28.5 C
Yogyakarta
Selasa, 22 Juli 2025
BerandaArtikelMelawan Hoaks di Tengah Pandemi, Menjaga Kewarasan Diri

Melawan Hoaks di Tengah Pandemi, Menjaga Kewarasan Diri

Sudah lebih dari setengah tahun lamanya pandemi COVID-19 menyerang dunia, tak terkecuali Indonesia. Para pegawai pemerintah dan karyawan swasta berbondong-bondong menjadikan rumahnya sebagai kantor kedua. Tak sedikit yang diputus hubungan kerja, tak bisa dapat uang tambahan, bingung mencari tambalan untuk bayar cicilan dan hutang. Anak-anak mulai bosan belajar di depan layar, ingin bertemu teman-teman sepermainan. Para ibu rumah tangga resah, sibuk memantau sekolah anak, mengerjakan urusan rumah tangga yang banyak, memutar otak supaya tak besar pasak daripada tiang. Semua orang gelisah.

Tahun ini, Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional di Indonesia dan pandemi di dunia. Di Indonesia, terhitung hingga minggu keempat bulan November, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI melalui laman website resminya, total kasus positif mencapai lebih dari lima ratus ribu orang dengan kasus meninggal lebih dari enam belas ribu orang. Bagi masyarakat yang menolak percaya dan meyakini teori konspirasi, Covid-19 adalah akal-akalan politik, sebuah senjata yang dirancang untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu secara masif. Nyatanya, wabah penyakit bukanlah suatu hal baru, virus ini ada, menjangkiti jutaan manusia di seluruh dunia.

Ribuan tahun lalu, jauh sebelum pandemi ini bermula, dalam sejarah Islam, wabah penyakit pernah melanda di era sahabat Nabi, dikenal sebagai “wabah thaun”. Di dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah pernah bersabda, “Kalau kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut, namun bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” Maka itulah yang dilakukan umat muslim pada saat itu: berdiam diri di rumah agar tak tertular dan menularkan penyakit sembari terus bersabar dan bertawakal.

Ribuan tahun setelah itu, pada tahun 1920-an, dunia pernah dilanda pandemi flu Spanyol yang menewaskan setidaknya 20-50 juta manusia di dunia. Kurang dari setengah abad kemudian, pada tahun 1960-an, wabah penyakit melanda Indonesia. Wabah ini kemudian dikaitkan dengan lampor—sosok hantu pembawa maut yang konon dipercaya sebagai pasukan Nyi Roro Kidul. Pada masa itu masyarakat melawan wabah dengan berbagai cara. Mereka melempar serabut kelapa lewat lubang di atas pintu ketika mendengar suara-suara aneh, tidur di lantai alih-alih di ranjang atau kursi, dan siap sedia minyak tanah untuk menyiram bekas muntahan dan kotoran setelah buang air besar dengan tujuan agar orang lain tidak tertular.

Puluhan tahun kemudian, tepatnya tahun 2020 ini, kita kembali dihadapkan dengan fenomena pagebluk. Tak ada lagi yang melempar serabut kelapa atau tidur di lantai untuk menghindari kematian. Kita beramai-ramai memproteksi diri dengan mengenakan masker, mencuci tangan sesering mungkin, dan menjauhi kerumunan. Dapat dikatakan, teknologi mengubah manusia menjadi lebih rasional. Sayangnya, tak semua masyarakat menganggap serius pandemi ini meskipun dampaknya nyata terjadi di mana-mana. Jika ada sebagian masyarakat yang menganggap covid-19 sebagai bualan dan konspirasi semata, ada pula yang menganggapnya terlalu berlebihan hingga diserang kepanikan. Tak bisa dipungkiri, penyebab terbesarnya adalah informasi yang semakin cepat dan mudah didapat.

Menurut laporan DataReportal, di Indonesia ada 175.4 juta pengguna internet pada Januari 2020 dan 160 juta pengguna media sosial. Jumlah yang sangat banyak, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa, negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Itu berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia memiliki akses internet dan aktif menggunakan media sosial. Sayangnya, akses internet yang dimanfaatkan oleh masyarakat itu memiliki dampak negatif yang sulit dihindari, yakni maraknya penyebaran berita palsu alias hoaks. Berita palsu tak hanya mengenai isu-isu sosial atau politik saja, namun juga hingga ke ranah kesehatan. Tak bisa dipungkiri, hoaks terus meningkat selama masa pandemi ini. Di pertengahan Juni, Kepolisian RI menyebutkan bahwa mereka telah mengidentifikasi lebih dari 130.000 berita hoaks yang berhubungan dengan pandemi Covid-19 dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Berita hoaks telah menyebabkan banyak masalah selama krisis ini terjadi. Sebagai contoh, kabar hoaks mengenai pemutih untuk melindungi diri dari virus COVID-19 telah menyebar luas di internet, padahal WHO telah memperingatkan masyarakat luas bahwa menyemprotkan, berkumur, atau menyuntik pemutih bisa menyebabkan iritasi bahkan membahayakan kulit dan mata.

Berita hoaks memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan mental masyarakat, terhadap kewarasan kita. Banyak berita hoaks yang menyesatkan dan memanipulasi opini publik yang dirancang untuk memancing respons emosional pembaca, sering kali bersifat menghasut dan dapat menimbulkan perasaan marah, curiga, cemas, dan bahkan depresi dengan cara mendistorsi pikiran kita. Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir setahun ini membawa banyak dampak negatif bagi banyak lapisan masyarakat. Mempercayai berita hoaks yang berhubungan dengan COVID-19 bisa meningkatkan kecemasan, stres, bahkan depresi, ditambah lagi karena adanya perubahan sosial seperti tinggal di dalam rumah, kebijakan jam malam, penutupan tempat umum, dan lain-lain. Di tengah-tengah krisis ini, media sosial seharusnya menjadi media untuk saling berbagi kabar dan saling menyemangati, bukan untuk menakut-nakuti.

Mari kita lawan pandemi ini dengan menggunakan internet secara bijaksana. Melek informasi memang penting, namun lebih penting lagi untuk cerdas dalam mengolahnya. Jaga kesehatan fisik dengan menggunakan masker, sering mencuci tangan, menjaga jarak, rajin berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat untuk meningkatkan imunitas. Jaga kesehatan mental dengan mengurangi intensitas membaca berita-berita yang sumbernya tidak kredibel, saling mendoakan dan menyemangati dengan orang-orang terdekat, dan tetap berkarya dengan bahagia.

*Pemenang lomba #YukMenulis pekan ketiga belas yang diselenggarakan oleh Sobat Perpustakaan Mu’allimin.

Oleh: Eko Purwatiningsih
Editor: Qonuni Gusthaf Haq
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Kiriman Sebelumnya
Kiriman Selanjutnya

Ikuti KweeksNews!

106FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -