Entah apa yang ada di pikiran orang-orang itu. Menggigit syari’at dengan gigi geraham saja dikata radikal, kadrun, atau mabok agama. Bahkan parahnya lagi, orang-orang yang setia pada agamanya dikatai katrok, fanatik, konservatif, dan banyak sekali cibiran lainnya.
Apa memang definisi “etika” sudah berubah? Atau mereka mendefinisikannya dengan yang lain? Ah, sepertinya seru kalau kita ulas.
Banyak sekali dari kita yang menyuarakan kebebasan, freedom. Kebebasan berbicara, kebebasan berbuat, dan banyak lainnya. Namun, ketika sudah mencapai kebebasan, ternyata banyak juga yang tidak dapat menjadi dewasa dalam menyikapinya. Justru kelakuan mereka yang semena-mena tidak menggambarkan perilaku kebebasan. Kebebasan sendiri sudah banyak yang mendefinisikan sebagai dua hal, notabene dibagi menjadi kebebasan positif dan kebebasan negatif.
Kebebasan positif adalah kebebasan diri dalam melakukan hal yang kita inginkan. Dalam perspektif Islam, tentunya kebebasan ini didasari oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam Agama Islam. Sebagaimana kamu bebas bersuara, mengkritik, dan memberikan komentar. Namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbuat demikian. Mulai dari etika berbicara, cara mengutarakan pendapat yang baik, dan lain-lain yang sudah lumrah dalam keseharian kita. Kita bebas melakukan apapun, selama tidak menyalahi aturan dan kaidah Agama Islam.
Kebebasan negatif adalah kebebasan yang dikarenakan tidak adanya koersi, atau paksaan. Kebebasan Negatif ini, seringkali menimbulkan perasaan bebas sebebas-bebasnya karena tidak diawasi. Seperti halnya dalam keseharian kita ketika orang tua kita pergi ke luar kota. Kita merasa bebas di rumah, bebas melakukan apa saja yang kita mau selama orang tua kita belum kembali. Hal ini yang harus jadi perhatian karena rusaknya etika, hilangnya norma bisa jadi dimulai karena merasa tidak ada yang mengawasi dan memberikan paksaan untuk menaati sebuah peraturan atau syari’at.
Terlepas dari etika sopan-santun yang lumrah ditemui, ada juga etika dalam berbicara, mempelajari ilmu, dan banyak sekali lainnya yang telah diterapkan dalam Islam. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW tidaklah diutus melainkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Janganlah kita terpengaruh dengan arus liberal, atau kebebasan yang tak berdasar. Jangan sampai dengan kita menganut kebebasan, kita melupakan etika. Miris sekali ketika menemukan sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai pembebas, namun dengan seenaknya menafsirkan dalil demi kepentingan golongannya.
Ada orang yang mengatakan, “Lihat tuh, negara A maju tapi mereka bukan orang yang taat beragama.” Ya jelas. Agama itu sebagai pegangan hidup, tempat kembali. Walaupun mereka maju, apakah mereka memiliki akhlak yang baik? No, beberapa negara maju malah mencerminkan konservatisme mereka. Seperti di Prancis, mereka mengatakan pelarangan hijab adalah bentuk pembebasan. Padahal, kata “pembebasan” tersebut hanyalah embel-embel mereka untuk menutupi islamophobia dan betapa kolotnya pemikiran mereka. Maju itu karena gigih mengembangkan ilmu pengetahuan, gigih mengembangkan ekonomi, tentunya sesuai dengan aturan-aturan dan kaidah dalam agama.
Sama saja apabila ekonomi maju tapi tidak berlandaskan kaidah agama. Apa enaknya harta yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang haram hukumnya? Atau apa gunanya menyalurkan dana pada hal yang tidak jelas asal-usul dan hukumnya? Apa kita mau, hal-hal yang berhubungan dengan kita, ternyata hulunya dari sesuatu yang haram?
Hidup hanya sementara. Waktu terus berjalan. Dan banyak sekali orang yang mendefinisikannya sebagai aji mumpung; “Mumpung seh urip. Ayolah dolan, menikmati hari.” Sementara mereka lupa bahwa ada kewajiban dan utang-utang yang harus dilunasi pada Sang Pencipta. Ayolah, norma agama sudah jelas, kok masih saja ditentang.
Seharusnya sebagai muslim yang baik, sadar akan keganjilan-keganjilan ini. Semua kegiatan yang halal, pasti akan menghasilkan hati yang lega, dan insyaAllah akan diberkahi di kemudian hari.
Hilangnya kepekaan, hilangnya kesadaran akan akhlak dan moral, sepertinya sudah mulai membumi. Seringkali kita menemui, ketika seseorang diingatkan, lantas dia berkata, “Urus saja urusanmu, memangnya kamu sudah jelas bakal masuk surga?” Cacat logika semacam ini perlu dilibas habis. Cabut sampai ke akar-akarnya.
Sesungguhnya Allah Swt. membenci perkataan seperti ini. Jelas-jelas diajak untuk memperbaiki diri. Sama-sama belajar menjadi lebih baik untuk mencapai rida-Nya, kok malah dicibir. Kan aneh.
Pesan saya sebagai penulis, marilah kita kembali ke jalan Allah. Terlepas mazhab/manhaj mana yang kamu ikuti, ambil semua hal baik dan buang hal-hal yang buruk darinya. Namun, tetap berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. InsyaAllah kita semua akan mencapai kenikmatan abadi di surga-Nya. Aamiin.
Oleh: Faried Akbar S. Editor: Ahmad Rulim