Keberadaan (wujud) Tuhan menurut Hanafi tidak hanya isyarat sebagai penyanjungan dan pengagungan Tuhan semata. Ada isyarat-isyarat tertentu dalam informasi ini yang dapat diambil ibrah oleh manusia. Itulah mengapa penjabaran Tuhan tentang dirinya selalu menekankan aspek eksistensial (wujud), supaya manusia mengerti bahwa Tuhan itu ada beserta sifat-sifat-Nya. Pandangan Hanafi sedikit banyak mencoba memberikan perspektif baru dalam wacana ketuhanan. Ia hendak memberitahu bahwa sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dinalar dan hidup dalam alam pikiran manusia, untuk kemudian diejawantahkan dalam kehidupan riil. Sebagaimana keinginan besarnya tentang teologi yang kental dengan nilai-nilai praksis.
Ada enam sifat Tuhan dalam penafsirannya guna mendapatkan pandangan alam tentang teologi praksisnya. Pertama, Wujud. Hanafi berpandangan bahwa eksistensi Tuhan adalah persoalan final. Status quo-Nya bukanlah hal yang harus dipertanyakan kembali. Mengapa demikian? Sebab Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bahwa siapa pun yang mengaku beriman kepada-Nya harus menunjukkan eksistensinya di muka bumi. Ia tidak boleh menjadi makhluk yang nirkontribusi dan mendayagunakan segala potensi yang terhimpun dalam rangka menunaikan tanggung jawab profetik sebagai khalifah di muka bumi.
Kedua, Qidam yang telah mengalami peyorasi makna menjadi hikmah masa lalu yang selalu ada dan menjadi pelajaran bagi manusia, bukan hanya sekadar sifat Tuhan yang terdahulu.
Ketiga, Baqa’ yang dimaknai sebagai upaya yang bernilai dan membawa manfaat, tidak mendatangkan kerusakan yang berakibat pada kefanaan keberadaan manusia. Fana di sini bukan diartikan sebagai fana dalam kehidupan, namun gagasan yang tidak bertahan lama disebabkan tidak mampu bersaing dalam pertarungan ide-ide yang lain. Selain itu, baqa’ juga dimaknai dengan kelestarian, yang merupakan upaya untuk terus menjaga dan mempertahankan hal-hal yang membawa faedah bagi manusia. Seperti lingkungan, perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dsb.
Keempat, Mukhalafatu li al-hawaditsi & qiyamuhu bi an-nafsihi. Sifat ini menghendaki manusia supaya menjadi pribadi berbeda sebab menjauhkan diri dari perilaku mengembik kepada arus mayoritas, merobohkan segala bangunan taklid supaya dapat menjadi manusia merdeka, tidak terkekang pada paham mainstream, berani berdiri di atas kaki sendiri, dan teguh akan pendiriannya.
Kelima, Wahdaniyah. Keesaan Tuhan adalah absolut. Satu dalam hal ini dipahami sebagai solidaritas dan persatuan akan nilai-nilai universal humanisme (ukhuwah basyariyah). Manusia seharusnya saling bekerja sama, bahu membahu dalam mekanisme kehidupan. Sehingga nafas optimisme senantiasa ada dan menjadi motivasi bagi setiap insan. Selain itu satu juga dimaknai sebagai kesatuan pribadi manusia. Antara kebaikan dan keburukan tidak bisa hidup berdampingan dalam satu raga. Selain itu, hal ini mencegah manusia dari pelacuran jiwa yang bermuara pada kemunafikan.
Kesimpulannya, tauhid haruslah menjiwai setiap langkah-langkah riil dan aksi nyata. Tauhid yang bersemayam dalam jiwa bukan melulu tentang kesalihan diri, namun juga kesalihan sosial. Dimensi ketuhanan digeser menjadi dimensi humanisme profetik. Maka setiap Tuhan-tuhan baru harus dihilangkan untuk meneguhkan Tuhan yang benar. Tuhan baru adalah berhala-berhala kehidupan yang menjauhkan diri dari Tuhan hakiki maupun Tuhan majazi. Tuhan metafor adalah gagasan yang satu, yang mempersatukan tanpa menimbang perbedaan. Selain itu pemungkiran terhadap upaya-upaya dikotomi yang menjurus kepada disintegrasi dan friksi.
Apa yang disampaikan oleh Hassan Hanafi memang mulia. Meskipun apa yang ia bawa merupakan reproduksi dari gagasan serupa yang lebih dulu disuarakan oleh kaum Muktazilah dan Sufi tentang konsep tauhid yang membumi. Namun yang membuat berbeda ialah, ia menggambarkannya dengan begitu apik sehingga terkesan segar dan baru. Di sisi lain muncul keraguan terhadap ide-idenya yang terkesan berani dan revolusioner. Berani karena mengangkat martabat umat Islam, revolusioner karena membongkar istilah-istilah teologi yang sudah mapan. Dikhawatirkan upayanya hanya akan membawa manusia pada orientasi duniawi saja dan memudarnya pengaruh ukhrawi.
Selain itu corak gagasannya terkesan seperti membangkitkan kenangan indah masa lalu, seperti Muktazilah. Padahal fakta sejarah menyatakan bahwa Muktazilah bukanlah golongan tanpa cela. Hal ini yang luput dari pandangan Hanafi. Lebih dari itu, tuduhan yang dilontarkannya mengenai Asy’ariyah yang menjadi biang keladi dekandensi umat Islam dinilai terlalu berlebihan. Baik Asy’ariyah maupun Muktazilah, keduanya memiliki kontribusi bagi umat Islam. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya tidak luput dari kesalahan.
*Sumber: Filsafat Islam; dari Klasik hingga Kontemporer karangan Dr. H. A. Khudori Sholeh, M.Ag.
Oleh: Muhammad Ghossan (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019, sekarang melanjutkan pendidikan di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) Editor: Qonuni Gusthaf Haq