Manusia tidak mungkin hidup tanpa membuat keputusan. Semenjak kita lahir dan mengenal dunia ini, tanpa kita sadari keputusan demi keputusan terus kita lakukan. Misal disaat kita mulai bangun tidur, kita sudah diberi pilihan untuk bangun dari tempat tidur serta memulai segala aktivitas atau memilih untuk melanjutkan tidur lagi. Ketika kita ingin berangkat sekolah, kita bisa memutuskan apakah ingin berangkat menggunakan kendaraan atau dengan berjalan kaki. Ketika kita ingin makan, kita bisa memilih ingin memakannya dengan tangan kanan atau tangan kiri. Serta contoh-contoh lainnya. Dengan demikian, keputusan demi keputusan selalu hadir dalam kehidupan kita. Bahkan seseorang yang dalam hidupnya tidak pernah melakukan aktivitas apapun, entah itu makan, minum, bekerja, atau yang lainnya, tetap saja orang tersebut sudah dinilai bahwa dirinya sudah mengambil keputusan. Keputusan apa itu? Yaitu dia mengambil keputusan untuk tidak melakukan aktivitas apapun dalam hidupnya. Terdengar sedikit rumit, tetapi memang begitulah nalarnya.
Sudah barang tentu ketika seseorang mengambil atau memilih sebuah keputusan, pasti memiliki dasar-dasar apa yang membuat dia mengambil keputusan tersebut. Bagaimanapun keputusan yang seseorang pilih, tentu saja berdasarkan pada dasar yang dianggapnya benar. Apabila dasar tersebut dianggapnya tidak benar atau kebenarannya diragukan maka tidak mungkin seseorang memilih keputusan tersebut. Nah, dasar-dasar itulah yang dinamakan “keyakinan”. Mengapa orang memilih berangkat sekolah menggunakan kendaraan? Karena dia meyakini bahwa menggunakan kendaraan akan lebih cepat dan lebih efisien ketimbang dia berjalan kaki. Mengapa orang memilih untuk bangun tidur serta memulai segala aktivitasnya? karena dia meyakini bahwa jika beraktivitas akan membuat dirinya lebih sehat ketimbang melanjutkan tidur.
Keyakinan-keyakinan tersebut tidak mungkin didapatkan dan dianggapnya benar apabila tidak ada “bukti-bukti” yang mendukung dan membenarkan bahwa keyakinannya itu benar. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menyeberang jalan raya yang begitu ramai, tentu saja dia akan berhati-hati saat menyeberanginya. Mengapa demikian? Karena dia meyakini apabila dia tidak hati-hati saat menyeberang, risiko yang mungkin didapat adalah tertabrak kendaraan. Mengapa dia bisa meyakini risiko tersebut? Karena dia sudah mengetahui bukti-bukti yang menjelaskan bahwa banyaknya kasus tertabrak kendaraan disebabkan ketidakhatian korban ketika menyeberang jalan. Akhirnya akal orang tersebut merespons bukti-bukti yang ada, kemudian menjadikannya sebagai keyakinan yang dianggap benar. Maka di sinilah pentingnya suatu “bukti” untuk mendukung dan membenarkan apa yang hendak diyakini seseorang.
Contoh yang lain misalnya, ketika kita bangun tidur kemudian melihat sekitar rumah kita basah dan juga satu kota pun basah, itu menandakan bahwa hal yang paling mungkin terjadi adalah adanya hujan di malam hari atau saat kita tidur. Namun, bisa saja kita berpikir ada orang yang sengaja menyirami satu kota penuh, tetapi hal tersebut lebih mustahil. Adanya keadaan basah itulah yang merupakan bukti dari adanya hujan. Jadi, kita tidak perlu melihat langsung adanya hujan untuk mempercayai bahwa sudah terjadi hujan, tetapi hanya dengan melihat bukti yang dihasilkan dari adanya hujan, yaitu basah. Logika yang sama dipakai ketika seseorang Arab Badui ditanya tentang keberadaan unta. Maka mereka menjawab, “Tidak perlu melihat unta untuk membuktikan adanya seekor unta karena dengan adanya kotoran unta saja sudah membuktikan adanya unta.” Tentu logika tersebut sangat bisa dipahami oleh orang yang berakal, maksudnya orang yang benar-benar menggunakan akalnya untuk berpikir. Karena sejatinya setiap manusia sudah diberi akal oleh Allah, hanya saja tidak semua manusia menggunakannya dengan baik.
