Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta— Jam kosong selalu saja disukai oleh siswa. Adanya jam kosong entah karena guru yang sakit atau izin sudah seperti kejutan besar bagi siswa. Siswa biasanya merayakan jam kosong ini dengan mengobrol, bermain, dan melakukan hal random lainnya.
Namun, dibalik itu semua, terdapat sebuah ironi mengenaskan yang menggambarkan kualitas pendidikan guru di Indonesia. Ironi di mana belajar yang seharusnya menjadi kebutuhan siswa, malah menjadi hal yang membuat anak trauma. Banyak kasus jam kosong di Mua’llimin yang bisa kita lihat menggambarkan bagaimana kualitas oknum guru di sana.
Suatu hari, pelajaran dari seorang guru kosong karena suatu alasan. Dalam caranya beliau mengajar, ia memaksakan model pembelajaran pada zamannya diterapkan pada masa kini yang membuat siswa keteteran dalam mengikuti pembelajarannya. Sehingga, terbentuk tembok penghalang antara pemahaman guru dan peserta didik. Beberapa siswa mencoba menerima model pembelajaran seperti ini, tetapi ada juga yang menolaknya dan memilih tidur dan tidak peduli.
Beliau dalam memberikan tugas kepada siswa juga terkesan terlalu memaksakan, dikarenakan tugas yang diberikan tidak dijelaskan dengan terang oleh beliau. Sehingga, pada saat pelajaran beliau kosong, para siswa merayakannya dengan mengobrol ataupun dengan tidur.
Pada situasi ini, siswa menjadi korban kuno nya pendekatan mengajar yang digunakan guru. Hal itu menyebabkan siswa malas belajar. Masalahnya, satu guru mengajar puluhan siswa. Lalu, bagaimana jadinya jika ada lebih dari satu guru yang mempunyai keunikan seperti ini? Tentunya akan berimbas pada sebagian besar siswa di sekolah tersebut.
Kunonya pendekatan yang digunakan guru dalam mengajar siswa tersebut jika berlangsung dalam jangka panjang, akan mempengaruhi mental siswa dan menjadikannya trauma akan belajar.
Sayangnya, siswa bersekolah selama enam tahun. Tentunya dalam enam tahun proses pendidikan tersebut, anak setiap hari bertemu guru dengan model mengajar seperti itu. Masalah besarnya, satu guru mengajar puluhan siswa di sekolah tersebut. Lalu, bagaimana jadinya jika ada lebih dari satu guru yang memiliki model mengajar seperti itu? Pastinya itu akan mempengaruhi sebagian besar siswa di sekolah tersebut.
Trauma enam tahun bukanlah hal mudah untuk menghilangkannya dengan sekejap mata. Trauma ini akan terus berefek sampai dewasa bahkan sampai usia lanjut.
Itulah mengapa dalam skala nasional Indonesia masih miskin. Terlihat dari masyarakatnya yang trauma belajar, menyebabkan masyarakat kita malas untuk mempelajari sesuatu. Itulah pentingnya sikap guru untuk adaptif oleh zaman.
Belajar, seharusnya menjadi kebutuhan primer yang tidak bisa dihiraukan. Namun, dalam kenyataannya banyak siswa yang mengalami trauma belajar seperti halnya di Mua’llimin. Ini menyebabkan anak mengalami demotivasi untuk terus belajar dan berkembang.
Kemajuan suatu bangsa juga sangat bergantung pada kekuatan anak mudanya mengadaptasi dan menyerap pemahaman akan segala sesuatu. Akan tetapi, bagaimana kita bisa merasakan bangsa yang maju jikalau orang yang mengarahkan anak mudanya saja tidak “semaju” itu. Hal inilah yang seharusnya menjadi koreksi untuk kita bersama, agar apa yang bangsa kita janjikan itu terwujud.
Oleh: Dyaksa Abiyyu Kamil
Editor: Mazaya Abdillah Iskandar
kalau malas gausah nyalahin orang
sekolah mana yang banyak jamkosnya sih min…?
Wahh kalo ini sih hal yang asik tapi dibalik itu semua ini bisa menjadi hal yang fatal bagi seluruh santri. Kenapa? Karena banyak dari santri yang masih belum faham akan materi yang pernah disampaikan. Sebagai santri saya merasakan kalau jam pelajaran kosong memang aik kita bisa ngobrol DLL. Akan tetapi diri saya juga bertanya “apa kalau jam kosong terus saya bisa menemukan masa depan saya? ” Dari situ seharusnya guru guru bisa lebih faham akan masa depan para santri. Seharusnya ini bisa menjadi evaluasi para guru yang suka memberikan jam kosong tanpa alasan yang bener sihh…
Keren sih ini, sebagai guru di sini juga menjadi refleksi.
Memang menjadi catatan penting juga memahami perbedaan genZ dengan generasi sebelumnya agar model pembelajaran lebih mengena.
Tapi susah juga, karena gaya sekolah pengkaderan akan sedikit lebih condong pada sekolah kedisplinan dalam arti turun temurun modelnya… nah model apa yg turun temurun? Ini juga pertanyaan…