Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — 85 tahun yang lalu, tepat 17 November 1939 di Praha, para pelajar penentang Nazi dibunuh saat melakukan demonstrasi atas terbentuknya Republik Ceko. Dan tepat dua tahun setelahnya, Dewan Pelajar Internasional di London, mendeklarasikan peristiwa tersebut sebagai Hari Pelajar Internasional sebagai bentuk penghormatan atas terbunuhnya para pelajar kala itu.
After Eighty-Five Years
Lembaran kertas yang kian mengeras, tinta hitam pun tak lagi berbekas, bahkan teriakan anak muda kini tak lagi jelas. Di tempat yang berbeda, yang kaya akan keanekaragaman hayati, bahkan kaya akan budaya, yakni Indonesia. Penuh akan karya anak bangsa yang begitu membanggakan, seakan-akan menjadi negara paling maju dalam sistem pendidikan. Namun sayang, itu semua hanyalah bualan belaka dari para abdi negara.
Kini, sistem pendidikan yang harusnya menjadi dasar utama dalam membangun pribadi yang kaya akan intelektual, ilmu, dan adab justru bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Banyaknya kasus kriminalitas yang terjadi pada pelajar yang terus meningkat tentu menjadi tugas berat yang harus segera diselesaikan.
Menurut data yang diambil dari website kphn.go.id terdapat 2.338 Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) pada tahun 2020-2022, diantaranya 2.271 anak laki-laki dan 67 anak perempuan. Kasusnya pun beragam, yang paling mendominasi yakni pencurian dan penyalahgunaan narkotika. Itu semua tak luput dari yang namanya moral dan karakter. Dalam hal ini siapa yang patut diberi pertanyaan?
Panggungnya para abdi negara yang mementaskan kasusnya pada masyarakat Indonesia menjadi bukti terkuat dari lemahnya penanaman karakter di usia dini dan minimnya nilai kejujuran dan juga integritas yang mereka miliki. Dalam hal ini korupsi yang paling unggul. Para pelajar yang menyaksikan hal demikian tentu akan sangat mudah terjerumus, jika mereka tak memiliki jiwa karakter yang kuat.
Moral dan identitas pelajar begitu kritis keadaannya. Saat ini, Jogja sedang dilanda ‘Darurat Miras’, yang menjadi masalah utama ialah usia dari para pelaku pengguna miras itu sendiri, mayoritas diantaranya ialah pelajar. Seakan-akan mereka telah berkhianat atas identitas yang mereka miliki, yakni sebagai pelajar. Tentu semua ini tidak lepas dari yang namanya pola asuh dari keluarga dan juga keterbelakangan yang mereka miliki. Sehingga dengan nekatnya melakukan hal demikian.
Dua karakter utama masih menjadi masalah global yang perlu dihadapi, seperti kutipan dari salah seorang pendiri Rumah Perubahan, “paling penting ialah integritas atau kejujuran, bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia. Jika sudah kehilangan integritas, kehilangan nama baik, maka Anda akan hilang selamanya,” ujar Prof. Rhenald Kasali.
Satu dekade terakhir, sistem pendidikan Indonesia selalu dipenuhi kabar-kabar buruk dari berbagai penjuru negeri. Saat ini, pelajar Indonesia telah kehilangan identitas dan moralnya. Setiap hari, kasus-kasus yang begitu mengerikan terus bertebaran, begitu miris jika diperhatikan lagi secara saksama.
Semua ini perlu kita benahi bersama-sama, mulai dari penanaman karakter sejak dini, pola asuh keluarga yang juga harus dibenahi. Kesuksesan suatu negara akan dilihat dari generasi yang saat ini sedang berjalan.
Jika hal ini terus berlanjut bahkan terus meningkat, bagaimana nasib negara Indonesia di tahun 2045 ke depan? Mampukah generasi ini menjadi harapan Indonesia Emas 2045?
Oleh: Khalish Zeinadin
Editor: Khalish Zeinadin