32.6 C
Yogyakarta
Sabtu, 2 Agustus 2025
BerandaArtikelDi dalam Sebuah Gelar, Ada Kapasitas yang Dijadikan Acuan

Di dalam Sebuah Gelar, Ada Kapasitas yang Dijadikan Acuan

Mungkin teman-teman pernah mendengar istilah ‘alim, ‘ulama, ustadz dan sebagainya. Tak asing pula, teman-teman memanggil teman atau kerabat dengan panggilan ‘alim atas dasar kekaguman kita terhadap kepintaran otaknya maupun kefasihannya dalam menyampaikan pesan-pesan agama.

Banyak yang belum mengetahui, bahwasanya umat Islam tempo dulu lah yang menciptakan gelar-gelar tersebut. Bukan main, gelar terhormat itu tidak didapat dengan modal yang mudah. Otak yang pintar maupun lisan yang fasih dalam menyampaikan ilmu agama tak akan sanggup membayar gelar-gelar itu. Begitu juga skripsi dan disertasi, tak mungkin sanggup membayarnya pula. Adapun gelar tertinggi pada zaman itu adalah al-‘Allamah, yang sudah sangat jarang atau mungkin sudah tidak pernah kita dengar lagi istilah itu. Kecuali bagi kawan-kawan yang senantiasa menghiasi harinya membaca kitab karya ulama’ terdahulu.

Di antara orang terakhir yang mendapatkan gelar “al-‘Allamah” di Damaskus ada 4 orang. Yakni Syaikh Hasan Habannakeh, Syaikh Zainal Abidin at-Tunisi (adik dari Syaikh Khidr Husein), Syaikh Bahjat Baitar, dan satu orang lagi yang saya lupa nama beliau. Itu terjadi di tahun ’60-an. Perlu diingat, Damaskus saat itu menjadi salah satu ibukota keilmuan Islam dunia.

Nama beken sekelas Syaikh Salih Farfur, Syaikh Abdul Karim Rifai, dan ratusan ulama lain di level mereka tidak mendapatkan gelar tersebut. Bukan karena mereka tidak alim, tapi level “al-‘Allamah” (ulama besar) yang berhak memakai “sorban putih dan ikat pinggang” bukan level sembarangan. Hanya 4 orang dari generasi emas ulama saat itu, dan para ulama lain pun tidak cemburu. Karena memang ada standar yang tertulis untuk mencapai level itu.

Apa standarnya? Yaitu menguasai 12 cabang ilmu, memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya. Kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar). Saat tahap itu telah dicapai maka mereka akan diberi gelar al-‘Allamah oleh ulama’ yang telah mencapai tahap itu terlebih dahulu

Sedangkan bagi yang baru mencapai tahap menghapal dan menguasai 12 cabang ilmu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang dikuasai dan dihapal setiap detail dalilnya, serta bisa mempertahankannya dari kritikan (An-nudhar). Maka mereka dijuluki ‘Alim saja. Seperti sebutan Faqih (dalam Fiqih), Ushuly (dalam Ushul Fiqh), Adib (Bahasa Arab), Muarikh (dalam Sejarah dan Sirah), Mutakalim (dalam Aqidah dan Mantiq), Muhadis (dalam Hadis), Mufasir (dalam Tafsir), dan Qura (dalam ilmu Qiraat).

Level di bawah itu dinamakan al-Ustadz, yakni mereka yang berhasil menguasai dan menghafal 12 cabang ilmu dan mengaplikasikannya tapi tidak menghapal seluruh dalil dan istinbatnya dengan detail. Intinya belum mencapai tahap an-nudhar. Tapi untuk mencapai level ini saja butuh waktu belasan tahun. Di bawah itu dinamakan Thalib (santri), sedangkan yang belajar satu cabang ilmu secara mendasar disebut Mustaqaf (mempunyai wawasan). Sedangkan orang biasa disebut awam.

