Apa yang membuat manusia menjadi khas dibandingkan makhluk yang lainnya? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah manusia, bahkan dalam diri kita pun kadang menanyakan hal yang serupa.
Manusia, siapakah dia? Manusia bukan benda, tetapi hukum-hukum dunia jasmaniah berlaku bagi manusia. Jika Ahmad loncat dari atap rumah, ia akan jatuh seperti semua benda lain yang memiliki berat. Manusia bukan tumbuhan, tetapi kehidupannya sangat bergantung dari lingkungannya. Manusia membutuhkan air untuk hidup dan oksigen untuk bernapas, sehingga manusia memiliki daya nutrisi (al-ghadiyyah), daya tumbuh (munmiyyah), dan jiwa reproduksi (al-mutawallidah).
Manusia bukan hewan, tetapi ia memiliki nafsu yang terdiri atas daya pendorong (al-baa’itsah) dan daya berbuat (al-faa’il). Manusia bukan hanya roh, tetapi ia makhluk rohaniah dengan segala kegiatan kerohanian yang khas sesuai agama yang dianutnya. Manusia merupakan makhluk yang unik, berbeda, dan sempurna. Kesempurnaan manusia sebagaimana yang telah tercantum dalam Q.S At-Tin ayat 4, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Maka sudah sepatutnya diri ini bersyukur diciptakan sebagai manusia oleh Allah, bukan malah diciptakan sebagai hewan, tumbuhan, atau bahkan tanah.
Kita semua adalah manusia yang dalam bahasa Arab disebut “insaanun”. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kata “insaanun” disusun oleh unsur-unsur “unsun” yang artinya jinak, “nausun” yang artinya dinamis, dan “nisyaanun” yang artinya lupa.
Kita sebagai manusia memiliki sisi pribadi yang “unsun” yaitu jinak, lembut, halus, peka terhadap apa yang di sekitarnya, serta dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi di lingkungannya. Sebab itulah, maka salah satu bentuk kata untuk menyebut manusia dalam bahasa Arab khususnya dalam Al-Qur’an adalah “basyar”. Ini adalah salah satu sinekdoke pars pro toto atau majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai nama pengganti nama keseluruhan dari manusia karena basyar sendiri berarti kulit. Ialah kulit yang membentuk rupa dan sifat manusia, yang peka terhadap rangsangan dari luar seperti panas, dingin, sentuhan, tusukan, rasa sakit, dan lain sebagainya. Itulah manusia yang disebut sebagai “unsun”, yaitu ia dalam keadaan jinak dan mudah dipengaruhi oleh lingkungannya.
Yang kedua, manusia bersifat “nausun” yang memiliki arti dinamis dan berubah-ubah. Dia pada pagi hari mungkin berbeda dengan siang harinya atau bahkan pada malam harinya. Manusia bisa berubah-ubah karena memiliki qalb yang dalam bahasa Arab juga berarti taqallaba-yataqallabu yang artinya berbolak-balik. Qalb atau yang sering kita terjemahkan sebagai hati, meskipun dalam makna lughawi lebih tepat kepada jantung. Dalam bahasa Inggris pun qalb diterjemahkan sebagai heart, dan itu lebih tepat merujuk pada organ yang di sebut sebagai jantung.
Taqallaba-yataqallabu artinya dia berbolak-balik dan bergonta-ganti tanpa disadari oleh manusia. Maka dari itu, dalam setiap akhir sholat, kita diajarkan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdoa “Yaa muqollibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”, wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkan hati kami ini agar selalu tetap di atas agama-Mu. Doa yang singkat tetapi sarat akan makna ini bisa menjadi rel yang menjaga manusia agar selalu tetap dalam koridor kebaikan, istiqamah dalam amalan, dan senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus.
Sifat manusia yang ketiga adalah “nisyaanun” yang berarti lupa atau mudah melupakan. Dan memang Allah menganugerahkan sifat lupa ini sebagai bagian dari kebaikan-Nya. Jika kita bisa mengenang dan mengingat semua hal yang menyakitkan di dalam hidup kita sejak awal hadir di dunia ini, niscaya kita akan menjadi orang yang sangat ketakutan dalam menjalani hari-hari, menjadi pesimis, tidak berani mengambil risiko, bahkan tidak berani menatap hari esok.
Contohnya ketika kita dahulu belajar berjalan. Berapa kali kita jatuh saat mencoba berjalan? Apabila rasa sakit ketika jatuh yang dahulu kita alami itu tidak dibuat lupa oleh Allah, maka niscaya kita akan memilih menggunakan kursi roda saja karena saking menyakitkan dan mengerikannya pengalaman jatuh ketika belajar berjalan. Namun, Allah membuat kita lupa hal-hal yang sakit, pedih, dan pahit supaya kita mampu menatap masa depan.
“Bermain air basah, bermain api letup”. Itulah peribahasa yang tak asing di telinga khalayak. Artinya, hal apapun di dunia ini pasti ada risikonya, begitu juga dengan sifat nisyaanun atau lupa yang Allah berikan kepada manusia. Oleh karenanya, masih banyak manusia yang lupa akan hal-hal penting, seperti lupa kepada tujuan hidup, asal dari mana ia datang, dan hendak kemana ia menuju.
Berbicara mengenai tujuan, pasti tidak jauh juga kaitannya dengan asal. Bagaimana mungkin kita bisa merencanakan tujuan sebelum paham dari mana kita berasal. Seperti halnya ketika kita hendak menuju ke suatu kota, sudah barang tentu kita menyadari dari mana kita akan berangkat. Itulah yang dinamakan asal. Maka tak heran banyak manusia, khususnya muslim, yang lupa akan tujuan hidupnya disebabkan mereka belum memahami dari mana mereka berasal.
