26.2 C
Yogyakarta
Sabtu, 12 Juli 2025
BerandaArtikelPengantar Islamic Worldview Bagian Kedua: Jalan Juang Rasyidi Circle

Pengantar Islamic Worldview Bagian Kedua: Jalan Juang Rasyidi Circle

Pembentukan Worldview Islam

Proses terbentuknya worldview pada diri seseorang menurut Ust. Hamid Fahmy Zarkasy yang mengutip penjelasan Prof. Alparslan Acikgence, dibedakan menjadi 2/3 jenis. Jenis pertama disebut dengan Natural Worldview. Disebut dengan natural, karena terbentuknya worldview ini terjadi secara alami. Worldview ini terbentuk menurut perkembangan seseorang dari mulai masa kecil hingga masa dewasanya. Juga worldview ini terbentuk sebagai respon seseorang terhadap realitas lingkungan dan kehidupan. Seperti halnya manusia normal yang melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, berkeluarga hingga akhir menutup mata. Keseluruhan aktivitas tersebut secara perlahan membentuk worldview seseorang dan melekat pada diri seseorang tersebut. Model worldview semacam ini jamak diketahui pada susunan masyarakat tradisional (pedesaan). Dan bangunan Natural Worldview sangat sederhana, tidak sekompleks dan secanggih bangunan worldview dikalangan masyarakat terpelajar. Kiranya hal ini lah yang membedakan cara pandang masyarakat tradisional dengan terpelajar dalam kehidupan sampai saat ini.

Jenis yang kedua disebut dengan Transparent Worldview. Model worldview ini sangat erat dipengaruhi dengan aktivitas-aktivitas intelektual. Seperti belajar, mengkaji, meneliti, dan sebagainya. Worldview seperti ini juga disebut dengan Scientific Worldview dimana kata Scientific mengacu pada permasalahan ilmiah. Dua istilah ini sejatinya memiliki makna yang tak berbeda jauh. Keduanya sama-sama bermakna worldview yang dipengaruhi oleh ilmu.

Tetapi ketika istilah Scientific Worldview diterapkan untuk menamai model worldview ini, akan ditemui perbedaan kentara antara Barat dan Islam. Menurut Barat, Scientific Worldview sangat dipengaruhi oleh Komunitas Ilmuwan. Dalam komunitas ini tergabung orang-orang yang sibuk dalam aktivitas ilmiah. Baik membaca, berdiskusi, meneliti, menganalisis, berdiskusi, dan lain sebagainya. Aktivitas semacam inilah disebut sebagai Intelectual Circle atau halaqah al-‘Ulamā’. Hasil pembacaan/diskusi orang-orang yang tergabung dalam Komunitas Ilmuwan nantinya menjadi jejaring-jejaring makna yang disebut Scientific Conceptual Scheme (Skema Konsep-Konsep Ilmiah). Seiring waktu, skema ini menjadi sempurna. Belum lagi ditambah persoalan-persoalan yang dibicarakan orang semakin banyak dan meluas membuat skema ini menjelma menjadi sebuah cara pandang perdana. Rangkaian peristiwa inilah yang nantinya membuahkan Transparent/Scientific Worldview.

Menurut worldview ini, kasus nyatanya dapat ditemui dalam peradaban Yunani. Urutan pertama dimulai dari sekelompok orang yang membicarakan hal-hal ilmiah. Sejalan dengan waktu, persoalan-persoalan ilmiah ini mengalami kerumitan dan semakin mendalam. Lalu hal tersebut akhirnya meluas dan mulai banyak dipahami oleh khalayak masyarakat. Bahkan dalam perjalanannya, persoalan yang berkembang ini tak bisa dilepaskan dengan beragam perdebatan dan dialektika yang menguras banyak tenaga nalar orang-orang Yunani saat itu. Seperti persinggungan antara Socrates dengan Aristoteles. Dan rentetan urutan tersebut berakhir menjadi worldview khas milik peradaban Yunani.

