31.7 C
Yogyakarta
Jumat, 27 Juni 2025
BerandaArtikelHassan Hanafi dan Revitalisasi Dogma Kalam

Hassan Hanafi dan Revitalisasi Dogma Kalam

Hassan Hanafi dilahirkan di Kairo, 13 Februari 1935. Pendidikannya dimulai dari sekolah dasar dan tamat tahun 1948. Dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha dan selesai tahun 1952. Studi lanjutnya ia rampungkan di Universitas Kairo jurusan filsafat tahun 1957. Setelah itu, ia melanjutkan jenjang master sekaligus doktoral di Universitas Sorbonne, Prancis. Setelah menyelesaikan studi, ia diangkat menjadi Lektor Departemen Filsafat di almamaternya dahulu, Universitas Kairo pada tahun 1967. Enam tahun kemudian ia diangkat menjadi Lektor Kepala pada departemen yang sama. Selain itu, ia juga mengajar di banyak universitas di berbagai negara.

Di samping dunia akademik, ia juga aktif pada kegiatan kemasyarakatan. Tercatat ia pernah menjadi Sekretaris Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia juga menjadi Wakil Presiden Masyarakat Filsafat Arab. Aktif pula di Ikatan Penulis Asia Afrika dan Gerakan Solidaritas Asia Afrika. Ia juga dijebloskan ke penjara karena penerbitan jurnal ilmiahnya dianggap terlalu vokal kepada penguasa.

Hassan Hanafi berpandangan bahwa teologi kalam yang diikuti oleh kebanyakan kaum muslim bermasalah. Hanafi menganggap bahwa teologi tersebut tidak dapat dibuktikan secara filosofis dan ilmiah. Filosofis karena teologi kalam bersifat teosentris sehingga ia jauh dari realitas sosio-humanis. Konsekuensi logis dari paradigma ini ialah agama yang tidak bisa dijadikan solusi atas problem yang dialami umat manusia. Sedangkan secara ilmiah, teologi kalam dianggap kering akan nilai-nilai transendental yang seharusnya tumbuh dan mengakar pada diri manusia. Dengan kata lain, keimanan seseorang berbanding lurus dengan kualitas dirinya. Keduanya berjalan secara harmonis dan serasi. Duduk persoalan ada pada ketimpangan yang terjadi antara keduanya. Selain itu orientasi kalam hanya dipakai guna memperoleh kepentingan duniawi semacam legitimasi dari penguasa. Selebihnya, teologi dianggap bukan hal yang konkret karena sama sekali membuat manusia menjadi bagian dari perubahan dalam dinamika kehidupan.

Gagasan ini berpijak kepada kerangka berpikir yang menawarkan gagasan baru tentang teologi pembebasan yang bersifat konkret dan aktual. Baginya, hal ini akan dapat terealisasi tatkala manusia manusia lepas dari patron teologi klasik. Pemahaman ini tentu tidak lahir di ruang hampa. Hanafi berkeyakinan bahwa perlu ada suatu ideologi baru yang diusung umat Islam di tengah arus pergumulan ideologi global. Ideologi ini kelak akan menjadi solusi konkret atas persoalan umat itu sendiri. Di sisi lain, ia juga meyakini bahwa teologi klasik tidak lagi kompatibel apabila dikontekskan dengan situasi terkini. Dalam hal ini, Hanafi mengusulkan dua gagasan untuk melakukan modifikasi atas kelemahan ini. Pertama, analisa bahasa. Menurutnya, bahasa bukanlah suatu hal yang permanen dan bebas dari cela serta kritik. Teologi klasik didominasi dengan terminologi yang menggambarkan hal-hal metafisika dan irasional. Faktanya, dijumpai pula terminologi yang sarat akan nilai-nilai ilmu, dapat dinalar, dan juga diindra. Kedua, realitas sosial. Dengan mengetahui motif kemunculan teologi berikut dengan implikasinya bagi masyarakat pada masa lalu, teologi klasik akan dengan mudah dikontekstualisasikan dengan masa kini.

