Lembaga Pers Mu’allimin, Yogyakarta — Seorang santri datang ke sebuah pondok pesantren untuk mencari pencerahan dan kedamaian. Tetapi, setelah sekian lama dia tinggal dan belajar dan di pondok pesantren tersebut, ia merasa seakan-akan bukan kedamaian yang ia dapatkan, akan tetapi kebebasan dan hak hidupnya direnggut oleh peraturan ketat pondok pesantren.
Pada suatu hari, razia rambut baru saja terjadi di pondok pesantren tersebut. Ia merasa bingung akan fungsi dan kegunaan razia rambut ini, ia pun bertanya kepada uituznya. “Ustaz, kenapa sekolah kita mengadakan razia rambut setiap bulannya?” tanya santri itu.
Ustaz yang ditanyakan pun menjawab, “itu untuk memastikan kerapian dan ketertiban setiap santri di sini.”
Sang santri membalas perkataan ustad tersebut, “hubungannya apa ustaz antara rambut pendek dengan kerapian dan ketertiban? Apakah dengan rambut yang sedikit panjang bisa membuat kita tidak rapi dan tertib?. Rambut itu adalah hak setiap manusia, manusia yang memilikinya lah yang berhak untuk menentukan akan seperti apa rambutnya. Menurut saya, selama tidak terlalu aneh dan bisa disisir rapi itu harusnya diperbolehkan dan tidak seharusnya untuk dirazia”.
Ustaz memandangnya dengan sinis. “Ya, memang tidak berkaitan dengan kerapian dan ketertiban atau kepribadian seseorang. Akan tetapi razia rambut adalah untuk menyamakan semua santri yang ada di sini. Jadi tidak ada perbedaan di antara kalian,” balas ustaz itu.
Santri pun tambah kebingungan. “Jadi pondok itu tidak ada bedanya dengan komunisme ya ustaz, semua sama semua rata. Semua orang di dalamnya terikat pada peraturan yang menyamakan semuanya tanpa memandang kepribadian dan keinginan setiap individu, kebebasan untuk mengekspresikan diri kita dibatasi dan keberagaman dalam kehidupan sosial kita direnggut “ ucap santri itu.
Sang ustaz pun terdiam, tak mampu membalas sepatah kata pun. Sang santri pun pergi meninggalkan sang ustaz yang terdiam.
Oleh: Taqiyullah Amurwabhumi
Editor: Khalish Zeinadin