Setelah melihat dua macam worldview di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Natural Worldview menjadi asas kebudayaan. Sedangkan Trasnparent/Scietific Worldview menjadi asas peradaban. Mudahnya, ketika worldview itu berupa hal-hal yang berkisar soal pola kehidupan sederhana dan simplifikasi, hal tersebut akan berakhir menjadi sebuah kebudayaan. Bilamana pola yang terbentuk semakin rumit dan canggih maka seterusnya akan menghasilkan kebudayaan yang semakin berkualitas. Nah, jika worldview yang berkembang terbentuk bersinggungan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains lalu menjadi pembahasan yang mendalam, maka rangkaian tersebut akan berakhir sebagai peradaban. Demikianlah gambaran Barat terhadap worldview.

Lain padang lain belalang. Rumusan Barat tentang pembentukan worldview jelas memiliki perbedaan dengan cara Islam membentuk worldview-nya. Terbentuknya worldview Islam sesungguhnya melewati tahapan yang lebih kompleks dibanding worldview Barat. Maka tak heran apabila Al-Attas menyebut worldview model Islam ini sebagai Kuasi-Scientific Worldview. Model worldview ini bisa dikatakan serupa tapi tak sama dengan Scientific Worldview ala Barat. Lalu apa yang membedakannya? Jawabannya, yang membuat worldview Islam berbeda dengan milik Barat –tapi di saat yang sama worldview Islam tetap seilmiah worldview milik Barat- adalah wahyu. Ya, peran wahyu dalam posisi membentuk worldview Islam memang sangatlah sentral. Dan wahyu yang dimaksud di sini merujuk pada dua sumber utama ajaran Islam. Yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sembari melanjutkan pembahasan, proses terbentuknya worldview Islam dimulai dari sosok Baginda Nabi Muhammad saw. Beliau lahir di sebuah daerah yang bernama Arab. Secara harfiah Arab bermakna tanah yang gersang. Dan hal tersebut terbukti, sebagaiman diketahui Arab adalah daerah yang luas, kering dan panas. Selain itu, tanah Arab pada masa tersebut tak memiliki budaya tinggi. Satu-satunya budaya tinggi yang dimiliki bangsa Arab saat itu tak lain adalah seni sya’irnya. Dengan kemampuan sastra sya’ir yang dimiliki bangsa Arab, hal tersebut menunjukkan daya intelektual bangsa Arab yang tak bisa diremehkan. Walaupun begitu, bangsa Arab tetap tak memiliki budaya ilmu yang berarti.

Ala kulli hal, Nabi Muhammad saw lahir di tempat yang bernama Arab. Di sana, beliau mendapatkan wahyu dan diberi mandat oleh Allah sebagai Rasulullah. Nah, dalam proses penerimaan wahyu ini, para ‘ulama mengkategorikannya dalam dua fase. Fase pertama yaitu saat di Mekkah, sedang fase kedua saat berada di Madinah. Pada fase Mekkah, bahasan wahyu (Al-Qur’an) yang diterima Nabi Muhammad saw banyak membicarakan aspek-aspek keyakinan. Seperti aspek tentang Tuhan, kenabian, manusia, akhirat, dsb. Aspek-aspek inilah yang mewarnai pembahasan Al-Qur’an saat itu. Di sisi lain, kosa kata Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad saw ketika berada di Mekkah menerangkan konsep yang belum matang. Tentu dibalik hal tersebut, terselip hikmah rabbani. Secara eksplisit, Allah swt menghendaki ummat-Nya di kemudian hari untuk merenung dan merumuskan konsep-konsep tersebut supaya menjadi sebuah bangunan yang tersusun rapi dan sempurna. Dan kegiatan tersebut bernama ijtihad.

Kembali ke pembahasan, konsep-kosep yang terkumpul di fase Mekkah berisi seputar permasalahan dasar kehidupan. Berbeda halnya dengan fase Madinah. Konsep-konsep yang terkandung dalam Al-Qur’an di fase Madinah banyak membahas soal sosial-kemasyarakatan. Seperti masalah ibadah, masyarakat, keadilan, ukhuwwah, dsb.