Islam memiliki konsep yang begitu paripurna tentang manusia. Al-Qur’an telah menjelaskan dari mana manusia berasal, proses penciptaannya, hak dan tanggung jawabnya dalam kehidupan di dunia, hingga tahap kematian dan kehidupannya setelah mati.
Secara sederhana, konsep dan siklus manusia di dunia dirumuskan dalam satu kalimat “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Meski terkesan sederhana, rumusan tersebut sesungguhnya menjawab persoalan penting tentang dari mana manusia itu berasal dan hendak ke mana manusia itu menuju.
Ibarat sebuah ponsel yang kita beli dari sebuah pabrik A, maka cara kita mengatur dan menggunakannya harus sesuai dengan aturan yang telah dibuat oleh pabrik A. Tidak mungkin kita membeli ponsel di pabrik A tetapi menggunakan aturan dari pabrik B. Maka yang terjadi adalah ketidaksesuaian atau bahkan kerusakan yang dialami oleh ponsel tersebut.
Begitu juga dengan manusia. Kita sudah tahu dan paham bahwasanya diri kita berasal dari Allah, maka aturan yang seharusnya kita pakai dalam menjalani kehidupan di dunia ini adalah aturan dari Allah, bukan dari yang lainnya.
Apabila kita memakai aturan yang lain, maka yang terjadi akan sama dengan analogi ponsel tersebut, yaitu terjadinya ketidaksesuaian, ketidaknyamanan, dan bahkan kerusakan dalam diri kita. Sebegitu pentingnya memahami dari mana manusia berasal. Karena dengannya kita menjadi tahu aturan apa yang hendaknya kita pakai.
Belum berhenti di situ saja. Setelah paham tentang asal dan aturan, selanjutnya adalah merencanakan dan merealisasikan hendak ke mana kita menuju.
Manusia diciptakan tidak seperti wayang yang tidak memiliki kebebasan selain mematuhi setiap perintah dalang dan pembuatnya, karena wayang memang sudah diatur demikian. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S Adz-Dzaariyat ayat 56, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)”. Itulah tujuan manusia diciptakan.
Manusia memang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah mematuhi setiap perintah penciptanya, yaitu Allah. Namun, berbeda dengan wayang yang tidak memiliki kemungkinan untuk membantah perintah pembuatnya, sedangkan manusia dibekali akal yang membedakannya dengan makhluk apapun.
Akal inilah yang seringkali membuat manusia memiliki agenda sendiri ketika menjalani tujuan penciptaannya, bahkan tak jarang bertentangan dengan misi penciptaan dirinya. Manusia serasa Tuhan, begitulah kondisi yang ada belakangan ini. Menganggap hanya dirinya saja yang benar dan membenarkan apa yang dilakukannya. Berharap agar segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Naif sekali.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa manusia disebut basyar yang artinya kulit. Selayaknya kulit yang tercipta dari tanah, maka seharusnya sifat kita juga seperti tanah. Tanah yang menyuburkan, menghidupkan, dan menumbuhkan tanaman-tanaman yang indah. Tanah yang kuat sebagai pijakan walau seberat apapun yang ditanggungnya. Tanah yang dapat meresap dan menyimpan air yang mengucur dari langit kemudian mengeluarkannya dalam bentuk mata air nan jernih, sebagaimana manusia yang selayaknya memperoleh ilmu, kemudian mengajarkannya kepada insan lain.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada ungkapan jenaka nan menggugah yang pernah disampaikan oleh Ust. Salim A. Fillah dalam kajiannya. Beliau menyebutkan ketika Iblis dengan bangga dan sombongnya menganggap bahwa api lebih mulia daripada tanah sehingga menyebabkan ia durhaka terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Pada saat itu, sesungguhnya Iblis sudah salah sejak di dalam pikiran. Iblis menganggap bahwa api lebih mulia daripada tanah, padahal sejak dahulu hingga sekarang harga korek api hanya segitu-gitu saja, sedangkan harga tanah pasti naik setiap tahunnya.
Maka selayaknya harga tanah yang selalu naik, perlu kita insafi bahwa manusia pun hendaknya selalu menaikkan tingkat keimanan, ketakwaan, dan ketaatannya di setiap waktu.
“Bahwasannya ketaatan itu,” demikian dikatakan Ust. Anton Ismunanto dalam kajiannya, “bukan hanya satu momen, tetapi momen-momen yang panjang yang diakhiri mati sebagai muslim”. Bagaimana caranya? Ialah dengan memahami dari mana manusia berasal, aturan apa yang harus dipakainya, dan hendak ke mana manusia itu menuju.
Wallahua’lam bisshawab.
*Disari-narasikan dari syarahan Dr. Syamsuddin Arif, M.A dalam seri kajian “Shortcourse Islamic Worldview” yang diselenggarakan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) pada hari Ahad,2 Agustus 2020 via webinar Zoom Meeting. Disertai dengan beberapa penukilan data dari buku karya Dr. Muhammad Kholid Muslih, M.A et al yang berjudul “Worldview Islam: Pembahasan tentang Konsep-Konsep Penting dalam Islam”,buku karya Dr. Adelbert Sneijders, OFMCap dengan judul “Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan”, serta khotbah Jum’at Ust. Salim A. Fillah yang dipublikasikan via Youtube pada hari Senin, 21 Oktober 2019 oleh channel SalingSapa TV.
Oleh: Satria Yoka Priyono (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2020) Editor: Qonuni Gusthaf Haq