Kemudian dalam rangka mewujudkan dua usulan tersebut, ia menggunakan tiga model pendekatan. Pendekatan dialektika, fenomenologi, dan hermeuneutika. Dialektika didasarkan pada postulat tentang benturan tesis dan antitesis yang melahirkan sintesis. Meskipun pada asalnya teori ini dikembangkan oleh Hegel dan Marx, ada perbedaan mendasar dalam framework berpikir keduanya. Hanafi bahkan mengkritik Marx karena ia gagal dalam dialektikanya. Walau begitu, antara Hanafi dan Marx memang memiliki kesamaan, seperti sama-sama menggunakan konsentrasi sosio-masyarakat sebagai basis pemikirannya. Perbedaannya Marx menjadikan dunia sebagai tujuan utama, namun tidak pada Hanafi. Konsep yang diusung olehnya ialah menggeser corak teologi dari theosentris menjadi antroposentris sehingga proses penghambaan kepada Tuhan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Fenomenologi berpandangan bahwa realitas terdiri atas objek dan penampakan kejadian atau fenomena yang dimengerti oleh kesadaran. Singkatnya, suatu kejadian memiliki sebuah hakikat. Hanafi menggunakan pendekatan ini untuk mengurai setiap fenomena-fenomena seputar dinamika keumatan, situasi transnasional baik geopolitik maupun sosiokultur dan variabel lainnya guna merumuskan perubahan secara dramatis, sistematis, dan terukur. Hal ini berguna selain meneguhkan posisi Islam, juga memungkinkannya untuk dipandang dari sudut pandang sendiri.

Adapun hermeneutik merupakan metode interpretasi suatu teks. Dalam pendekatan ini, Hanafi menghendaki adanya pihak yang mampu mengomunikasikan antara teks (sumber agama) dan konteks (realitas). Selain itu, ada tiga unsur pokok yang memiliki interkoneksi satu sama lain, yakni teks (wacana), mufasir(komunikator), serta mustamik (pemirsa).

Berbicara mengenai hermeneutika, Hassan Hanafi tidak memahaminya sekadar proses penggalian makna suatu teks. Ia mempersyaratkan tiga tahapan dalam proses hermeneutik berkaitan dengan wacananya tentang teologi. Pertama, kritik historis. Pada tahap ini, Hanafi menghendaki adanya tindakan verifikatif terhadap nas-nas keagamaan berupa penelitian mendalam guna mendapat kepastian tentang validitas dan kesahihannya. Sementara itu, ia juga berpendapat bahwa proses ini harus bebas dari intervensi sehingga terjamin netralitas serta objektivitasnya. Selain itu, Hanafi juga menggunakan tolak ukur dalam proses ini seperti adanya keselarasan antara lisan dan tulisan, nas tersebut haruslah lengkap dan tidak ada unsur subjektivitas dalam transmisi informasi demi menjaga keaslian fakta.

Kedua, pemahaman terhadap nas. Dalam kacamata fenomenologi, Hanafi mengajukan dua syarat dalam fase ini, yakni daya kognisi seorang mufasir tidak boleh didominasi oleh dogma-dogma tertentu dan nas harus dipahami sebagai suatu bagian integral, bukan parsial. Hal ini berkaitan erat dengan proses turunnya wahyu yang tidak sekali jadi. Sehingga akan terbangun pemahaman yang utuh dan holistik. Dalam tahap ini Hanafi menggunakan tiga langkah operasional, antara lain: 1) Analisis linguistik, di mana nas diturunkan dalam bahasa tertentu memiliki ciri khas dalam setiap definisinya. Sehingga apabila dimaknai secara akurat, akan termanifestasi secara tepat. 2) Analisis keadaan (asbab an-nuzul). Dengan pengetahuan ini, implementasi nas akan tercapai dengan baik. 3) Dinamisasi istilah-istilah dalam nas. Diharapkan nas tersebut tidak dianggap usang dan ketinggalan zaman, serta berlaku di sembarang waktu dan tempat.

Ketiga, kritik aplikasi. Pada dasarnya setiap teori akan diuji dengan praktik. Oleh sebab itu, Hanafi menghendaki bahwa satu bentuk interpretasi terhadap teks dapat menggerakkan manusia kepada kehidupan yang ideal. Sebab sejatinya agama memang membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik.

Setelah melalui tahapan panjang, Hanafi juga mengemukakan gagasannya tentang antroposentris. Ia mencoba meramu kembali teologi klasik dalam sudut pandang semantik kebahasaan. Dalam hal ini ia berbicara soal sifat-sifat Tuhan, zat-Nya, dan Tauhid.

Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
RASYIDI CIRCLE FOR ISLAMIC THOUGHT STUDIES didirikan pada 5 Oktober 2018 sebagai bentuk ikhtiar santri Mu'allimin dalam pengembangan wacana pemikiran dan peradaban Islam di kalangan remaja dan masyarakat umum. Komunitas ini diresmikan oleh Wakil Direktur I Bid. Kurikulum, Dr. Mhd. Lailan Arqam pada kesempatan perdana Dauroh Pemikiran Islam di R. Multimedia Madrasah Mu'allimin.

Ikuti KweeksNews!

105FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -