Pelajar didapuk sebagai tumpuan masa depan bangsa, begitu bukan? Setiap tingkah laku yang dilakukannya saat ini menjadi gambaran tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Perilaku negatif (negative attitude) yang diperlihatkan pelajar, mungkin sudah menjadi bahan perbincangan publik sehari-hari. “Pelajar zaman sekarang nggak punya sopan santun”, begitu ucap beberapa orang.
Judge ini menjadi anekdot yang tak habis ritual pembahasannya, melihat pelajar terus-menerus berulah. Perilakunya yang semakin kesini semakin tidak relevan, seiring dengan banyaknya ilmu yang diberikan kepada mereka. Ilmu yang seharusnya dimanfaatkan dan diamalkan, malah dibiarkan tergeletak begitu saja, tak dihiraukan.
Ada pelajar yang beranggapan, “Belajar ya hanya di sekolah, dirumah saatnya bermain”. Bahwasannya pandangan ini sangat mengancam nilai-nilai keilmuan yang telah diberikan kepada mereka. Mungkin ada beberapa yang sadar, bahwa belajar tidak hanya di sekolah. Ada juga yang tetap belajar di rumah, dan juga di pelbagai tempat lainnya, misalnya tempat les.
Seperti yang disampaikan diatas, banyak yang pandai, banyak yang mampu menuntut ilmu setinggi mungkin, namun masih kurang lengkap jika tak direalisasikan (pengamalan). Pengamalan seharusnya menjadi follow up, setelah mendapatkan ilmu di sekolah atau di mana pun ia berada.
Lantas mengapa banyak ilmu yang tergeletak ‘nganggur’ dan tidak seimbang dengan nilai moralitas yang dimiliki pelajar? Apakah cara penyampaian guru yang salah? Atau pelajar yang kurang nyaman duduk di bangku sekolah?
Ungkapan diatas mungkin tak bisa kita salahkan sepenuhnya. Benar adanya, jika beberapa guru mungkin kurang memahami kondisi murid didiknya. Sehingga ada pelajar yang menganggap bahwasannya belajar di bangku sekolah itu membosankan.
Urgensi Moral
Sebagai hal yang fundamental dalam dunia kependidikan, moral sudah seharusnya ditekankan sejak awal tahun pelajaran. Bukan hanya awal tahun pelajaran, namun awal kehidupan sejak kita masih dalam asuhan orang tua. Tetapi mengapa?
Moral menjadi identitas yang menggambarkan diri kita. Di mana jika moral (attitude) kita baik, maka orang sekitar akan menilai kita sebagai orang yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, apabila moral terus dipertontonkan dengan citra negatif, maka wajar jika masyarakat menilai kita sebagai pelajar yang buruk (negative attitude).
Padahal, Nabi Muhammad saw. saja diutus dimuka bumi ini sebagai penyempurna akhlaq. Sehingga kita sebagai pengikutnya, sudah sepatutnya untuk meniru tuntunan Nabi.
Sebagai contoh, peradaban Barat bisa maju di saat Zaman Pencerahan (Renaissance) karena mereka meninggalkan ajaran agama Barat. Dimana ajaran dogmatis agama dunia barat, mengekang perkembangan peradaban. Sehingga ketika Barat meninggalkan ajaran irasional itu, dan beralih ke penghayatan moral humanis dan intelektual, kita bisa melihat perkembangan dunia barat yang semakin maju.
Bisa kita simpulkan, peradaban Barat saja, bisa maju dengan mengedepankan nilai moralitas dan intelektualitas. Apalagi kita, yang memiliki nilai religius yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini pelajar bukan saatnya lagi hanya menjadi penonton (supporter), namun sudah saatnya pelajar menjadi pemain. Dengan membekali dirinya nilai moralitas dan religius sebagai hal fundamental, tidak lupa juga dengan asupan edukasi yang mumpuni, agar bangsa kita kedepan mampu meraih cita-citanya. Saatnya beramal, pelajar!
Oleh: Syauqi Marsa T. Editor: Ahmad Rulim