Kira-kira apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata kemerdekaan? Ya, tepat sekali. Jawabannya adalah kebebasan. Berbicara soal kemerdekaan berarti bicara soal kebebasan. Bangsa yang telah merdeka bermakna bangsa yang telah menghirup angin kebebasan. Dari siapa? Bisa dari penindasan, tekanan, maupun aturan yang mengekang. Semua faktor ini adalah sebab munculnya paham liberasi. Dan saat ini semua orang memiliki hak untuk bebas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikulasi kata ‘kemerdekaan’ yaitu keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Dalam bahasa Inggris, kata ‘kemerdekaan’ dapat diterjemahkan sebagai ‘independence’. Kamus daring Oxford Learners Dictionaries menguraikan maksud kata ‘independence’ dengan the freedom to organize your own life, make your own decisions, etc. Without needing help from other people. Penjelasan ini adalah satu dari dua penjelasan lain yang bertendensi politik (tentang kemerdekaan dari penjajahan negara lain).
Menindaklanjuti penjelasan ini, baik KBBI maupun Oxford Learners Dictionaries sama-sama menekankan penguasaan diri sebagai simbol kebebasan. Seperti bila seseorang mampu secara finansial memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia dapat dikatakan sebagai seorang yang merdeka. Atau negara yang bisa mengambil kebijakan secara mandiri tanpa intervensi bahkan bantuan sekalipun dari negara lain dapat dibilang sebagai negara yang merdeka. Analisis sederhana ini bukannya dapat dianggap ideal untuk dijadikan tolak ukur sebenarnya.
Karena tak dinyana, Indonesia yang telah merdeka selama 75 tahun belum benar-benar dapat mengimplementasikan pernyataan di atas. Anggapan “berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang lekat dengan sosok prolamator bangsa Ir. Soekarno nyatanya sekarang tak berbekas. Sudah berapa lama Indonesia menjadi negara importir padi dari negara-negara liyan? Padahal kita tahu sendiri bahwa Indonesia adalah negara agraris, di mana sebagian besar rakyatnya bermata pencarian sebagai petani. Walau beberapa dekade silam bangsa ini pernah ber-swasembada pangan sendiri, namun mimpi indah tersebut belum terulang kembali lagi hari ini. Anggapan lumbung padi di depan mata masyarakat kita, kini harus pupus ditelan masa.
Maka bertolak dari kenyataan pahit ini seraya membukakan pikiran kita untuk menanyakan, “Apa makna kemerdekaan yang sesungguhnya?”. Pertanyaan kritis ini perlu kiranya dicuatkan kembali. Melihat situasi miris bangsa yang terus-terusan diterpa kekalang-kabutan. Bingung hendak kemana padahal diri sudah terbebas dari penjajahan 75 tahun lamanya. Kemana negeri ini harus berlabuh?
Dalam hal ini negara sebagai komunitas sudah pasti menghimpun sejumlah kelompok-kelompok komunal kecil di dalamnya. Ada masyarakat dan juga keluarga. Kelompok-kelompok komunal ini tak akan bisa terwujud apabila tidak ada satuan individu yang menyusunnya. Oleh karenanya, negara berhubungan dengan individu. Karena memiliki hubungan, maka segala problematika yang menimpa negara tidak bisa dipisahkan dengan problematika yang menimpa masing-masing individu. Seperti ada ikatan fiktif yang terjalin antara negara dengan individu. Meskipun tidak secara langsung, dampak dirasa cukup mengena.
Untuk memperjelas abstrak di atas, penulis coba sertakan beberapa contoh empiris. Katakanlah kemalangan kaum Sodom. Siapa yang tidak mengenal kaum yang bejat satu ini? Saking bobroknya moral yang dimiliki, Allah Swt. pun mengadzabnya dengan azab yang tak terbayang di luar nalar sehat kita. Yakni Allah Swt. menjungkirbalikkan tanah yang didiami kaum Sodom lalu menghujaninya dengan batu-batu yang terbakar (QS. Hud (11):82). Ilustrasi yang sangat mengerikan bila suatu saat terulang semula. Na’ūdzubillāh min dzālik.
Akibat dekadensi moral yang terjadi, kaum Sodom harus rela terhapus dari peta bumi. Kita insafi bahwa kerusakan pribadi pada kaum Sodom telah mengantarkan mereka ke jurang pembinasaan. Artinya, persoalan yang terjadi di tataran peringkat rendah (individu) berimbas ke peringkat tinggi (komunal). Sekalipun kaum Sodom belum mengadopsi konsep negara –dan bahkan bisa jadi belum mengenalnya- tetap saja sama. Entah negara ataupun kaum, keduanya merupakan himpunan di atas individu. Dalam kata lain individu berperan siginifikan terhadap perkembangan jaringan di atasnya (negara/kaum). Ibarat kata, rusak di akar rusak pula di dahan.
Dengan demikian, kembali ke pembahasan. Tak salah bila kita kembali menelaah definisi kemerdekaan (kebebasan) yang ada saat ini. Mengingat definisi yang tersebar bisa jadi merupakan produk hegemoni Barat. Hal ini sangat tercemin kentara, di mana pokok tumpuannya di sandarkan pada penguasaan diri dan tidak melibatkan entitas Yang Maha Mengetahui. Sementara itu, penguasaan diri pribadi rentan terkacaukan oleh nafsu hayawani. Kekacauan tersebut akibat tidak adanya sesuatu yang memedomani. Sehingga, kebebasan yang dipahami mengupayai individu untuk berlutut kepada nafsu hayawani. Tak pelak, capaian-capaian yang diperbuat tak kunjung meredakan dahaga yang dirasa. Pemahamannya tidak ada tujuan pasti. Justru yang musykil, tujuan yang pasti adalah tidak ada.
Islam sebagai agama yang syumul dan paripurna memiliki cara pandang tersendiri melihat realitas yang terhampar. Cara pandang inilah yang nantinya diformulasikan oleh ulama-ulama otoritatif dalam perkembangan selanjutnya. Adalah Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, salah seorang cendekiawan abad 21 yang menelurkan konsep tersebut sebagai “Pandangan Alam Islam” (Islamic Worldview).
Mengenai kebebasan –yang penulis gunakan sebagai sinonim kemerdekaan- Al-Attas mempunyai penilaian tersendiri. Mengutip buku Risalah untuk Kaum Muslimin, Al-Attas mendefiniskan ‘kebebasan’ sebagai ‘keadaan pemulihan dan penyaksian diri akan hakekat semula jadinya’. Pengertian ini beranjak dari paham Islam tentang kebebasan yang berbeda dengan Barat. Sehingga membuat natijah yang keluar turut berbeda. Islam menekankan kebebasan pada aspek rohani, sedang Barat menekankan pada aspek jasmani.
Dengan begitu, Islam menghendaki kebebasan insan ialah kebebasan rohani. Usaha yang harus dilakukan untuk menebus kebebasan dengan cara ‘menyerahkan diri’ jasmani kepada rohani. Penyerahan diri ini bermaksud menaati segala perintah dan larangan Allah swt yang termaktub dalam Alquran. Al-Attas sendiri menyebutnya dengan undang-undang serta hukum akliah yang ditetapkan oleh agama. Syarahan ini jelas bertolak belakang dengan yang terlaksana di Barat. Di mana pemahaman akan kebebasan adalah mengeluarkan diri jasmani dari segala kungkungan. Termasuk di dalamnya agama.
Maka tak heran bila ramai orang berlomba-lomba mengejar pernak pernik dunia. Sampai-sampai dalih kebebasan digunakan untuk kedok menerobos rambu-rambu syariat. Bisnis khamr dan perjudian seolah bukan hal tabu lagi di mata masyarakat. Apatah lagi gelaran transaksi protistusi yang kian marak bak tumbuhnya cendawan di musim penghujan. Kenyataan memilukan seperti inilah tak sedikit yang berakhir ketok palu kebijakan oleh beberapa negara. Khususnya di Barat laksana patron propaganda kebebasan fana’.
