Pada Kamis (23/9) malam, Rasyidi Circle menyelenggarakan Rasyidi Forum dengan mengusung tema “Respons Terhadap Evolusi dalam Tafsir Modern di Indonesia”. Rasyidi Forum sendiri adalah forum diskusi mingguan yang mengulik berbagai permasalahan dalam lingkup integrasi Islam dan Sains.
Dalam diskusi malam itu hadir Direktur Institut Pemikiran Islam (IPI) Bentala, Ustaz Ayub, S.Pd., M.A., sebagai pemateri, dan dimoderatori oleh Zayyan Adib (alumni Mu’allimin 2019, mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Forum diskusi tersebut diawali dengan pemaparan materi oleh Ustaz Ayub dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Acara masih diselenggarakan secara online melalui platform Zoom Meeting, mengingat masih dalam suasana pandemi COVID-19, dan memberi kesempatan lebih besar kepada masyarakat umum untuk mengikutinya.
Forum tersebut diselenggarakan mengingat pada tubuh masyarakat digital-modern begitu semarak pembicaraan mengenai teori evolusi yang digadang-gadang termaktub di tafsir-tafsir modern khususnya di Indonesia. Serta banyak pro-kontra mengenai hal tersebut, khususnya di tubuh masyarakat muslim Indonesia. Sehingga bagaimana respons kita terhadap polemik ini? Apakah kita harus memposisikan diri kepada golongan yang setuju, menolak, atau menengah?
Ustaz Ayub mengawali dengan mengangkat tiga karya tafsir kontemporer Indonesia yang cukup berpengaruh signifikan pada abad 20 dan 21, yaitu tafsir al-Azhar, tafsir al-Mishbah, dan tafsir at-Tanwir. “Bahwasanya tafsir al-Azhar oleh Buya Hamka (1908-1981), kemudian al-Mishbah karya Quraish Shihab (lahir 1944), dan at-Tanwir oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2019), diterbitkan antara periode tahun 1960 hingga 2019. Ketiga penafsir tersebut mewakili tiga generasi tafsir Indonesia yang diproduksi dalam tiga konteks sosial budaya dan politik yang berbeda”, demikian kurang lebih disebut beliau. Beliau menjelaskan, “tafsir al-Azhar diproduksi pada era orde baru, kemudian al-Mishbah diproduksi saat era reformasi, dan at-Tanwir saat era kebebasan berpendapat dan maraknya digitalisasi.”
Dalam paparan yang lebih mendalam, ustaz Ayub memberi contoh dalam konteks penciptaan alam semesta atau kosmologi, terdapat perbedaan pendapat terkait teori evolusi. Buya Hamka secara jelas menyebut teori evolusi dan setuju terkait teori tersebut, hal itu bisa dilihat saat Hamka menafsirkan Q.S. al-A’raf [7]: 53-56, “Tuntutlah ilmu rahasia alam ini sedalam-dalamnya. Carilah fosil-fosil makhluk purbakala yang telah terbenam dalam berjuta tahun. Pakailah teori Darwin dan lain-lain. Moga-moga saja kian tersingkaplah bagi kita betapa hebatnya kejadian alam itu dan bertambah Iman akan adanya yang maha Kuasa atas alam” (lebih lengkap lihat al-Azhar, Jilid 4, p. 2389).
Sedangkan Quraish Shihab, ia juga menyetujui teori tersebut namun tidak secara eksplisit menyebut persetujuannya. Quraish dalam tafsirnya memasangkan konsep haq dengan konsep al-hukm at-takwini. Menurut Quraish, dalam kaitannya dengan al hukm at-takwini, manusia tidak lebih istimewa dari makhluk lainnya. Jika mereka gagal mengikuti hukum alam, mereka akan menghadapi kemalangan di dunia ini. Konsekuensi dari al-ḥukm at-takwini adalah agar manusia dapat berkembang, ia harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam sekitarnya (Shihab, 2000, vol. 6).
Berbeda dengan kedua karya tafsir diatas, tafsir at-Tanwir justru menolak teori evolusi karena adanya sifat ke-rahmah-an Allah. “At-Tanwir menawarkan dua alasan setidaknya menurut bacaan saya untuk menolak teori evolusi. Pertama, masalah kejahatan. Kedua, Allah menciptakan hewan dan tumbuhan yang sangat kompleks saat ini tanpa menghilangkan makhluk lain yang sangat sederhana, dan inilah yang membedakan teori evolusi. Teori evolusi selalu memiliki prinsip survival for the fittest dan perjuangan untuk hidup. Makhluk yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan akan mati, dan mereka yang dapat beradaptasi akan terus hidup dengan bentuk lain yang lebih baik dan lebih kompleks”, ujar Ustaz Ayub.
Sebagai contoh lain, Ustaz Ayub juga memberi gambaran mengenai pendapat ketiga mufasir mengenai penciptaan adam dan hawa (manusia). Dalam kesimpulannya beliau menegaskan beberapa poin penting dalam pemahaman mufasir dalam memahami evolusi sebagai “teori”, yang dikemukakan oleh Darwin untuk menjelaskan munculnya kehidupan di bumi.
Dalam konteks penerimaan teori evolusi, pertama, Hamka dan Quraish tidak melihat masalah hermeneutis, bahkan membenarkan evolusi kebanyakan dengan pendekatan hermeneutis. Kedua, Hamka-Quraish memungkinkan adanya makhluk mirip manusia sebelum Adam. Mereka menerimanya berdasarkan penafsiran khalifah sebagai penggantinya. Ketiga, bagi Hamka dan Quraish, penggunaan evolusi sebagai penjelasan proses penciptaan dapat diterima. Tapi Quraish menegaskan bahwa Muslim harus menolak atau menerima evolusi berdasarkan bukti ilmiah dan mengutuk mereka yang menerima atau menolak teori hanya berdasarkan tafsir Al-Qur’an. Terakhir, at-Tanwir menerima beberapa penjelasan biologis seperti ada hubungan antara genus manusia dan genus primata lainnya tetapi menolak untuk menyebutnya evolusi.
Sedangkan dalam konteks penolakan, “semuanya menolak versi ateistik atau naturalistik dari evolusi, Hamka mencoba menolak evolusi dengan menggunakan “penemuan ilmiah”, tetapi penentangannya sebagian besar bersifat metafisik (naturalisme). Selanjutnya, At-Tanwir menerima bahwa secara hermeneutika, kita dapat menerima bahwa ada tahapan-tahapan dalam penciptaan kehidupan, tetapi evolusinya tidak menyebabkan teodisi dan ilmu kreasionis”, ujar beliau menutup paparannya.
Siaran ulang forum tersebut bisa Anda saksikan melalui kanal YouTube “Rasyidi Circle For Islamic Thought Studies” atau melalui tautan berikut.
Oleh: Azmi Hanief Editor: Azmi Hanief