Sampai di sini, Al-Qur’an yang berwujud nash (teks) kemudian dijelaskan melalui uraian lisan Nabi Muhammad saw, ditafsirkan, dan diamalkan dalam kehidupan. Penjelasan otentik atas Al-Qur’an oleh Nabi Muhammad saw disebut dengan hadits/sunnah. Penjelasan itu bisa berupa perkataan, perbuatan, sifat baik secara karakteristik fisik maupun berwujud akhlaki. Nah, semua penjelasan otentik yang ditafsirkan dan direfleksikan oleh Nabi Muhammad saw ditransfer sebagai pengajaran kepada generasi sahabat. Maka tak ayal, bahwa sosok sahabat dalam dunia Islam adalah otoritas pertama setelah Nabi Muhammad saw. Karena sejarah membuktikan bahwa generasi sahabat adalah murid-murid Nabi Muhammad saw secara langsung dan mumpuni dalam ilmu agama. Dari situ, generasi sahabat sebagian besar menjadi sosok ulama’ yang ‘ālim. Bahkan gelaran yang patut disematkan bagi mereka adalah Imam. Secara, kapasitas keilmuwan para sahabat diatas para imam-imam madzhab yang dikenal saat ini.

Pada berikutnya, konsep-konsep yang diajarkan Nabi Muhammad saw kepada para sahabatnya tidak berhenti. Malah, konsep-konsep tersebut terus berkembang beriringan dengan zaman. Nah, perkembangan konsep tersebut dikawal oleh sebuah mekanisme bernama ijtihad. Sebagaimana mekanisme tersebut telah dilegalkan oleh Nabi Muhammad saw melalui hadisnya ketika mengutus sahabat Mu’adz ibn Jabal ke Yaman.

(3592)
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ، مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: «كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»، (رواه أبو داود في باب إجتهاد الرأي في القضاء)

Hadits ini dengan jelas mengakui ijtihad dalam menjawab persoalan yang datang setelah Al-Qur’an dan Sunnah al-Nabawiyyah. Di sisi lain, ijtihad sendiri adalah kegiatan intelektual yang kreatif dan bisa dilakukan kaum muslimin. Tentu dengan pra-syarat ketat yang telah diatur oleh Islam. Dan hanya mereka yang otoritatif dalam keilmuwanlah yang boleh melakukan ijtihad.

Melanjutkan ke pembahasan, sedemkianlah urutan tersebut dinamai sebagai Pre Scientific Conceptual Scheme (Skema Konsep-Konsep Ilmiah Mula). Kendati belum terlalu matang, namun model demikian sudah dianggap cukup untuk mengubah paradigma mereka dari paradigma lama ketika di masa jahiliyah. Di situasi seperti ini, pemahaman otentik Nabi Muhammad saw yang telah ada pada diri sahabat menyebar seiring dengan tersebarnya para sahabat ke penjuru dunia. Sebagaimana diketahui, para sahabat ada yang berada di Kufah, Basrah, Damaskus, Suriah, Mesir, bahkan hingga ke daerah Asia Selatan dan China. Para sahabat yang menyebar ini tak serta merta berdakwah semata; mengajak masyarakat lokal untuk memeluk agama Islam. Lebih dari itu, para sahabat dan generasi setelahnya (tabi’in dan tabi’u tabi’in) telah terbukti mengubah bahasa.

Hal ini dibuktikan dengan tersebarnya bahasa Arab ke seluruh penjuru dunia. Tak tanggung-tanggung, bahasa Arab menjadi bahasa populer sepanjang Andalusia di barat membentang hingga negeri-negeri di kawasan Asia Tenggara. Adanya popularisasi bahasa Arab, menandakan secara tersirat bahwa obyek yang didakwahi oleh para sahabat dan generasi setelahnya tidak sekedar mengubah agama. Melainkan juga, merubah cara berpikir dan kesadaran masyarakat setempat. Dan yang tak kalah hebatnya ketika para sahabat berdakwah di suatu tempat, mereka juga mengajar dan menjadikan muridnya sebanding otoritatif dengan diri para sahabat tersebut. Dan pada akhirnya, para murid tersebut menjadi ulama-ulama baru dan tempat-tempat tersebut menjadi pusat-pusat keilmuwan baru.

Tak sekedar itu, pusat-pusat keilmuwan tersebut selama 100 tahun berjalan memunculkan madzhab-madzhab wilayah. Seperti yang jamak dikenal dengan madzhab Kufah, madzhab Basrah, madzhab Syam, dll. Eksistensi pusat-pusat keilmuwan tersebut disertai dengan para ulama intelektual di dalamnya, membantu memantangkan Pre Scientific Conceptual Scheme (Skema Konsep-Konsep Ilmiah Mula) menjadi Scientific Conceptual Scheme (Skema Konsep-Konsep Ilmiah).

Masih berlanjut, Scientific Conceptual Scheme (Skema Konsep-Konsep Ilmiah) terus berkembang dan nantinya membentuk ilmu-ilmu. Pembentukan ilmu pertama ini disebut sebagai taraf problematis. Ilmu pertama yang terbentuk dalam dunia Islam adalah fikih. Dan yang patut diketahui bahwa fikih pada generasi awal dunia Islam berbeda dengan fikih yang dikenal sekarang. Fikih pada awal dunia Islam adalah General Knowledge (Ilmu Umum) sebagaimana filsafat yang menjadi induk segala ilmu pada peradaban Yunani. Konten yang dikandung fikih di masa itu hampir mencakup semua disiplin ilmu keislaman saat ini. Seperti akidah, ibadah, muamalah, tazkiyah al-Nafs, dll. Maka, fikih pada masa itu dapat dikatakan sebagai pemahaman yang mendalam (fahm daqīq/deep understanding) tentang Al-Qur’an, sunnah, tradisi, dan kehidupan yang membuat orang yang mempelajarinya dapat hidup benar dan selamat di dunia dan juga di akhirat.

Pada petengahan abad 2 H/8 M, fikih sebagai General Knowledge mulai mengalami pemisahan disiplin ilmu. Masa ini disebut dengan Fase Disipliner. Pemisahan fikih terbagi menjadi dua macam. Yaitu Fiqh Akbar yang membahas tentang teologi (akidah), sedang Fiqh Ashgar membahas tentang hal-hal amaliah (ibadah, muamalah, dsb). Baru pada masa akhir abad 2 H/8 M, fikih dikenal sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang membahas hukum syariat praktis dan bersanding dengan disiplin ilmu lainnya. Hingga memasuki ujung abad ke 2H/8 M, ilmu-ilmu dalam Islam mulai matang dan terus berkembang canggih berbarengan seiring berjalannya waktu. Misalkan dalam bidang bahasa berkembang ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, dsb. Juga dikenal ada ilmu tasawuf, kalam, mantiq, dll.

Di samping adanya ilmu-ilmu –baik yang turunan maupun berkembang baru- tersebut, muncul juga ilmu-ilmu reproduksi ulang atas ilmu-ilmu kuno. Ilmu-ilmu tersebut disebut sebagai ‘Ulūm al-Awā’il atau Ancient Knowledge. Ilmu-ilmu tersebut muncul dan diambil dari peradaban-peradaban lain di luar Islam seperti Yunani, Persia, Romawi, dll. Ilmu-ilmu serapan tersebut tentu bukan tanpa adanya persoalan. Terlebih seperti filsafat yang diambil dari peradaban Yunani, apalagi ketika membahas perkara metafisika. Sudah barang tentu berseberangan dengan akidah Islam. Di saat seperti itu, para ulama berkerja menyaring (memfilter) ilmu-ilmu tersebut agar sesuai dalam khazanah keilmuwan Islam.

Selain bidang filsafat, ‘Ulūm al-Awā’il ini juga tersedia di bidang teknologi dan sains. Misalnya ilmu astronomi yang pada peradaban lain digunakan untuk meramal. Dalam khazanah keilmuan Islam, ilmu astronomi menjadi ilmu falak yang berguna dalam menentukan waktu shalat. Maka patut untuk dicermati bersama, penyerapan ilmu-ilmu tersebut -selain proses pemfilteran- juga dilakukan proses islamisasi ilmu. Setiap aspek-aspek takhayul yang melekat pada ilmu-ilmu kuno, dihilangkan dan dijadikan menjadi sebuah ilmu baru dalam khazanah keilmuan Islam. Dan pada akhirnya, semua dinamika keilmuwan tersebut merangkai bangunan worldview Islam dan membuatnya semakin canggih, komprehensif, dan kaya.

Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
RASYIDI CIRCLE FOR ISLAMIC THOUGHT STUDIES didirikan pada 5 Oktober 2018 sebagai bentuk ikhtiar santri Mu'allimin dalam pengembangan wacana pemikiran dan peradaban Islam di kalangan remaja dan masyarakat umum. Komunitas ini diresmikan oleh Wakil Direktur I Bid. Kurikulum, Dr. Mhd. Lailan Arqam pada kesempatan perdana Dauroh Pemikiran Islam di R. Multimedia Madrasah Mu'allimin.

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -