Dahulu kala, di masa ketika gunung masih bisa berbicara dan sungai membawa suara para dewa, hiduplah seorang ksatria bernama Arjuna. Ia dikenal bukan hanya karena panahnya yang tak pernah meleset, tapi juga karena hatinya yang tenang seperti air.
Rakyat memanggilnya “penjaga langit”, karena setiap langkahnya selalu membawa ketenangan. Ia tak pernah berbicara banyak, tapi semua tahu — ketika Arjuna turun tangan, dunia seakan ikut menahan napas.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Suatu hari, kerajaan Amarta dilanda musim kering yang panjang. Tanah mulai merekah, sungai menyusut, dan angin hanya membawa debu. Hujan tak turun berbulan-bulan. Langit terlihat kosong, birunya memudar menjadi abu-abu pucat. Burung-burung pergi, daun berguguran sebelum waktunya, dan aroma tanah basah yang dulu akrab kini tinggal kenangan.
Di pasar utama kerajaan, rakyat mulai gelisah. Hujan yang tak kunjung datang membuat semua orang kehilangan harapan.
Pedagang: “Air di sumur barat tinggal sejengkal! Aku harus menunggu dua malam hanya untuk satu kendi.”
Ibu muda: “Anakku demam, tapi air sudah habis. Bahkan air mata pun terasa kering.”
Prajurit penjaga: “Tenanglah! Raja sedang memohon doa di kuil, pasti dewa akan mendengar.”
Orang tua: “Kita sudah berdoa setiap hari, tapi langit tetap diam. Mungkin dewa sudah lupa pada manusia.”
Orang-orang mulai saling menyalahkan. Ada yang menuduh pendeta tak cukup suci, ada yang bilang ini kutukan. Di beberapa desa, sumur-sumur dijaga prajurit, dan orang-orang harus antre panjang hanya untuk setetes air. Di jalan, wajah rakyat terlihat kusam — bukan hanya karena debu, tapi karena kehilangan harapan.
Di tengah keresahan itu, para pendeta datang ke istana membawa kabar. Mereka berkata, hujan tak akan turun sebelum seseorang memanah awan suci di langit tertinggi, tempat para dewa menyembunyikan sumber air dunia. Tidak ada manusia yang berani mencobanya. Gunung tempat awan itu berada dikelilingi badai dan dijaga oleh makhluk dari langit.
Tapi nama Arjuna segera disebut.
Malam itu, ia berdiri di pelataran istana. Raja dan rakyat berkumpul di sana, menatapnya dalam diam. Arjuna tak berkata banyak. Ia hanya melihat langit yang kering dan berkata pelan:
Arjuna: “Kalau hujan tak mau turun, biarlah aku sendiri yang menjemputnya.”
Beberapa orang menunduk, ada yang meneteskan air mata. Seorang anak kecil memecah keheningan.
Anak: “Kau mau ke langit, Tuan Arjuna?”
Arjuna (tersenyum): “Aku hanya ingin membawa pulang hujan untuk kalian.”
Ia mengambil busurnya, Gandewa, yang sudah menemaninya sejak muda. Busur itu bersinar samar di bawah cahaya obor. Arjuna lalu menunduk, menyentuh tanah yang kering, dan berdoa dalam hati. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar ujian kekuatan, tapi juga ujian keyakinan.
Selama tujuh hari tujuh malam, Arjuna mendaki gunung tertinggi di Amarta. Hari pertama, ia menghadapi angin panas yang mengguncang tubuh. Hari kedua, kabut pekat menutup jalan, membuatnya buta arah. Hari ketiga, bayangan raksasa muncul dari kegelapan, mencoba menghentikannya.
Namun Arjuna tak berhenti. Setiap kali jatuh, ia bangkit lagi, mengingat wajah rakyatnya yang haus di bawah sana.
Di malam ketujuh, langit di atasnya mulai bergetar. Ia tiba di puncak tertinggi, di mana udara begitu tipis hingga setiap napas terasa berat. Di sana, di tengah cahaya samar, ia melihat awan suci — berwarna keperakan, berdenyut lembut seperti jantung langit. Cahaya keemasan berputar di sekelilingnya, dan suara halus bergema di udara.
Suara dari langit: “Manusia kecil, mengapa kau datang ke sini? Langit bukan tempatmu.”
Arjuna: “Aku datang bukan untuk melawan, tapi untuk memohon. Bumi sekarat, rakyatku hampir kehilangan harapan.”
Suara itu: “Kau pikir satu panah bisa memanggil hujan?”
Arjuna: “Bukan panahku yang kuat, tapi doa orang-orang di bawah sana.”
Ia kemudian menegakkan tubuhnya, memejamkan mata, dan berdoa kepada Dewa Indra.
Arjuna: “Jika panah ini gagal, biarlah jiwaku ikut hilang bersama angin.”
Busur Gandewa ia tarik perlahan. Panahnya bergetar, memancarkan cahaya yang semakin terang. Lalu ia lepaskan.
Anak panah itu melesat menembus langit. Suaranya menggelegar, berubah menjadi petir yang membelah awan. Langit seketika bergetar, cahaya putih menyebar, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, hujan turun.
Dari langit yang terbelah, air jatuh deras ke bumi. Sungai kembali mengalir, tanah yang retak mulai menutup, dan udara dipenuhi aroma tanah basah. Di bawah sana, rakyat Amarta bersorak, menangis, dan berdoa. Anak-anak menari di tengah hujan, orang-orang menengadah, seolah menyapa langit yang akhirnya terbuka kembali.
Namun Arjuna tak pernah turun lagi dari gunung itu.
Ketika para prajurit mencarinya, yang mereka temukan hanyalah busur Gandewa, tertancap di tanah, menyala lembut di bawah hujan. Tak ada tubuh, tak ada jejak — hanya keheningan dan air yang terus turun.
Sejak hari itu, orang-orang percaya Arjuna tak mati. Ia menjadi bagian dari langit, menjaga agar hujan selalu datang tepat waktu. Kadang, di malam badai, beberapa orang bersumpah mendengar suara panahnya berdesing di antara petir.
Tetua desa: “Selama langit masih biru, Arjuna belum pergi. Ia hanya menunggu saat bumi kembali memanggilnya.”