Maka cara orang yang berakal untuk mengetahui dan memahami adanya Tuhan juga bisa menggunakan logika yang serupa. Hal tersebut pernah terjadi ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah didatangi oleh beberapa orang zanadiqah, mereka yang mengingkari wujud Allah ‘Azza wa Jalla sebagai Sang Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta . Mereka mengajaknya berdebat tentang hakikat keberadaan Tuhan yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
“Biarkan sejenak aku di sini,” kata Sang Imam, “sebab aku sedang memikirkan apa yang baru saja disampaikan kepadaku.”
“Apakah itu?” tanya mereka.
“Bahwa ada sebuah bahtera yang berlayar lagi sarat dengan barang muatan dan tak ada seorang pun yang menjaga, mengendalikan, dan mengarahkannya. Namun demikian, kapal itu tetap melaju dengan lancar, menembus badai, menerjang ombak, dan menghadapi topan meski tanpa nahkoda. Ia terus melaju dengan tenang dan selamat sampai tujuan tanpa seorang awak yang memandunya.”
“Ini adalah hal yang tak patut dikatakan oleh orang berakal,” sahut mereka. “Bagaimana mungkin ada kapal berlayar tanpa awak dan nahkoda?”
“Aduhai kalian,” timpal Imam Abu Hanifah, “Jadi apakah menurut kalian jagat raya yang demikian tertata penciptaannya, silih berganti malam dan siangnya, serta teratur pengisarannya ini bisa selamat dari kekacauan dan kehancuran jika tidak ada Yang Mencipta dan Mengendalikannya?” Maka mereka semua diam terbungkam.
Senada dengan Imam Abu Hanifah, ada seorang profesor ahli fisika asal Amerika, Roger Penrose mengatakan, “The odds that the entire universe is as orderly as our galactic neighborhood to be in 1/10^10^123, a number whose decimal representation has vastly more zeroes than the number of fundamental particles in the observable universe.” (Emperor’s New Mind, page 341 – 344).
Berdasarkan data tersebut, Roger Penrose memberikan jawaban kepada kita bahwa probabilitas seluruh alam semesta tercipta secara kebetulan adalah 1/10 pangkat 10 pangkat 123. Angka yang representasi desimalnya memiliki angka nol yang jauh lebih banyak daripada jumlah partikel fundamental di alam semesta yang dapat diamati. Maka sangat tidak mungkin segala sesuatu di alam semesta ini yang begitu teratur dan tertata rapi serta indah terjadi secara kebetulan tanpa adanya Yang Mencipta dan Mengendalikan yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian, dari segala penjelasan di atas, mulai dari Imam Abu Hanifah hingga Roger Penrose, yang sudah cukup jelas dalam menguraikan bukti-bukti yang masuk akal dan dapat dibenarkan sehingga bisa menjadi dasar dan keyakinan bagi seseorang agar memercayai bahwa Tuhan itu ada, God Does Exist and God Must Exist.
Sebenarnya akal yang dimiliki manusia dapat memandunya untuk menemukan Tuhan. Hanya saja, kadang manusia merasa malas, ditambah dengan godaan setan yang selalu berusaha menyesatkan manusia, sehingga hanya sampai pada kesimpulan “Tidak ada Tuhan”. Sehingga kalimatnya berbunyi “Laa ilaaha”, sedangkan kalimat syahadat yang diajarkan Islam tidak berhenti sampai situ. Islam mengajarkan Laa ilaaha illaallah “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Maka tidak heran jika mereka yang menggunakan akalnya tetapi hanya sampai setengahnya disebabkan rasa malas menjadikan mereka seorang ateis.
Oleh karenanya, Allah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul-Nya, untuk memandu manusia agar mereka menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, menadaburi tanda-tanda kebesaran-Nya, serta menafakuri berbagai macam ciptaan-Nya. Hal ini terbukti didalam Al-Qur’an yang berulang kali menyindir manusia dengan kalimat “Afalaa ta’qiluun”, “Afalaa tatafakkaruun”, “Afalaa tadzakkaruun”, dan lain sebagainya. Sindiran-sindiran tersebut menegaskan bahwa akal memiliki kedudukan yang fundamental dalam menjadikan seseorang beriman atau kafir.
Sebegitu pentingnya fungsi akal yang diberikan Allah kepada manusia, tetapi tidak semua manusia menggunakan dan memanfaatkannya semaksimal mungkin sehingga malah menjerumuskan mereka menjadi ateis. Itulah mengapa manusia disebut sebagai makhluk sempurna karena diberikan akal yang dengannya dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang hak dan yang batil, mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang oleh Allah.
Maka tidak heran jika kewajiban beragama hanya bagi orang yang berakal, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa, “Agama itu akal, tidak beragama orang yang tidak berakal.” Terlepas dari perdebatan lemah atau tidaknya hadis tersebut, tetapi maknanya memiliki kesamaan dengan QS. Muhammad ayat 19 yang artinya: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah.” Berdasarkan ayat itu, maka untuk mengakui dan meyakini adanya Tuhan Allah ‘Azza wa Jalla, seseorang harus mengawalinya dengan ilmu atau pengetahuan, dan pengetahuan hanya didapat dengan menggunakan semaksimal mungkin akal yang sudah Allah berikan kepada manusia. Hal tersebut juga senada dengan seorang ulama dan guru besar Universitas Al-Azhar Kairo, Syaikh Mutawwali Asy-Sya’rawi yang mengatakan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak rida jika diibadahi dengan kebodohan. Maka Dia mewajibkan ilmu atas kita dalam mengenal-Nya, menyembah-Nya, menaati-Nya, dan melaksanakan aturan-aturan-Nya di segenap kehidupan kita.”
Tahap selanjutnya setelah kita mengakui adanya Tuhan yaitu Allah ‘Azza wa Jalla adalah mengimaninya kemudian melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Namun, masih ada saja orang yang masih mempertanyakan di mana Allah, bagaimana bentuk-Nya, seperti apa wajah-Nya, dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bisikan setan yang hendaknya dihindari oleh seorang muslim. Di sisi lain, akal yang Allah berikan kepada kita sifatnya terbatas. Jika mata kita memiliki batas dalam melihat, telinga kita memiliki batas dalam mendengar, fisik kita memiliki batas dalam melakukan aktivitas, maka begitu juga dengan akal kita. Ilmu yang Allah berikan kepada kita hanyalah sedikit dibanding dengan ilmu yang dimiliki oleh-Nya. Sungguh tidak akan cukup apabila seluruh lautan di muka bumi ini dijadikan tinta untuk menuliskan segala ilmu Allah ‘Azza wa Jalla. Maka sangat tidak mungkin bagi kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cukuplah bagi seorang muslim untuk meyakini dan mengimani apa-apa yang berkaitan dengan dzat Allah sebatas yang dijelaskan di dalam wahyu tanpa mempertanyakan apalagi memperdebatkan. Disitulah fungsi iman, yaitu untuk menjangkau hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal.
Tidak dapat dipungkiri, apabila seseorang ingin benar-benar mengenal Tuhannya yaitu Allah ‘Azza wa Jalla, maka iman dan akalnya harus selaras dan saling bergantung satu sama lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Buya Hamka bahwa, “Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri.” Akhir kata, mempelajari tentang Tuhan itu bukan mempelajari tentang dzat-Nya, tetapi mempelajari Tuhan itu tentang sifat-Nya (Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain sebagainya). Karena sifat Tuhan adalah satu-satunya bagian yang bisa dipelajari, sedang dzat Tuhan, akal manusia tidak akan pernah sampai untuk memahami. Dan siapakah Tuhan yang dimaksud? Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahua’alam bisshawab.
*Disari-narasikan dari syarahan Assoc. Prof. Dr. Anis Malik Thoha dalam seri kajian “Shortcourse Islamic Worldview” yang diselenggarakan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) pada hari Sabtu, 18 Juli 2020 via webinar Zoom Meeting. Disertai dengan beberapa penukilan data dari buku karya Assoc. Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi yang berjudul “Minhaj”, buku karya Ust. Salim A. Fillah yang berjudul “Lapis-Lapis Keberkahan”, serta kajian Ust. Felix Siauw dengan judul “Menjawab Tuduhan Agama & Tuhan itu Konspirasi” pada hari Jum’at, 8 Mei 2020 via Youtube.
Oleh: Satria Yoka Priyono (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2020) Editor: Qonuni Gusthaf Haq