Emha Ainun Najib adalah seorang budayawan, yang sudah di kenal luas di kalangan masyarakat Indonesia. Beliau, yang kerap disapa Cak Nun, adalah pengisi ceramah-ceramah di berbagai kalangan. Kaum muda, tua, anak-anak, pun tak terkecuali saya, suka mendengarkan ceramah-ceramahnya. Materi keagamaan, yang dipadukan dengan budaya, membuat kagum kalangan milenial Indonesia. Secara pribadi, saya belum pernah mendengarkan ceramahnya secara langsung, dan itu merupakan satu keinginan yang sudah lama tersimpan di benak saya.
Suatu saat, saya tidak sengaja membuka YouTube, dan mendengarkan ceramahnya dengan seksama. Namun ada satu kata yang terlontar dari mulut Cak Nun, yang beliau pun mengambil dari ungkapan jawa, “urip kui urup“. Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya makna dari kata itu. Lantas saya mendengarkan lanjutan dari ceramahnya, bahwa makna dari kata itu adalah hidup itu harus bermanfaat. Bukan hanya bermanfaat bagi diri, sendiri tapi juga bermanfaat bagi orang lain. Lantas kata itulah yang selalu menghantui saya sampai sekarang. Menjadi renungan bagi diri saya, sudahkah kamu bermanfaat bagi diri sendiri? Dan apakah manfaat yang bisa saya berikan bagi orang lain?
Tahun 2019 merupakan titik awal perjalanan pulang. Ya, setelah ditetapkan sebagai alumni dari almamater tercinta, bukan lantas menjadikan diri ini bebas. Namun bayang-bayang kebermanfaatan itu masih menghantui saja. Enam tahun lamanya pendidikan di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, telah menjadikan pikiran saya terbuka. Di tahun terakhir itu juga saya di hadapkan berbagai pilihan kehidupan yang baru, yang tidak menjanjikan kepastian di esok hari. Enam tahun juga saya dijejali dengan kata “Anak Panah Muhammadiyah”. Lalu mau di bawa kemana anak panah itu?
Tantangan yang Menerpa
Di tahun yang sama, entah apa yang ada di pikiran orang tua, saya diminta untuk mengabdi pada almamater tercinta. Tidak menjadi guru pelajaran, tetapi mengabdi dengan label musyrif. “Aku wegah dadi musyrif, abot”, kata kakak kelas saya. Tentu akan menjadi perjalanan panjang dan melelahkan, dengan keadaan yang masih baru sebagai alumni, dengan mudahnya ditawari untuk kembali ke penjara suci. Bimbang, tapi kapan lagi waktu untuk kembali. Kesempatan hanya datang satu kali, toh saya dilabeli alumni adalah untuk kembali ke masyarakat. Menguji seberapa bergunanya diri saya untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat. Urip kui urup, satu kata yang sudah melekat di pikiran saya, dan kata itulah yang menarik saya untuk pulang ke almamater untuk mengabdi menjadi musyrif.
Menjadi suatu bagian dari musyrif abad kedua membuat saya terbebani. Bukan hanya dituntut untuk menjaga tradisi Mu’allimin yang ada, tapi kita dituntut untuk bagaimana bisa membetuk tradisi yang baru, bahkan berinovasi untuk membentuk suatu tatanan baru dan efektif bagi kehidupan santri di asrama. Genap tujuh tahun saya berada dalam kehidupan berasrama Mu’allimin, rasanya setiap tahun ada saja suatu puzzle yang hilang dari diri santri. Sebagai kakak kelas pun, saya merasa ada hal fundamental yang hilang pada diri santri, adab. Sebagai musyrif, agak miris melihat mereka seakan hidup tanpa tuntunan, tanpa ada pedoman yang menuntunnya. Dalam kehidupan santri, adab merupakan sesuatu yang sangat berarti, baik itu adab kepada Allah SWT, adab kepada dirinya sendiri, dan adab kepada orang lain.
Bukan ingin menjelekkan, kurangnya penekanan dalam sistem keasramaan yang mengajaran bagaimana adab yang baik mencakup seluruh aspek kehidupan. Bahkan, ketika para santri dalam keadaan menuntut ilmu baik di madrasah maupun pembelajaran di asrama, beberapa dari mereka tidak tau bagaimana adab yang baik. Inilah kekurangan yang sangat mendasar bagi diri santri Mu’allimin. Namun, sebagai musyrif tidak akan membiarkan itu berlalu begitu saja. Kami sebagai musyrif, yang menjadi ujung tombak dan tombok dalam struktural Mu’allimin, berusaha untuk membenahinya. Selagi kita membenahi para santri yang ada di asrama, di sisi lain stakeholder yang ada seharusnya bisa membenahi, bahkan juga memberikan inovasi, pada sistem yang ada.
Hal yang Hilang
Ada satu hal yang saya sesali dari sistem pembelajaran keasramaan yang ada, yaitu hilangnya pelajaran hadits mi’ah. Selama saya menjadi santri, hal yang masih saya ingat sampai sekarang adalah pelajaran tersebut. Hadits mi’ah berisi tentang pelajaran-pelajaran yang sangat sederhana bagi santri. Dengan kesederhanaan itu, menjadikan sesuatu yang di pelajari itu menyenangkan, dan dapat melekat dengan kehidupan sehari-harinya. Namun ternyata, selama menjadi musyrif, pelajaran tersebut tidak diadakan lagi. Padahal kalau saya rasa, itu merupakan pondasi mereka dalam mempelajari adab sebagai santri, bahkan adab sebagai manusia. Selagi hadits itu sangat mudah di hafal juga sangat dekat dengan kehidupan santri di asrama.
Saya rasa, itulah mengapa santri dan adik-adik kelas saya seperti kehilangan sesuatu yang sangat substansial bagi santri. Pada satu sisi, kurangnya pembelajaran bagi santri, dan sisi lainnya musyrif yang tersedia terbatas kemampuannya. Mungkin sebagai musyrif, kita akan berusaha untuk membuat habits atau kebiasaan-kebiasaan yang baru. Misalnya dengan menceritakan kisah teladan Nabi dan Rasul, ataupun menegur santri saat mereka melakukan kesalahan kecil maupun besar, syar’i maupun umum.
Sebagai musyrif di abad kedua Madrasah Mu’allimin ini, ada tanggung jawab yang besar yang harus di emban, tapi seperti itulah kehidupan. Bukan seberapa bagusnya hasil yang kita capai, tapi setidaknya kita menghargai proses yang ada. Dalam hadits riwayat Ahmad:
خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3289)
Saya rasa, musyrif layak di apresiasi. Bukan tidak mungkin dia akan gagal dalam mendidik santrinya, tetapi setidaknya sudah memberikan kontribusi kebermanfaatannya kepada almamaternya. Kembali lagi, urip kui urup. Sebagai manusia biasa, kita hanya diuji Allah SWT seberapa bermanfaatnya kita bagi orang lain, dan seberapa pengaruhnya kita untuk membawa manusia lainnya untuk bersama-sama menuju surga-Nya Allah SWT.
Oleh: Nada Aulia Rahman (Musyrif Madrasdah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta)