Wacana worldview (pandangan hidup) memang sangatlah kompleks. Tak hanya sekedar teori dan narasi yang ada, namun sarat akan implementasi dan tindak lanjut yang nyata. Bahkan sebelum para pemikir merumuskannya, sejatinya worldview telah menyatu dalam diri manusia. Banyak sebab dan faktor dibalik adanya worldview. Hal itulah yang membuat persoalan worldview amat penting untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Terlebih, worldview dalam diskursus keilmuan kontemporer telah menjadi identitas kelompok yang tak bisa dilepaskan dari lini kehidupan. Maka mempelajarinya sudah menjadi kemestian -terlebih bagi seorang muslim- di era disrupsi seperti saat ini.
Definisi Worldview Islam
Seperti yang telah dijelaskan di pembukaan, pembahasan mengenai worldview sangat panjang dan luas. Kalaupun ingin dijelaskan satu per satu, penulis yakin tulisan ini tidak cukup untuk menjabarkan materi worldview secara holistik. Maka menyadari keterbatasan tersebut, penulis cukupkan pembahasan pada tulisan ini -dan yang lalu- sebatas pada tataran konsep. Adapun mengenai isi dan substansi worldview, tidaklah terkira ataupun terhitung. Jika dalam agama Islam sendiri, maka pembahasan isi worldview sebanyak hitungan ajaran agama Islam itu sendiri. Bahkan bisa saja berkembang seiring lajunya zaman. Sekaligus sebagai respons atas segala kejadian dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan.
Menginjak pembahasan definisi, sebetulnya pemaparan perihal bagian ini telah disampaikan sebagian pada tulisan lalu. Namun pada kesempatan kali ini, fokus penulis akan mengacu pada pengertian istilah worldview an sich. Salah satu definisinya adalah yang dikatakan Immanuel Kant sebagai The Intuition of World (Intuisi tentang Dunia). Dan juga murid ideologisnya, Wilhems Dilthey sebagai sesuatu yang menghubungkan benak seseorang pada dunia.
Tentu definisi tentang worldview tak berhenti pada buah pikir dua pemikir tersebut. Definisi worldview terus berkembang menurut para pemikir yang terlibat dalam diskursus tak berkesudahan ini. Dan menariknya, definisi-definisi yang muncul; hadir ke permukaan bukannya saling bertentangan. Malahan, definisi yang terus ada ini ibarat seperti puzzle yang saling melengkapi bagian satu sama lain.
Terkait istilah worldview itu sendiri, Ust. Hamid Fahmy Zarkasy dalam makalahnya setidaknya menyebutkan tiga definisi dari tiga pemikir terkenal. Yaitu dari Ninian Smart (pakar kajian budaya), Thomas F. Wall (pakar kajian filsafat), dan Alparslan Acikgence. Sedangkan untuk definisi worldview Islam, sudah penulis terangkan pada tulisan yang lalu seperti definisi dari Sayyid Quthb, Al-Maududi, Atif al-Zayn, dan terakhir dari S.M.N Al-Attas.
Dari definisi-definisi yang tersebar dari para pemikir di atas, setidaknya terdapat kata kunci yang dapat ditarik menjadi sebuah kerangka definisi yang utuh. Kata kunci tersebut antara lain, worldview adalah perkara basic believe (keyakinan dasar). Wujud asli worldview bersemayam pada ujung dasar keyakinan seseorang. Maka mustahil dipungkiri bahwa worldview ada pada setiap orang tanpa terkecuali. Karenanya, setiap orang pasti memiliki keyakinan. Dan di balik keyakinan tersebut, worldview telah menancap; terpatri dalam diri seseorang.
Kata kunci kedua adalah worldview bekerja dalam pikiran seseorang. Worldview sangat mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan segala seluk beluknya. Kata kunci berikutnya setelah mempengaruhi pikiran seseorang, worldview berdampak pada kehidupan seseorang. Segala tindak tanduk peri perilaku seseorang sangat terkait erat dengan worldview yang menyetir pikiran seseorang tersebut. Dan hal itu terjadi dalam lingkup skala yang kecil.
Kata kunci yang keempat, bahwa dalam lingkup skala yang besar worldview dapat mengubah kondisi struktur sosial kemasyarakatan. Hal ini terjadi apabila susunan individu yang tercangkup dalam tatanan sebuah masyarakat mengubah worldviewnya secara bersamaan. Dan kata kunci yang terakhir ialah worldview dapat menjelaskan seseorang tentang realitas kenyataan.
Kata-kata kunci di atas bila dirangkai dengan runtut akan menjelaskan sebuah pengertian worldview yang utuh dan sistematis. Pengertian tersebut berbunyi bahwa worldview adalah keyakinan yang paling dasar pada diri setiap manusia. Keyakinan itulah yang mempengaruhi manusia dalam berpikir. Selanjutnya pikiran tersebut membentuk tingkah laku manusia dalam kehidupan. Bilamana hal tersebut terjadi pada satu manusia dan juga berlaku pula pada manusia-manusia lain, hal tersebut dapat mengubah tatanan sosial secara besar. Dan pada akhirnya worldview membantu manusia menjelaskan makna realitas kehidupan dan kenyataan. Keseluruhan kata kunci tersebut diambil dan dirangkai dari para pemikir non-muslim.
Sekilas mengulang pembahasan pada tulisan silam, adapun definisi di atas memiliki perbedaan dengan definisi worldview Islam menurut para pemikir muslim. Menurut Abul A’la Al-Maududi, worldview Islam berpuncak dari dua kalimat syahadat. Penyataan Al-Maududi ini dibuktikan dengan kisah Rasulullah saw tatkala mengajak pembesar musyrikīn Quraisy untuk memeluk agama Islam. Ajakan tersebut tentu memiliki konsekuensi yang riil dalam merubah pribadi diri musyrikīn Quraisy. Setidaknya akan ada lima dosa besar yang telah mendarah daging pada tradisi musyrikīn Quraisy yang akan hilang, jika menerima ajakan berislam dan menjadi seorang muslim. Kelima dosa tersebut adalah (i) Penyembahan berhala (paganisme), (ii) praktek riba, (ii) perbudakan, (iv) perzinaan, dan (v) mabuk-mabukan (meminum khamr).
Lima hal ini tentu sangat berat bagi kaum musyrikīn Quraisy untuk ditinggalkan. Karena mau bagaimana pun, lima dosa besar tersebut telah menjadi inti kebudayaan masyarakat musyrikīn Quraisy yang jahiliyah. Dengan begitu, tanpa berdiskusi panjang lebar mereka sepakat menolak ajakan mulia Baginda Rasulullah saw. tersebut.
Selain itu, definisi Al-Maududi ini juga mempertegas potret konsekuensi kalimat syahadat terhadap realita muslim masa lalu dengan muslim masa sekarang. Yakni kenyataan melihat timbal balik yang berat pada masa awal Islam yang wajib ditanggung oleh setiap pribadi muslim, justru hal tersebut berbanding terbalik dengan realita sekarang. Dalam kenyataannya banyak muslim sekarang yang mudah mengucapkan kalimat syahadat, namun enggan menggugurkan konsekuensi yang tertera. Ketimpangan ini tentu sangat mencolok, betapa kalimat syahadat pada masa silam benar-benar mentransformasikan pribadi seseorang dari kegelapan (dzulumāt) menuju cahaya iman (nūr al-Īmān).
Singkat kata, definisi worldview Islam ala Al-Maududi ini sangat menitik beratkan syahadat sebagai basis perubahan sikap dan aspek kehidupan seseorang. Bahkan sudah semestinya bersyahadat adalah aktivitas merubah pribadi seseorang menjadi seorang muslim yang komprehensif alias kaffah. Tak hanya sebagai pemanis di bibir, melainkan esensi syahadat merasuk ke dalam lubuk diri terdalam dan mengubah keadaan seseorang.
Berikutnya selain Al-Maududi, definisi Sayyid Quthb juga tak kalah hebatnya. Menurutnya, worldview Islam bertempat pada ranah pemikiran dan perasaan seorang muslim. Selanjutnya dengan definisi ini, menjelaskan dengan gamblang perbedaan seorang muslim yang menggunakan worldview Islam dengan seseorang yang menggunakan worldview selain Islam. Contoh sederhananya seperti perasaan baper. Maka sudah sepatutnya sebagai seorang muslim memiliki cara pandang yang berbeda dengan yang bukan muslim dalam masalah baper. Idealnya seorang muslim baper dengan hal-hal yang berbau maksiat, dosa, kelalaian dalam beribadah. Jika permasalahan baper-nya hanya berkutat pada permalasahan duniawi, bisa jadi worldview yang dipakai bukan Islam lagi. Maka secara singkat, Sayyid Quthb menegaskan bahwa worldview sangat mempengaruhi perasaan dan pemikiran seseorang. Perbedaan dalam berpikir dan berperasaan bisa jadi disebabkan oleh worldview yang berbeda.