Sejatinya kebebasan yang mereka suarakan justru menelantarkan jiwa mereka di dalam lorong gelap penjajahan. Gelagat untuk senantiasa bergerak tanpa ada kontrol batas semakin membuat jiwa mereka terpasung. Berangkat dari sinilah negara menjadi pincang. Orientasi keduniawian masyarakatnya ikut membawa negara kehilangan arah. Kebebasan telah menelingkung kehidupan bernegara.
Oleh karenanya, definisi yang diberikan Al-Attas seakan menjadi jawaban ketidakberesan yang tercipta saat ini. Interpretasi makna ‘semula jadi’ mengingatkan manusia akan perjanjian azalinya dengan Rabb Jalla wa ‘Ala. Tersebut yaum alastu tatkala manusia bersumpah setia mengikut petuah Tuhannya Yang Haq. Akan tetapi, naasnya manusia lalai akan kontrak sakralnya nanti di hari akhir kelak (Qs. Al-A’raf (8):172). Mengingat urgensi yaum alastu berarti menyadarkan manusia dari higauan kebebasan yang selama ini didengungkan oleh Barat.
Lalu, apabila ta’rifan ini diterapkan, maka akan tercipta suatu keadilan. Diri jasmani yang terus memberontak menginginkan kebebasan berhasil diredam kuasa oleh jiwa rohani. Atau juga akal pada narasi Al-Attas dalam buku Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam. Akal yang berfungsi sama dengan rohani; mengkontrol diri jasmani dalam bertindak, rupanya masih memerlukan latihan liyan. Al-Attas menyebutnya dengan ikhtiyār (daya bebas memilih).
Ikhtiyār dalam hemat pandangan Al-Attas tak berati pilihan saja. Kata ikhtiyār menurut tinjauan linguistik terambil dari kata khayr (kebaikan). Kaitanya dengan diskursus kebebasan, Al-Attas menegasikan pilihan kepada keburukan bukan sebagai bentuk kebebasan. Alasannya, motif yang dipakai berdasarkan diri jasmani yang berpangkalkan nafsu hayawani. Hal ini bertolak belakang dengan fitrah manusia yang mendorong kepada kebaikan. Ikhtiyār yang bermakna ‘memilih sesuatu yang lebih baik’ pantas untuk disandang sebagai bentuk kebebasan. Karena telah membebaskan manusia untuk kembali mengenali fitrahnya dari belenggu keburukan.
Dan yang perlu diperhatikan juga, daya Ikhtiyār yang dikerahkan perlu beriringan dengan semangat keilmuan yang mumpuni berasakan keyakinan. Dengan bi’ah intelektual yang ada bersendikan ajaran agama, semangat Ikhtiyār menjadi berfaedah dan bernas. Membiarkan ghirah menggebu-gebu tersalurkan tanpa memperhatikan kualitas pengetahuan niscaya berujung pada kesia-siaan.
Oleh demikian itu, momen peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75 sudah seharusnya menjadi ajang muhasabah dan refleksi diri. Sanya kemerdekaan dan kebebasan seperti umpama dua sisi pada koin logam. Saling bertautan dan mustahil diceraikan. Maka penting bagi kita menundukkan makna kebebebasan yang sebenar berteraskan ajaran agama. Usaha semacam ini tak boleh terputus dari bujuk rayu dunia yang melenakan. Melihat kekalutan dalam bernegara sebagai efek buruk hilangnya konsep keadilan di peringkat individunya. Alhasil, negara pun tak kunjung menemui tujuan pasti.
Juga sebagai seorang muslim sudah seharusnya memahami hakekat Islam yang murni. Tidak tercampur-adukkan dengan arus terjangan ideologi di luar sana. Muslim yang ideal tak lain yang dapat mengejewantahkan nilai-nilai Islam dengan bersih. Membiarkan Islam tersusupi isme-isme bukannya menambah keindahan pada esensi Islam itu sendiri. Melainkan menambah teruk dampaknya pada Islam. Dan berakhir pada menguapnya subtansi Islam yang asli. WaAllāhu a’lām bishowāb.
Oleh: Muhammad Azzam Al Faruq (Alumnus Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019, saat ini sedang melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Mesir. Penulis juga merupakan salah satu founder Rasyidi Circle) Editor: Qonuni Gusthaf Haq