Inilah standar ulama dahulu, makanya Syaikh Hasan Habannakeh, ketika ada orang memuji terlalu berlebihan murid yang cerdas dengan kata “Masyaallah dia seorang alim”, beliau menyela “Cukup katakan, thalib yang berbakat,” bukan karena tidak mau memuji. Tapi beliau sedang mengajari kita untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya. Karena semua gelar itu sudah jelas standarnya.

Otak cerdas atau pandai berbicara saja tidak cukup. Bahkan punya wawasan dan bacaan yang banyak juga tidak cukup untuk dikatakan alim. Tentu ulama melakukan standarisasi ini agar tidak ada orang “berbaju ulama” yang menipu umat. Kalau tidak, lama kelamaan kepercayaan umat pada ulama akan hilang. Karena “penipu berjubah ulama” menyampaikan agama tidak sebagaimana mestinya, sebab kekurangan ilmu.

Gelar-gelar ini tidak hanya milik ‘ulama Damaskus. Tapi ada dimana-mana. Seperti di Al-Azhar, Madrasah-madrasah di Hijaz, dan lain-lain. Sayangnya sejak gelar ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti Professor, Doctor, Master, License, dan semacamnya, standardisasi keilmuan semakin tidak jelas. Belum lagi kasus jual ijazah, masyarakat mulai tertipu dengan standar baru yang bisa didapatkan, bahkan jika kita belajar Islam pada Non-Muslim.

Bahkan ada yang modal semangat dan cukup pandai berbicara dan memakai jubah, dipanggil Ustadz. Belum lagi candaan panggilan ustadz yang membuat gelar al-Ustadz jadi bahan obral. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah apa yang kita lihat hari ini, umat bingung. Ustadz beneran jadi tidak dipercaya gara-gara ulama jadi-jadian bermodal taplak meja (yang dijadikan sorban -red). Bahkan tak jarang sebagian umat lebih mengidolakan orang yang tidak memiliki sangkut paut dengan keilmuan, karena logika mereka jauh lebih memuaskan dibandingkan dalil dari ulama gadungan. Tapi ingat, keduanya tidak mewakili Keilmuan Islam.

Dari sini dapat kita pahami, bahwasanya Islam memiliki tradisi dan khazanah keilmuan yang sangat agung. Islam benar-benar menjaga hakikat keilmuan yang sebenarnya. Namun kini tradisi tersebut kian menyusut dan tak pernah terdengar lagi. Terkikis oleh tradisi bathil yang sangat jauh dari hakikat keilmuan.

Semoga ini menjadi renungan kita bersama, sehingga kedepannya bisa lebih bersemangat dalam bertholabul ‘ilmi, karena sesungguhnya ijazah yang kini kita dapatkan bukan pertanda kita berilmu. Tapi tanda bahwa kita pernah bersekolah. Maka dari itu marilah kita ubah mindset kita dalam menuntut ilmu. Gelarkah yang kita cari? Atau meningkatnya kualitas diri?

Oleh: Irsyad Dhiaulhaq Alta
Editor: Afrizal Faza Haikal
Disclaimer: Konten adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing pembuat, kecuali dinyatakan sebaliknya. Selengkapnya
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
Rasyidi Circle for Islamic Thought Studies
RASYIDI CIRCLE FOR ISLAMIC THOUGHT STUDIES didirikan pada 5 Oktober 2018 sebagai bentuk ikhtiar santri Mu'allimin dalam pengembangan wacana pemikiran dan peradaban Islam di kalangan remaja dan masyarakat umum. Komunitas ini diresmikan oleh Wakil Direktur I Bid. Kurikulum, Dr. Mhd. Lailan Arqam pada kesempatan perdana Dauroh Pemikiran Islam di R. Multimedia Madrasah Mu'allimin.

Ikuti KweeksNews!

107FansSuka
1,153PengikutIkuti
41PengikutIkuti

Kiriman Terbaru

- Iklan -