Selain itu, dari definisi Sayyid Quthb di atas juga turut menjelaskan hal-hal yang terlihat maupun tak terlihat. Berawal dari worldview Islam, seseorang akan dituntun untuk memperhatikan kedua entitas ini. Seperti pada masalah halal dan haram. Tentu Islam sangat menekankan seorang muslim agar memakan makanan yang halal. Dengan memakan makanan yang halal, maka secara tidak langsung mempengaruhi jiwa seorang muslim untuk senantiasa dalam ketaatan. Berbeda halnya dengan orang yang memakan makanan haram. Dari makanan haram tersebut, seseorang akan dipengaruhi dalam keadaan di luar ketaatan. Dan kriteria halal-haram bukanlah sesuatu yang berwujud nampak. Dengan begitu apa yang harus dikerjakan bagi seorang muslim bukan pada sesuatu yang dapat dipandang secara zahir semata, namun juga secara bathin pula.
Definisi ketiga, datang dari Atif al-Zayn yang menjelaskan bahwa worldview bukanlah sekedar aqīdah yang terkandung dalam diri seorang muslim yang didapatkan begitu saja dari penyataan nash-nash (Al-Qur’an & Sunnah). Lebih dari sekedar itu, pernyataan-pernyataan tersebut berubah menjadi pemahaman-pemahaman terhadap nash-nash tersebut yang dielaborasi oleh akal dan disusun menjadi sebuah argumen-argumen rasional di atas aqīdah. Salah satunya adalah keyakinan rukun iman pertama yakni beriman kepada Allah. Maka manifestasi rukun iman yang pertama dengan menggunakan definisi ini, dapat mengatakan bahwasannya tidak ada yang paling nyata (ada) selain Allah swt. Selain Allah swt semua yang nyata (ada) berdasarkan pengadaannya Allah, bukan nyata (ada) seperti Allah swt. Juga terkait makna-makna di dunia. Dengan pisau analisis definisi di atas, bisa jadi apa yang dianggap bermakna bagi manusia, tidak dianggap bermakna oleh Allah swt selama tidak ada afirmasi dari-Nya. Allah ta’ala lah satu-satunya sumber nyata dan makna.
Contoh lain, keimanan pada hal yang ghaib seperti malaikat. Maka implikasi, keimanan tersebut juga dibarengi dengan pemahaman terhadap sesuatu yang nyata, baik itu shahadah (kasat mata) maupun ghaib (tidak kasat mata). Dan kedua entitas tersebut adalah nyata. Selain itu, keimanan kepada kitab-kitab-Nya secara tidak langsung menegaskan bahwa sumber kebenaran hanya dari Allah swt saja. Bahwa Al-Qur’an -sebagai salah satu kitab-kitab-Nya- adalah sumber kebenaran. Dengan begitu, perkara-perkara yang tidak diafirmasi oleh Al-Qur’an adalah salah. Jadi, Al-Qur’an lah satu-satunya tolak ukur kebenaran yang sebenarnya. Nah, pemahaman-pemahaman seputar aqīdah secara argumentatif dan logis inilah yang dinamakan oleh Atif al-Zayn sebagai aqīdah fikriyyah.
Terakhir, dari definisi Al-Attas tentang worldview Islam bermakna bahwa segala yang wujud, nyata, dan bermakna hanya semata-mata berasal dari Islam. Sesuatu yang tidak ditegaskan oleh Islam maka jelas tertolak. Seperti ketika manusia memandang/tidak memandang sesuatu itu riil atau benar. Di saat itulah, apabila Islam mengafirmasinya/tidak mengafirmasinya maka sesuatu tersebut bisa diterima/tidak benar adanya. Dengan begitu worldview Islam sebagai kacamata orang muslim, memandu seseorang dalam melihat kondisi kebenaran, kewujudan, kenyataan, dan hal-hal mutaghayyirāt maupun tsawābit dengan benar.
Dari pemaparan definisi-definisi para sarjana muslim di atas, dapat disimpulkan bahwa worldview berawal dari sebuah keyakinan, lalu mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seseorang setelah itu membimbing seseorang dalam hal kebenaran dan kenyataan, dsb. Fakta tersebut tetap berlaku sekalipun dalam ranah ilmiah. Worldview tetap memiliki andil yang berarti bagi para intelektual dan cendekiawan. Seperti ketika menentukan asumsi maupun ideologi, worldview tetap berkerja di balik layar. Menentukan dua hal tersebut.